Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.. "Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali.. “Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.” Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!” Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak seharusnya berada di sini." "Kembali?" Yungin mendengus. "Kau tahu aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi! Seharusnya Jiali yang menjadi istriku!” sentak Yunqin. Ketegangan di antara mereka persis seperti senar yang ditarik terlalu keras sampai terdengar langkah anggun mendekat. Junsu muncul dari balik pilar dengan gaun berhiaskan permata berkilauan. Wajahnya dingin, tatapannya tajam. menyapu mereka semua. "Yang Mulia Pangeran Mahkota.” Yunqin melirik ibunya. Panggilan tegas itu berniat mengingatkan Yunqin akan statusnya, akan rencananya. Yunqin berusaha mengalihkan pandangannya dari Junsu. “Pangeran Mahkota, apa yang sedang kau lakukan? Ritual masih berlangsung, tamu-tamu menunggu, dan kau berada di sini?” lanjut Junsu mengalihkan pandangan pada Yuwen seolah berkata Yuwenlah yang bersalah mengacaukan segalanya. Mau tak mau Yunqin berbalik, menghadapi ibunya. "Sebaiknya hamba menyelesaikan masalah ini!” Pandangan Junsu menajam. “Sebaiknya Yang Mulia Pangeran Mahkota kembali ke aula utama.” Pandangannya beralih pada Yuwen. “Aku rasa Pangeran Kedua masih belum berganti pakaian. Apa … kau tidak mau mendatangi pernikahan kakakmu?” "Bukankah yang diizinkan masuk hanyalah tamu yang memiliki plakat emas atau anggota keluarga kerajaan? Apakah menurut Yang Mulia Permaisuri, hamba termasuk ke dalam salah satu kategori itu?” Junsu coba menarik senyum. Pertanyaan Yuwen menyentil dirinya. Tanpa menoleh ke Yunqin, Junsu kembali berkata, “Yunqin’er, jangan memulai konflik, kembalilah ke aula!” Yunqin diam. Amarahnya terlalu membara untuk bisa dipadamkan oleh ancaman terselubung Junsu. Ia malah melangkah maju, mendekati Yuwen. "Kau pikir aku akan melepaskan ini?" Dengan gerakan cepat, Yungin menarik pedang dari pinggang Yuwen. Yuwen tersentak, mundur beberapa langkah. Seluruh tubuhnya bersiap menerima serangan yang mungkin dilayangkan Yunqin. “Hentikan!!" Suara berat Kaisar Tao bergema dari ujung koridor. Sang Kaisar melangkah cepat, diikuti beberapa pejabat tinggi dan tamu undangan yang terlihat bingung dan takut. Yunqin tidak peduli. Ia mengarahkan pedang itu langsung ke dada Yuwen yang diam bagai batu karang di tengah badai. "Lakukan apa yang ingin Kakak lakukan padaku. Sudah sejak lama Kakak ingin melakukannya bukan? Kita berdua tahu, titah sudah diturunkan. Bagaimanapun Jiali akan menjadi istriku," kata Yuwen datar. Kata-kata itu menyulut api lebih besar dalam hati Yunqin. Dalam teriakan marah, ia mengayunkan pedang. Yuwen menghindar dengan gerakan cepat, tetapi pedang itu sempat menggores lengan kirinya. Darah segar merembes cepat hingga ke ujung jemari lantas jatuh menetes ke lantai. Tamu-tamu terbelalak. Kaisar Tao berdiri dengan wajah lebih tegang, tidak tahu harus berbuat apa. Para penjaga bergerak maju, tetapi Junsu mengangkat tangan, menghentikan mereka yang berusaha menjadi perisai Yuwen. Ujung bibir Yuwen naik, ia melangkah mundur. Melihat ekspresi Yuwen, Yungin menyerang lagi, tetapi kali ini Yuwen menangkap pergelangan tangan Yunqin, memutar tubuhnya dengan cepat. Yunqin menjerit, pedang itu jatuh ke lantai, bergema di sepanjang koridor. “Prajurit! Lindungi Yang Mulia Pangeran Mahkota!” pekik Junsu panik. Bagaimanapun, reputasi Yuwen adalah panglima perang terbaik istana. Ilmu beladiri yang dimilikinya bukan tandingan Yunqin. Yungin terengah-engah, matanya memerah, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. Ia meremas pergelangan tangannya yang dipelintir Yuwen. Yuwen meraih pedangnya di lantai. Menyeka darahnya di ujung pedang dengan sehelai kain yang ia keluarkan dari sela baju lantas menyarungkannya kembali. "Sudah cukup," ujar Yuwen datar. “Prajurit! Tangkap Qing Yuwen!” jerit Junsu memecah keheningan. Kali ini nada bicaranya lebih keras, penuh otoritas. “Hentikan! Siapapun yang berani menyentuh putraku, Qing Yuwen, akan berhadapan langsung denganku!” marahnya berapi-api. Bibir Junsu gemetar, tangannya meremat gagang kipas tanpa peduli akan melukainya sendiri. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi nalurinya meminta untuk diam. Kaisar Tao mendekati Yuwen, menatap luka memanjang di lengan kirinya. “Yuwen'er, kau terluka.” Ia menarik napas dalam-dalam. “Kembalilah ke paviliunmu, tabib akan datang.” Yuwen membungkuk. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian berlalu pergi. Tanpa berkata apa-apa lagi Kaisar Tao mengibas jubahnya tepat ketika ia melewati Junsu dan Yunqin sebagai satu pertanda kalau ini adalah masalah serius yang sudah sangat memancing amarahnya. Junsu menggigit bibir. Pandangannya tak sengaja beradu pandang dengan Han Dunrui yang berdiri di dekat pintu aula. Wajah Han Dunrui tiba-tiba memucat. Lelaki tua itu tahu kalau ia dalam masalah besar. *** Setelah apa yang telah terjadi, upacara pernikahan terhenti. Yunqin tidak kembali ke aula utama. Meninggalkan mempelai wanita yang menanggung malu. Bahkan Kaisar Tao terpaksa lebih awal meninggalkan jamuan makan. “Kau mempermalukan Yunqin,” kata Junsu tanpa basa-basi setelah menerobos masuk ke ruang kerja Kaisar Tao. Kaisar Tao memandang dingin istrinya. “Aku hanya menegaskan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai kaisar. Yunqin harus belajar mengendalikan dirinya. Sebagai Pangeran Mahkota, tidak boleh bertindak seperti anak kecil.” “Yuwen sengaja memancingnya,” balas Junsu, “kau membiarkannya?” “Yuwen adalah bagian dari keluarga kekaisaran,” jawab Kaisar Tao. “Aku tidak akan membiarkan Yuwen dipermalukan dan disakiti, bahkan oleh putraku sendiri.” “Yuwen adalah ancaman,” Junsu menegaskan. “selama Yuwen ada, Yunqin tidak akan pernah merasa aman di singgasana.” “Kau yang membuat segalanya lebih rumit. Yuwen tahu dimana kedudukannya.” “Pernikahan Han Jiali dengan Yuwen harus dibatalkan! Jiali akan menjadi selir Yunqin!” Keras Kaisar Tao menggebrak meja. “Hari ini Putri Sun Li Wei sudah dipermalukan. Dia telah menjadi istri dari Qing Yunqin. Kau tahu kekuasaan tak terbatas bila Yunqin bisa menyatukan Zijian dan Anming? Sebaiknya kau mulai menjernihkan kepala Yunqin dan minta dia melupakan Han Jiali!” “Mengapa harus Han Jiali yang menjadi istri Yuwen? Mengapa? Wanita itu sudah sejak lama dijodohkan dengan Yunqin!” “Junsu, sebaiknya berhenti memanipulasi semuanya.” Junsu menggertakkan giginya. Ia tahu bahwa Kaisar Tao tidak akan mudah digoyahkan. Mulai detik ini, semua harus berjalan sesuai rencananya. Semuanya."Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Meski dari kejauhan, Yuwen jelas mengamati Jiali, mengikuti setiap langkahnya tanpa suara. Di belakangnya, Yu Yong juga diam, menyaksikan dengan cermat. “Yang Mulia,” bisik Yu Yong, menunjuk ke sudut taman, “Lihat, Nyonya Chu Hua dan pelayannya di sana, mengawasi Nyonya Han.”Yuwen menatap ke arah yang dimaksud. Dengan ekspresi datar, ia berkata, “Biarkan saja. Jangan ikut campur.” Mata Yuwen tetap tertuju pada Jiali yang mulai mendekati tepi danau.Jiali berdiri di sana, tampaknya terlarut dalam pikiran. Tubuhnya bergoyang-goyang sedikit lalu menengadah ke arah langit. Jiali tersenyum, matanya menyipit karena silau akan sinar matahari. Yuwen memperhatikan tiap detail kecil raut wajah Jiali.Memang, masih banyak wajah lebih cantik yang sering Yuwen temui, tetapi penilaiannya pada wajah Jiali tidak berubah. Kesan lembut dan ceria membingkai wajah Jiali. Mata besar dan bulatnya memancarkan ekspresi semangat. Hidungnya kecil dan ramping, seimbang dengan bibirnya yang penuh dengan bentuk
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,
Jiali melangkah cepat kembali ke kamarnya. Hati dan pikirannya masih penuh akan amarah. Bahkan gaunnya tampak sedikit berkibar ketika ia berjalan. Begitu pintu kamarnya ditutup Xiumei, Jiali langsung membuka tali selendang di pinggangnya dengan kasar lantas melemparkannya ke meja. “Chu Hua benar-benar keterlaluan! Menyebalkan! Memangnya dia pikir dia siapa? Selir! Dia hanya selir!” Xiumei berdiri tak jauh, tangan terlipat di depan, tak berani menyela. Pekan ia meniup api lentera lalu kembali menatap Jiali. “Seharusnya aku tidak mendekati mereka!" Jiali masih terus berbicara, berjalan mondar-mandir. “Nyonya,” ucap Xiumei pelan. "Aku tahu, aku tahu! Kau sudah memperingatkan, tapi aku tetap saja mendatangi mereka! Bahkan mereka tidak takut berbicara buruk di depanku! Chu Hua, Dong Hua, Dai Lu—hah! Mereka seperti sekumpulan burung murai yang terus berkicau tanpa henti! Sekarang Li Wei mendengar semuanya! Aku bisa bayangkan bagaimana dia akan menggunakan ini untuk keuntungannya!" X
Pelayan yang sedari tadi hanya berdiri di ujung ruangan kompak keluar ketika Yunqin menendang salah satu meja hingga semua benda yang berada diatasnya jatuh berserakan. Matanya merah menatap seluruh ruangan dan dadanya pun tampak turun naik. Yunqin tidak akan pernah mempercayai apa yang sudah dikatakan Yuwen. Omong kosong! Sampai detik ini Yunqin yakin kalau Jiali hanyalah miliknya. Hanya miliknya! “Seharusnya kau bisa mengendalikan perasaanmu." Yunqin berbalik. Sang istri—Sun Li Wei dengan anggunnya telah berdiri di belakang Yunqin. “Pergilah dari sini!“ usir Yunqin. Sejujurnya sakit yang mendera hati Li Wei menolak untuk bersikap baik, tetapi sebagai istri dari sang pangeran mahkota, ia tidak bisa diam saja. Ia harus menyelamatkan harga diri suaminya. Sang penerus kerajaan. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku,” ucap Li Wei pada dua pelayan yang berdiri di belakangnya. “Baik Yang Mulia.” Begitu mendengar pi
“Semuanya hampir siap, apa ada yang Nyonya butuhkan lagi?” Tidak mendapatkan jawaban, Xiumei mendekati Jiali yang diam terduduk sedari tadi. Xiumei hendak menepuk pundak Jiali. Namun, urung karena Jiali tampak fokus menatap helai rambut di telapak tangannya.Apa yang terjadi pagi tadi di aula utama jelas mengguncang seluruh karesidenan. Rambut panjang bagi seorang lelaki adalah simbol maskulin, kehormatan dan kedudukan status sosial. Apa yang dilakukan Yuwen jelas sangat penting. Bahkan kaisar Tao tidak bisa berkata-kata.“Nyonya.” Sentuhan lembut Xiumei di pundak membuat Jiali hampir melonjak. “Maaf membuat kaget. Xiumei sudah selesai. Sebentar lagi Tuan Yuwen pasti datang, sebaiknya Xiumei keluar.”“Ya, baiklah. Kamu boleh keluar.”“Baik.”Setelah Xiumei meninggalkannya sendiri, Jiali bangkit lantas mendekati kotak perhiasannya. Ia menaruh helai rambut Yuwen dengan sangat hati-hati di antara cincin-cincin gioknya.“Apa yang sudah kamu lakukan Yuwen?” cicit Jiali.Suara derak pintu m