Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Sinar matahari merambat pelan di sela tirai tipis, menerangi wajah Jiali yang sedari tadi tersenyum-senyum tanpa alasan jelas. Xiumei, yang sedang menyematkan jepit kecil di rambut pendek nyonya muda itu, penasaran, tetapi ikut bahagia."Sepertinya semalam, Nyonya bermimpi indah," godanya sambil menata rambut Jiali dengan hati-hati.Jiali menggeleng pelan, masih menyunggingkan senyum. "Bukan mimpi. Ini lebih baik dari sekadar mimpi.”Xiumei menyipitkan mata curiga. "Apa karena sekarang Nyonya sudah jadi satu-satunya wanita Yang Mulia?" tanyanya lagi.Senyum Jiali perlahan memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Xiumei, aku sampai lupa tentang Hui Fen. Bukankah rombongan belum meninggalkan karesidenan?”Xiumei mengangguk. “Iya, Nyonya.”Tanpa berkata lebih banyak, Jiali bangkit dari kursi rias dan berjalan ke lemari pakaian. Di dalam tumpukan kain halus, ia menarik keluar sebuah kotak kecil yang terbungkus kain biru. Kotak itu ia dekap sejenak sebelum melangkah keluar kamar
“Benar-benar sudah pergi,” gumamnya.Yuwen mengangguk. “Akhirnya.”Embusan angin pagi mengibaskan ujung jubah dan rambut yang tergerai. Di pelataran utama karesidenan, Jiali berdiri di sisi Yuwen, keduanya diam-diam melambaikan tangan ke arah rombongan kekaisaran yang mulai menjauh, debu lembut mengepul dari roda kereta kuda yang berderak perlahan.Di kejauhan, warna-warni pakaian istana tampak mengecil, lalu menghilang di balik gerbang utama. Jiali baru menurunkan tangannya setelah rombongan benar-benar lenyap dari pandangan lalu menarik napas pelan.“Apa kau lega?” tanya Yuwen perlahan, menoleh pada Jiali.Jiali menatap lurus ke depan. “Entahlah, aku tidak tahu.”“Mulai malam ini, aku akan kembali ke kamarku malam ini. Setelah beberapa hari terakhir, kau pasti butuh tidur yang tenang,” ucap Yuwen.Jiali menoleh cepat, terdiam sejenak kemudian menyaut, “Ya, baiklah.”Yuwen menatap sejenak wajah Jiali lalu tersenyum samar. Jiali balas mengangguk kemudian pergi meninggalkan Yuwen sendi
Udara malam di kaki gunung Fuxie menusuk tulang. Kabut tipis mulai turun, membungkus pepohonan yang menjulang rapat di sekeliling. Bulan telah berada di posisi puncak.Di antara aroma dedaunan basah dan tanah lembap, Yuwen duduk tegap di atas kudanya, pandangannya tajam menyapu jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Matanya lebih jeli dari seekor serigala yang mengintai mangsa.Cahaya obor dari para penjaga lain menari-nari di dalam keremangan malam. Belum ada satu pun yang memberi kabar seolah Jiali lenyap ditelan bumi.Angin berembus pelan, membawa denging samar dari serangga malam bercampur suara dedaunan bergesekan. Sejak sore, Yuwen telah menelusuri jalur ini bahkan jalur lain yang tak lazim dilewati siapa pun kecuali para pencari kayu atau penyelundup barang kecil.Lagi-lagi Yuwen menatap langit yang sudah kehilangan rona birunya. Sudah lewat tengah malam. Belum ada kabar sama sekali.Tubuhnya tetap diam, tetapi rahangnya mengeras. Dada Yuwen turut merasa sesak ketika dua perta
Apa yang Jiali pikirkan?Apa yang sedang direncanakan Jiali?Tujuan Yuwen bukan hanya untuk menemukan Jiali, tetapi untuk menjawab dua pertanyaan besar itu. Yuwen yakin kalau Jiali adalah seorang wanita yang masih belum bisa dipercaya seutuhnya.Atau ….Mungkin Yuwen yang keliru? Setelah banyak yang dilalui dan perbincangan langsung dengan Han Dunrui, Yuwen tahu kalau ayah mertuanya jelas tidak berambisi atau belum berambisi.Kekuasaan jelas adalah satu hal yang lebih manis dari madu.Yuwen memacu kudanya lebih cepat. Angin menusuk wajahnya, tetapi kegelisahan jauh lebih tajam menghajarnya. Ia tidak peduli para pengawal kewalahan mengejar. Ia tidak peduli jalanan berbatu bisa membuat kudanya tergelincir. YangKereta kuda terlihat di ujung jalan. Dalam kepala Yuwen mulai menyusun kata-kata yang ingin ia lontarkan pada Jiali. Yuwen bergerak ke sisi kanan. Ia menarik tali kekang, melesat lebih dekat ke sisi kereta, hingga kudanya sejajar dengan kepala kuda-kuda penarik.Suara ringkikan
Yu Yong diam mengamati Yuwen yang sudah seminggu ini memiliki aktivitas baru, yaitu duduk diam sembari menatap jepit rambut logam. Yu Yong yakin pemilik jepit rambut logam itu tak lain adalah Han Jiali. Ekspresi aneh dari wajah Yuwen membuat Yu Yong penasaran.“Yang Mulia.” Yuwen mengangkat sedikit tatapannya. “Aula berlatih sudah siap. Apa kita bisa memulai pelatihan untuk para dayang?”Yuwen menyelipkan jepit rambut logam ke dalam kantung di balik pakaiannya lalu bangkit. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” ucapnya yang kemudian pergi setelah menepuk pundak Yu Yong.Kaki Yuwen melangkah menuju gazebo yang berada tepat di depan paviliun Jiali. Langkahnya terhenti tepat di tengah jembatan yang melengkung. Yuwen menarik napas dalam-dalam lalu menatap puluhan bunga teratai yang merekah di bawah jembatan.Seharusnya Yuwen tidak terusik oleh ucapan Jiali. Cinta yang Jiali sebutkan memang tidak pernah Yuwen pikirkan. Baginya cinta adalah sebuah malapetaka. Penyebab kekacauan pada keluarg
“Tidak ingin berurusan dengan istana? Hah! Apa dia lupa kalau dia adalah anak dari kaisar!” Jiali mengusap lehernya. Ia masih ingat dingin pedang yang Yuwen tempelkan di sana. “apa aku gila karena lupa kalau dia sangat menyebalkan?” gerutu Jiali sembari mondar-mandir.Xiumei menarik lengan Jiali, membimbingnya duduk lantas menuangkan air untuk majikan tersayangnya. “Tenang, Nyonya. Yang Mulia tidak begitu.”Cepat Jiali menusuk Xiumei dengan tatapannya. “Terus saja kau bela dia! Kau buta? Kau sendiri lihat apa yang sudah dia lakukan padaku!“Nyonya, tentu saja semua akan tersinggung bila menyebut ibu mereka begitu.”“Ya, aku tahu aku salah, tapi dia yang keterlaluan!”“Nyonya, bagi Yang Mulia, Nyonya adalah wanita satu-satunya, paling berharga, paling istimewa.”Mendengar Xiumei begitu menegaskan kata “paling” di setiap ucapannya, Jiali malah curiga. “Apa yang dia janjikan sampai kau terus membelanya?”Xiumei menggeleng. “Nyonya, meski Yang Mulia pernah mempunyai empat selir, tetapi h
Yuwen menatap para prajurit yang berlatih di aula. Semuanya harus disiapkan lebih serius. Hari-hari yang berlalu sejak kepulangan rombongan kekaisaran terasa makin menegangkan.Rumor tentang rencana gila Yunqin bisa terwujud bila didukung penuh oleh Wei Junsu. Ini berbahaya.“Yang Mulia.”Yuwen melirik Yu Yong yang datang kemudian memberi hormat padanya. “Katakan. Bagaimana kondisi di perbatasan?”“Sudah beberapa petang, tidak ada yang mencurigakan. Perompak yang beberapa waktu lalu terlihat mendekati perbatasan kembali ke pegunungan.”Yuwen diam sesaat. “Meski begitu, kita tidak boleh lengah. Terlebih Hangzi belum memiliki bupati baru.”“Yang Mulia, apa sebaiknya kita menambah penjagaan di sekitar karesidenan khususnya paviliun nyonya?”Kali ini Yuwen memberikan perhatian penuh pada Yu Yong dengan berbalik menatapnya. “Apa yang menjadi pertimbanganmu Yu Yong? Katakanlah.”“Beberapa waktu belakangan, kita tidak selalu bersama dengan Nyonya. Urusan pemerintahan masih berada di bawah ta
“Benar-benar sudah pergi,” gumamnya.Yuwen mengangguk. “Akhirnya.”Embusan angin pagi mengibaskan ujung jubah dan rambut yang tergerai. Di pelataran utama karesidenan, Jiali berdiri di sisi Yuwen, keduanya diam-diam melambaikan tangan ke arah rombongan kekaisaran yang mulai menjauh, debu lembut mengepul dari roda kereta kuda yang berderak perlahan.Di kejauhan, warna-warni pakaian istana tampak mengecil, lalu menghilang di balik gerbang utama. Jiali baru menurunkan tangannya setelah rombongan benar-benar lenyap dari pandangan lalu menarik napas pelan.“Apa kau lega?” tanya Yuwen perlahan, menoleh pada Jiali.Jiali menatap lurus ke depan. “Entahlah, aku tidak tahu.”“Mulai malam ini, aku akan kembali ke kamarku malam ini. Setelah beberapa hari terakhir, kau pasti butuh tidur yang tenang,” ucap Yuwen.Jiali menoleh cepat, terdiam sejenak kemudian menyaut, “Ya, baiklah.”Yuwen menatap sejenak wajah Jiali lalu tersenyum samar. Jiali balas mengangguk kemudian pergi meninggalkan Yuwen sendi
Sinar matahari merambat pelan di sela tirai tipis, menerangi wajah Jiali yang sedari tadi tersenyum-senyum tanpa alasan jelas. Xiumei, yang sedang menyematkan jepit kecil di rambut pendek nyonya muda itu, penasaran, tetapi ikut bahagia."Sepertinya semalam, Nyonya bermimpi indah," godanya sambil menata rambut Jiali dengan hati-hati.Jiali menggeleng pelan, masih menyunggingkan senyum. "Bukan mimpi. Ini lebih baik dari sekadar mimpi.”Xiumei menyipitkan mata curiga. "Apa karena sekarang Nyonya sudah jadi satu-satunya wanita Yang Mulia?" tanyanya lagi.Senyum Jiali perlahan memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Xiumei, aku sampai lupa tentang Hui Fen. Bukankah rombongan belum meninggalkan karesidenan?”Xiumei mengangguk. “Iya, Nyonya.”Tanpa berkata lebih banyak, Jiali bangkit dari kursi rias dan berjalan ke lemari pakaian. Di dalam tumpukan kain halus, ia menarik keluar sebuah kotak kecil yang terbungkus kain biru. Kotak itu ia dekap sejenak sebelum melangkah keluar kamar
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany