Perkemahan telah kosong.
Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya. Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan. “Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—” “Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.” Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu diam adalah jalan terbaik. Yu Ying hanya menundukkan kepala ketika dengan tiba-tiba Yuwen berbalik lalu berjalan menuju kudanya yang berdiri tak jauh dari sana. Kuda hitam itu meringkik pelan, seolah bisa merasakan badai amarah yang sedang melingkupi tuannya. Satu tarikan kekang yang tegas, Yuwen melompat ke pelana. Kuda itu meringkik lebih keras, melangkah gelisah di bawah kekangan yang hampir menghancurkan. Yuwen tidak menoleh lagi. Ia menarik kekang lalu memacu kudanya menjauh dari perkemahan. Membawa serta ketegangan yang masih menggantung di udara. Angin menerpa wajah Yuwen saat laju kudanya membelah jalan setapak yang dibatasi pepohonan rimbun. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Di dalam kepala, pikirannya berputar liar, mengulang-ulang kejadian semalam. Informasi tentang pasukan Mancu yang bergerak ke Selatan—detil yang diterimanya langsung dari istana. Seharusnya tidak diragukan lagi kebenarannya. Namun, itu semua ternyata hanyalah jebakan. “Bajingan,” desisnya, meski tidak ada seorang pun di sana untuk mendengar. Penyergapan itu adalah jebakan. Intrik untuk menyingkirkannya, untuk menjauhkannya dari istana ketika peristiwa penting sedang berlangsung. Seharusnya Yuwen sudah mencium bau kebohongan sejak awal. Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Sekarang, waktu adalah musuh terbesarnya. Secepat mungkin, ia harus tiba di istana. Langit mulai berubah warna. Cahaya fajar yang hangat di ufuk timur biasanya memberi harapan baru, tetapi tidak pagi ini. Bagi Qing Yuwen, fajar menyingsing berarti waktu yang tersisa semakin sedikit. Jika ia tidak tiba di istana sebelum matahari benar-benar terbit, semuanya akan selesai. Pernikahan yang digadang bertujuan menyatukan dua kerajaan besar akan menjadi alat yang akan mengalahkan sekaligus mengukung Yuwen. Ketika tiba di gerbang utama istana, pemandangan di hadapannya membuat rahang Yuwen mengeras. Ratusan rakyat berkumpul, memenuhi jalan utama. Bendera-bendera sutra berkibar anggun di atas kepala mereka, berwarna merah dan emas, simbol keberuntungan dan kehormatan. Bagi Yuwen, semuanya hanyalah kebohongan yang dicetak di atas kain mahal. Ia tidak ingin terlibat di dalamnya. Apapun rencana kaisar, Yuwen akan menolaknya. Musik tradisional terdengar dari kejauhan, melodi yang melambangkan cinta dan kegembiraan. Namun, di telinga Yuwen, melodi itu seperti tawa penghinaan. Seorang Kasim yang sedari tadi memang menunggu kehadiran Yuwen tampak lega ketika Yuwen berjalan mendekat. “Yang Mulia, selamat datang,” katanya membungkuk rendah. Suaranya terdengar hati-hati, nyaris gemetar. “Yang Mulia, pernikahan Pangeran Mahkota akan segera berlangsung. Hamba akan membawa Yang Mulia menuju aula utama.” “Pergilah! Aku tahu ke mana harus melangkah!” Kasim itu membungkuk lebih dalam. “Ampun, Yang Mulia, sebaiknya Yang Mulia, mengikuti hamba.” Tanpa menjawab, Yuwen menyerahkan kekang kudanya kepada seorang prajurit yang berada di dekatnya lalu melangkah cepat tanpa memperdulikan lagi permintaan sang kasim. Setiap langkahnya memantulkan suara berat di jalan berbatu, seperti dentang waktu yang menghitung mundur takdirnya. Yuwen tahu siapa yang pertama kali harus ia temui di istana. Ketika ia sampai di pintu utama paviliun, langkahnya tertahan. Dua pengawal berdiri di sana, pedang mereka terangkat menyilang, menghalangi jalannya. “Yang Mulia,” salah satu dari mereka berkata, suaranya bergetar, “Kami diperintah oleh Permaisuri Junsu. Tidak ada yang diizinkan masuk ke paviliun selir agung.” Gu Yu Yong, yang akhirnya menyusul dari belakang, langsung menghunus pedangnya ketika mendengar Yuwen tidak diperkenankan masuk. Matanya menyala dalam amarah yang jarang ditampakkan. “Menyingkir!” serunya. Sebelum pedang Yu Yong bergerak, Yuwen mengangkat tangan—menghentikannya. Ia menatap kedua pengawal itu dengan tatapan dingin, dengan langkah tegas, ia maju hingga ujung pedang mereka hampir menyentuh dadanya. “Jika kalian pikir bisa menghentikan aku,” katanya bersuara rendah penuh ancaman, “lakukanlah,” tantangnya. Pengawal itu saling pandang. Mereka tahu, tidak ada seorang pun di istana ini yang memiliki keberanian untuk benar-benar melawan Qing Yuwen. Penuh keraguan, akhirnya mereka menurunkan pedang. Tanpa menunggu lebih lama, Yuwen mendorong pintu paviliun selir agung yang sering disebut sebagai paviliun bunga. Paviliun bunga adalah tempat yang indah, tetapi pagi ini keindahannya terasa seperti ejekan. Langit-langitnya memang dihiasi kain sutra yang berwarna cerah, dan bunga-bunga segar turut memenuhi setiap sudut ruangan, tetapi ada kedukaan di setiap udara. Mata Yuwen menangkap sosok yang berdiri di ujung lorong. Dialah …. Permaisuri Wei Junsu. Sosoknya hampir seperti dewi yang turun ke bumi. Di bawah cahaya lentera, gaun sutra emas yang dikenakannya berkilauan seperti kulit ular yang baru berganti. “Ah, Pangeran Kedua,” katanya ketika Yuwen mendekatinya. Suaranya lembut, penuh dengan sindiran yang tidak berusaha disembunyikan. “Kau akhirnya datang. Aku mulai berpikir kau lupa bahwa pernikahan ini adalah acara besar yang tidak boleh dilewatkan.” Yuwen tidak menjawab. Ia hanya menatap Junsu, tatapannya penuh kecurigaan, kemudian matanya beralih ke sisi lain. Bangunan yang merupakan kamar ibunya. “Ibu,” kata Yuwen, suaranya rendah, hampir berbisik. Junsu menoleh ke arah yang Yuwen tatap lantas tersenyum, senyum yang lebih seperti ejekan. “Aku tahu siapa yang pertama kali akan kau temui di istana. Ah, aku lega karena pada akhirnya ibumu tahu di mana seharusnya dia berada.” Kemarahan Yuwen hampir meledak, tetapi ia menahannya. Yuwen tahu apa yang Junsu inginkan dan Yuwen tidak sudi memberikannya. Ketika Yuwen ingin berbalik pergi, Junsu berbicara lagi. Suaranya pelan, tetapi setiap kata yang diucapkan seperti pisau yang menembus punggung Yuwen. “Kau pikir kau bisa mengubah apa yang telah aku gariskan?” katanya, “pernikahan ini adalah awal dari cerita sekaligus akhir bagimu, Yuwen. Ingatlah, kau hanya bidak kecil di papan caturku.” Yuwen berhenti sesaat. Napasnya berat. Ia ingin menjawab, ingin menyerang, tetapi ini bukan saatnya. Junsu sedang bermain dalam permainan panjang. Semua langkah harus dipikirkan dengan penuh kehati-hatian. Jadi, tidak ada gunanya meladeni Junsu. Langkahnya kembali terayun. Tiba di depan kamar ibunya, dua pengawal yang sama masih berdiri di sana, pedang mereka kembali disilangkan. Kali ini, Yuwen tidak berhenti. “Singkirkan pedang kalian,” katanya dingin. Suaranya penuh keyakinan, penuh otoritas hingga kedua pengawal itu menundukkan kepala lalu menurunkan senjata mereka tanpa perlawanan. Yuwen kembali menoleh ke sekelilingnya. Keramaian persiapan pernikahan masih berlangsung. Baginya, pesta itu awal dari ambisi sesat yang akan menyeretnya masuk ke dalam intrik istana. Mengapa harus dilibatkan lagi? Bukankah sejak usia tujuh tahun, Yuwen dipaksa meninggalkan istana? Keputusan kaisar yang konon dilapisi oleh janji mulia. Jalan penuh kehormatan dan masa depan cemerlang. Namun, bagi Yuwen kecil, itu hanyalah tipu daya. Ia direnggut dari dekapan hangat ibunya—Shu Qiongshing. Konon katanya Yuwen harus menjadi perisai terkuat kaisar. Kini Yuwen tahu perisai itu bukan simbol kebanggaan, melainkan penjara tanpa dinding yang membuatnya jauh dari sang ibu. Kunjungannya ke istana dibatasi tidak lebih dari lima kali dalam setahun. Di setiap kunjungan rasa asing kian menguat, seolah tempat yang seharusnya menjadi rumah telah berubah menjadi arena pertempuran dingin dan tak bersahabat. “Yuwen-er.” Sebuah suara membuyarkan lamunan. Suara yang dulunya lembut, penuh kehangatan, kini malah membawa luka dalam, seperti angin musim dingin yang menggigit kulit. Yuwen menoleh, lambat. Shu Qiongshing berdiri di sana. Sosoknya telah berubah. Keanggunannya memang masih ada, tetapi sekarang lebih menyerupai sisa-sisa dari mahakarya yang perlahan hancur dimakan waktu. Rambutnya yang dulu hitam pekat, kini dihiasi garis-garis perak. Matanya yang dulu bersinar seperti batu giok dalam cahaya pagi, kini redup tenggelam dalam kabut kesedihan. Shu Qiongshing, sang ibu seharusnya berada di antara para bangsawan, berdiri seperti bayangan kaisar, tetapi di sinilah dia berada. Diasingkan seolah ibunya adalah aib kaisar. Tak ada gaun megah, tak ada perhiasan yang mencerminkan statusnya. Hanya pakaian sederhana yang tak pantas untuk disebut seorang selir agung. Sebuah cincin giok di jarinya—satu-satunya simbol yang tersisa dari kehidupan yang pernah dimilikinya. Bagi Yuwen, ibunya tampak seperti seorang janda—bukan hanya karena kehilangan suami, tetapi karena hidupnya sendiri telah dicuri. Diasingkan dari keluarga, diasingkan dari status kerajaannya. “Yuwen-er,” ulang Shu Qiongshing Kali ini lebih lirih, seolah takut melukai keheningan canggung di antara mereka. Yuwen berdiri mematung. Napasnya terasa berat, seperti ditusuk oleh ribuan duri. Kata-kata menyekat tenggorokan, tidak bisa ia keluarkan. Amarah membara dalam dadanya berselimut rasa bersalah yang menyesakkan menahan segala tindakannya. Ia hanya bisa menundukkan kepala. Satu-satunya bahasa yang tersisa adalah keheningan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Yuwen memutar tubuh lantas melangkah pergi. Sepatu botnya berdentum di lantai paviliun, menciptakan gema yang terdengar seperti jarak yang semakin jauh antara ia dan ibunya. Ketika mendekati aula utama, tampak dua pengawal istana berdiri di pintu, mata mereka beradu dengan Yuwen. Seketika air wajah mereka menegang. Ketakutan tampak jelas di mata, tetapi demi mengemban titah, mereka mengangkat pedang, menyilang di depan tubuh—tembok baja tipis yang coba menghentikan kekuatan yang tak terhentikan. Salah satu dari mereka, dengan suara gemetar, coba berkata, “Yang Mulia, ini ... ini perintah.” Kata-katanya nyaris tercekik oleh ketakutan, seolah tahu bahwa perintah itu tak akan berarti. Yuwen terus berjalan, tak melambat sedikit pun. Langkahnya mantap, seperti derap drum perang yang membuat udara seolah menebal di sekitarnya. Ketika ia berdiri tepat di depan pedang mereka, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, ia mendongak, menatap kedua pengawal. “Apa ini yang sungguh-sungguh kalian inginkan?” Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tetapi kekuatannya lebih dahsyat daripada bentakan. Kata-katanya menusuk seperti pisau, meninggalkan bekas di hati mereka yang mendengarnya. Tatapannya menyala tajam, seperti bara yang siap melahap apa saja. Pengawal itu gemetar hebat. Pedang mereka masih terangkat, tetapi tangan mereka terlalu lemah untuk mempertahankannya. Mereka tahu, melawan Yuwen bukanlah pilihan. Untuk menghalanginya berarti menghadapi takdir yang jauh lebih buruk daripada kematian. Yuwen tidak berbicara lagi. Ia hanya menatap mereka seolah-olah waktu telah berhenti. Akhirnya, pedang itu perlahan turun, seperti mengakui kekalahan yang tak terhindarkan. Pengawal-pengawal itu menundukkan kepala, membuka jalan tanpa berani berkata sepatah kata pun."Kukira kau akan tetap bersembunyi di bawah bayang-bayang tugas, Adikku," ucap Yunqin dengan nada penuh sindiran. Yuwen menoleh dan tatapannya disambut senyum Yunqin. "Kehadiranmu di sini membuatku berpikir, apa rencana selanjutnya yang sudah ibuku untuk kita karena aku tahu kau tidak akan diberi tempat memainkan peran penting di istana ini." Yuwen tidak langsung menjawab. Ia menatap Yunqin sejenak, membaca bahasa tubuh kakaknya. "Meski begitu, sepertinya ayah kita berencana memberikan aku peran lagi. Kakak tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan cara lebih menyenangkan," jawab Yuwen dingin. Yunqin tertawa kecil, tetapi matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. "Bagus. Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan kekaisaran." "Apa Kakak yakin kekaisaran ingin memerintahkan ke mana leherku bergerak?” Mata Yuwen turun memperhatikan pakaian megah pernikahan Yunqin. “Dari pakaianmu, aku rasa rencanamu tidak sesuai dengan perintah kekaisaran. Selamat
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,
Jiali melangkah cepat kembali ke kamarnya. Hati dan pikirannya masih penuh akan amarah. Bahkan gaunnya tampak sedikit berkibar ketika ia berjalan. Begitu pintu kamarnya ditutup Xiumei, Jiali langsung membuka tali selendang di pinggangnya dengan kasar lantas melemparkannya ke meja. “Chu Hua benar-benar keterlaluan! Menyebalkan! Memangnya dia pikir dia siapa? Selir! Dia hanya selir!” Xiumei berdiri tak jauh, tangan terlipat di depan, tak berani menyela. Pekan ia meniup api lentera lalu kembali menatap Jiali. “Seharusnya aku tidak mendekati mereka!" Jiali masih terus berbicara, berjalan mondar-mandir. “Nyonya,” ucap Xiumei pelan. "Aku tahu, aku tahu! Kau sudah memperingatkan, tapi aku tetap saja mendatangi mereka! Bahkan mereka tidak takut berbicara buruk di depanku! Chu Hua, Dong Hua, Dai Lu—hah! Mereka seperti sekumpulan burung murai yang terus berkicau tanpa henti! Sekarang Li Wei mendengar semuanya! Aku bisa bayangkan bagaimana dia akan menggunakan ini untuk keuntungannya!" X
Pelayan yang sedari tadi hanya berdiri di ujung ruangan kompak keluar ketika Yunqin menendang salah satu meja hingga semua benda yang berada diatasnya jatuh berserakan. Matanya merah menatap seluruh ruangan dan dadanya pun tampak turun naik. Yunqin tidak akan pernah mempercayai apa yang sudah dikatakan Yuwen. Omong kosong! Sampai detik ini Yunqin yakin kalau Jiali hanyalah miliknya. Hanya miliknya! “Seharusnya kau bisa mengendalikan perasaanmu." Yunqin berbalik. Sang istri—Sun Li Wei dengan anggunnya telah berdiri di belakang Yunqin. “Pergilah dari sini!“ usir Yunqin. Sejujurnya sakit yang mendera hati Li Wei menolak untuk bersikap baik, tetapi sebagai istri dari sang pangeran mahkota, ia tidak bisa diam saja. Ia harus menyelamatkan harga diri suaminya. Sang penerus kerajaan. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku,” ucap Li Wei pada dua pelayan yang berdiri di belakangnya. “Baik Yang Mulia.” Begitu mendengar pi
“Semuanya hampir siap, apa ada yang Nyonya butuhkan lagi?” Tidak mendapatkan jawaban, Xiumei mendekati Jiali yang diam terduduk sedari tadi. Xiumei hendak menepuk pundak Jiali. Namun, urung karena Jiali tampak fokus menatap helai rambut di telapak tangannya.Apa yang terjadi pagi tadi di aula utama jelas mengguncang seluruh karesidenan. Rambut panjang bagi seorang lelaki adalah simbol maskulin, kehormatan dan kedudukan status sosial. Apa yang dilakukan Yuwen jelas sangat penting. Bahkan kaisar Tao tidak bisa berkata-kata.“Nyonya.” Sentuhan lembut Xiumei di pundak membuat Jiali hampir melonjak. “Maaf membuat kaget. Xiumei sudah selesai. Sebentar lagi Tuan Yuwen pasti datang, sebaiknya Xiumei keluar.”“Ya, baiklah. Kamu boleh keluar.”“Baik.”Setelah Xiumei meninggalkannya sendiri, Jiali bangkit lantas mendekati kotak perhiasannya. Ia menaruh helai rambut Yuwen dengan sangat hati-hati di antara cincin-cincin gioknya.“Apa yang sudah kamu lakukan Yuwen?” cicit Jiali.Suara derak pintu m