"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"
Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.
Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa.
"Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—"
"Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.
Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tidak akan bisa percaya padanya.
"Ayah,” lirihnya coba menurunkan emosi yang membakar Dunrui.
"Diam!" Dunrui kembali menatap putrinya dengan mata yang memerah dan telunjuk kembali terarah pada Jiali. “kamu sadar dengan yang sudah kamu perbuat? Yang Mulia Yunqin meninggalkan setengah upacara hanya untuk mencarimu lalu berkelahi dengan Pangeran Kedua! Pangeran Kedua terluka!”
Wajah Jiali refleks terangkat. “Berkelahi? Ayah, aku—”
“Cukup Jiali! Pangeran Mahkota hampir membunuh Pangeran Kedua dan itu semua karena ulahmu!”
"Ayah, percayalah, aku tidak bermaksud seperti itu," tegas Jiali mulai menaikan nada bicaranya.
"Percaya?" Dunrui tertawa getir. Ia membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Jiali. "Katakanlah padaku Jiali, apa yang akan kita lakukan? Yang Mulia Kaisar sangat menyayangi Pangeran Kedua.” Dunrui kembali duduk. Dari semua amarahnya ada rasa cemas akan keselamatan Jiali. Ia takut putrinya akan dihukum karena kejadian kemarin.
Jiali diam sejenak, lalu bergerak mendekati ayahnya sembari tetap setengah berlutut. "Ayah, aku, kemarin aku bertemu Kakak Gu, aku sudah mengatakan kalau aku tidak ingin menikah dengan pangeran kedua dan—”
"Apa?" Dunrui langsung menegakkan tubuhnya.
Jiali mengangguk. “Kakak Gu, Gu Yu Yong. Pengawal kepercayaan Pangeran Kedua.”
"Gu Yu Yong? Jiali … kau ….” Dunrui meremas dada. Tidak tahu kejutan apa lagi yang akan didapatkan dari putrinya.
Jiali kembali menganggukkan kepala. "Aku memberitahunya bahwa aku tidak ingin menikah dengan Pangeran Kedua. Aku yakin, dia akan menyampaikan pesanku dengan jelas kepada Pangeran Kedua."
"Kamu pikir ini main-main, Jiali?!" suara Dunrui meninggi. “Kau pikir, apa yang akan terjadi padamu bila pernikahanmu dengan Pangeran Kedua tidak terlaksana? Apa? Kita akan lenyap Jiali!"
Sebelum Jiali sempat menjawab, suara langkah kaki yang cepat mendekat membuat percakapan mereka terhenti. Seorang pelayan pria masuk tergesa-gesa, wajahnya tegang. "Tuan, Kasim Agung Hong Li datang membawa titah dari Yang Mulia Kaisar Tao.”
Dunrui tertegun. Wajahnya yang semula memerah mendadak berubah pucat pasi. Ia tahu kabar yang dibawa pasti tidak akan menguntungkan mereka.
Sekujur tubuh Dunrui lemas, bahkan ia tidak bisa merasakan tulang-tulang tubuhnya bekerja dengan baik. Bibirnya gemetar, lidahnya ikut kelu. Ia terlambat. Seharusnya ia tidak banyak berpikir. Seharusnya semalam ia sudah membawa pergi Jiali.
Sudah tujuh generasi dari keluarga Han mengabdi pada kerajaan. Seharusnya Jiali bisa mendapat satu keringanan. Tidak masalah kalau Jiali hanya diasingkan. Dunrui akan memohon pada Yang Mulia Kaisar Tao.
Walau berat hati, akhirnya melangkah ke gerbang utama diikuti Xiumei yang membantu Jiali berdiri.
Di depan gerbang, Kasim Agung Hong Li berdiri tegak dengan raut wajah tenang. Beberapa prajurit berpedang mengapit Kasim Agung seolah memang kedatangannya adalah sesuatu yang harus dijaga ketat.
Kasim Agung mengangkat tangan. Seorang pelayan yang membawa baki mendekat, ia meraih gulungan sutra emas di atasnya. "Saya Qing Tao, memerintahkan agar pernikahan antara Pangeran Kedua Qing Yuwen dan Han Jiali diselenggarakan sebelum matahari terbenam esok hari," ucap Hong Li lantang, membacakan dekret dari gulungan sutra emas yang dipegangnya.
Dunrui yang bersujud sontak mengangkat pandangannya, tidak percaya dengan apa yang telah didengar. Dilihatnya Hong Li kembali menyerahkan, gulungan itu pada pelayan yang berdiri di sampingnya.
"Bangunlah, Tuan Han," ujar Hong Li membantu Dunrui berdiri. "Hadiah pernikahan telah disiapkan oleh istana. Mohon periksa dan pastikan semuanya sesuai dengan kehormatan yang layak bagi calon istri Pangeran Kedua."
Dunrui hanya mengangguk kikuk lantas membuka salah satu peti yang dibawa para pelayan. Isinya perhiasan giok, emas, dan sutra terbaik yang dipersiapkan khusus untuk pengantin perempuan. Tangannya bergetar saat menutup kembali peti itu.
“Tuan, ini semua, ini ….”
Kasim Agung Hong Li melanjutkan, "Yang Mulia berharap tidak ada lagi halangan dalam pelaksanaan pernikahan ini. Patuhi titah ini, Tuan Han."
Setelah memberikan salam singkat, Hong Li dan rombongannya pergi, meninggalkan Dunrui yang berdiri dengan tubuh lemas. Ia menoleh perlahan ke arah Jiali yang berdiri tak jauh darinya. Tatapannya penuh kepedihan, sementara Jiali hanya menunduk dalam diam.
***
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Han terasa berat. Dunrui duduk di aula dengan kepala tertunduk. Xiumei berdiri di dekatnya, menggenggam baki berisi teh yang sejak tadi tak disentuh tuannya.
"Tuan,” panggil Xiumei dengan suara pelan.
"Aku tetap merasa aneh." Dunrui menatap Xiumei. "Kemasi barang-barangmu. Esok hari, setelah pernikahan selesai, kalian akan pergi ke karesidenan Pangeran Kedua di Hangzi. Kau harus ikut bersama Jiali.”
Xiumei mengangguk patuh, memberikan hormat lalu pergi ke kamar Jiali. Di sana, ia mendapati sang majikan sedang duduk di lantai dengan tatapan kosong. Pakaian dan barang-barangnya sudah hampir selesai dikemas.
Xiumei melirik ke arah mejam makanan yang dibawanya masih belum disentuh Jiali. "Nona, apa aku harus memanaskan makanannya lagi?” Jiali diam. “Nona.”
Jiali mendongak, matanya merah karena terlalu banyak menangis. "Apa aku memang tidak punya pilihan? Apa aku harus pergi?”
"Nona, tidak ada yang bisa melawan titah kaisar," balas Xiumei lembut.
“Aku masih bisa menerima pernikahanku dengan Kakak Yunqin dibatalkan, tetapi soal menikahi Pangeran Kedua … itu lain cerita.”
“Nona.”
“Apa yang bisa aku lakukan di perbatasan sana? Aku tidak bisa membayangkannya. Bagaimana kalau aku kesulitan? Siapa yang akan membantuku? Siapa?” cecar Jiali histeris sembari mengguncangkan bahu Xiumei.
“Nona, pangeran kedua tidak akan membiarkan Nona berada dalam kesulitan.”
Jiali melepaskan bahu Xiumei. “Oh, jadi sekarang kamu berada di pihaknya?” tuding Jiali.
“Tidak, Nona. Sampai mati pun Xiumei akan berada di sisi Nona.”
Jiali mendesah pasrah lalu duduk di samping Xiumei. “Masalahnya adalah dia yang akan memberiku kesulitan. Coba kamu pikir, ayah sangat yakin kalau semalam aku berniat mengacaukan acara pernikahan, seharusnya kaisar menghukum aku, bukannya malah meneruskan niatnya menjadikan aku sebagai istri dari pangeran kedua. Ini tidak masuk akal Xiumei!”
“Nona, sebaiknya kita menerima semua ini dengan lapang dada.”
“Menerima? Kamu meminta aku menerimanya setelah aku mendengar segalanya tentang dia?”
“Bagaimanapun, Pangeran Yuwen adalah jenderal perang terbaik yang dimiliki istana. Kelak, Nona akan mendapatkan gelar nyonya jenderal agung—“
"Berhenti membual!” potong Jiali yang tiba-tiba bangkit. “Ini semua karena Gu Yu Yong! Dia pasti tidak mengatakan pesanku dengan benar! Lihat saja nanti, aku akan memberinya pelajaran!”
“Nona.”
"Xiumei, ini bukan lagi tentang kehormatanku atau keluargaku. Pernikahan ini hanya akan memenjarakanku dalam permainan mereka.”
Jiali terdiam sejenak, lalu berdiri mendekati jendela yang menghadap ke taman belakang. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya.
Xiumei mendekati Jiali. “Bagaimanapun keadaannya, hamba akan tetap berada di sisi Nona.”
Jiali menoleh lantas tersenyum. “Ya, aku berharap selalu begitu. Pergilah, aku ingin tidur."
"Baik, Nona."
Pagi menjelang, dan persiapan upacara pernikahan mulai dilakukan. Kecantikan Jiali kian terpancar. Ia mengenakan gaun merah terbuat dari sutra berkualitas tinggi, dengan lapisan kain yang mengalir anggun hingga menyentuh lantai. Motif naga juga phoenix dilambangkan penuh kesempurnaan.
Kepalanya dihiasi mahkota Fengguan megah, berlapis emas dan permata, dengan hiasan lonceng kecil juga jumbai mutiara yang menjuntai di sekitar wajahnya. Rambutnya ditata dalam gaya sanggul tinggi, disertai sisir dan tusuk konde berhiaskan motif bunga atau burung phoenix.
Riasannya lembut. Pipi bersemu merah muda dan bibir merah cerah. Lambang kebahagiaan dan keberuntungan seolah terpatri di wajah Jiali.
Xiumei mundur beberapa langkah lalu memandangi Jiali. Dilihat dari sisi manapun, Jiali adalah pengantin wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
Dunrui masuk, ia diam sejenak memandangi putrinya. “Apa semua sudah siap?” tanya Dunrui coba meredam rasa haru dalam dada.
Jiali mengangguk lemah. “Ya.”
“Jiali, ayah akan bertanya sekali lagi padamu. Apa mau menikah dengan Pangeran Kedua?”
“Ayah.”
Dunrui diam sejenak lantas kembali melanjutkan. “Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi bawalah pakaian secukupnya. Pergi ke Utara. Ada perahu yang akan membawamu dan Xiumei jauh ke seberang lautan. Ayah akan coba menahan pasukan istana. Pergilah Jiali.”
Jiali menyentuh lengan Dunrui, ia masih tidak yakin akan apa yang harus ia lakukan, tetapi di titik ini, melarikan diri bukanlah jalan terbaik. "Tenanglah Ayah. Aku akan mencari cara agar semuanya selesai dengan baik."
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Meski dari kejauhan, Yuwen jelas mengamati Jiali, mengikuti setiap langkahnya tanpa suara. Di belakangnya, Yu Yong juga diam, menyaksikan dengan cermat. “Yang Mulia,” bisik Yu Yong, menunjuk ke sudut taman, “Lihat, Nyonya Chu Hua dan pelayannya di sana, mengawasi Nyonya Han.”Yuwen menatap ke arah yang dimaksud. Dengan ekspresi datar, ia berkata, “Biarkan saja. Jangan ikut campur.” Mata Yuwen tetap tertuju pada Jiali yang mulai mendekati tepi danau.Jiali berdiri di sana, tampaknya terlarut dalam pikiran. Tubuhnya bergoyang-goyang sedikit lalu menengadah ke arah langit. Jiali tersenyum, matanya menyipit karena silau akan sinar matahari. Yuwen memperhatikan tiap detail kecil raut wajah Jiali.Memang, masih banyak wajah lebih cantik yang sering Yuwen temui, tetapi penilaiannya pada wajah Jiali tidak berubah. Kesan lembut dan ceria membingkai wajah Jiali. Mata besar dan bulatnya memancarkan ekspresi semangat. Hidungnya kecil dan ramping, seimbang dengan bibirnya yang penuh dengan bentuk
Kereta perbekalan dari istana tiba di halaman belakang karesidenan, deretan pelayan tampak sibuk memindahkan peti-peti dan karung dari kereta ke paviliun penyimpanan.Suara gesekan roda di atas batu kerikil terdengar jelas, bercampur dengan perintah dari Yu Yong yang sedang memeriksa daftar barang.Di sudut lain, Xiumei memeriksa perbekalan Jiali untuk perjalanan ke Guan. Sesekali ia melihat ke arah kereta, merasa heran dengan banyaknya barang yang datang kali ini.Saat itulah seorang pria dengan pakaian pelayan istana menghampirinya. Wajahnya cemas, matanya terus melirik ke arah Yu Yong yang berdiri tidak jauh."Anda Nona Xiumei, pelayan Nyonya Han, bukan?" bisik pria itu, suaranya rendah penuh tekanan.Xiumei mengernyit, merasa janggal. "Iya, betul. Ada apa?"Pria itu melirik ke sekeliling lagi, lalu menyodorkan sesuatu yang tergulung kecil. "Ini surat untuk Nyonya Han. Dari Tuan Han Dunrui. Mohon sembunyikan baik-baik. Jangan sampai diperiksa oleh penjaga, apalagi Tuan Yu Yong."Ma
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,
Jiali melangkah cepat kembali ke kamarnya. Hati dan pikirannya masih penuh akan amarah. Bahkan gaunnya tampak sedikit berkibar ketika ia berjalan. Begitu pintu kamarnya ditutup Xiumei, Jiali langsung membuka tali selendang di pinggangnya dengan kasar lantas melemparkannya ke meja. “Chu Hua benar-benar keterlaluan! Menyebalkan! Memangnya dia pikir dia siapa? Selir! Dia hanya selir!” Xiumei berdiri tak jauh, tangan terlipat di depan, tak berani menyela. Pekan ia meniup api lentera lalu kembali menatap Jiali. “Seharusnya aku tidak mendekati mereka!" Jiali masih terus berbicara, berjalan mondar-mandir. “Nyonya,” ucap Xiumei pelan. "Aku tahu, aku tahu! Kau sudah memperingatkan, tapi aku tetap saja mendatangi mereka! Bahkan mereka tidak takut berbicara buruk di depanku! Chu Hua, Dong Hua, Dai Lu—hah! Mereka seperti sekumpulan burung murai yang terus berkicau tanpa henti! Sekarang Li Wei mendengar semuanya! Aku bisa bayangkan bagaimana dia akan menggunakan ini untuk keuntungannya!" X
Pelayan yang sedari tadi hanya berdiri di ujung ruangan kompak keluar ketika Yunqin menendang salah satu meja hingga semua benda yang berada diatasnya jatuh berserakan. Matanya merah menatap seluruh ruangan dan dadanya pun tampak turun naik. Yunqin tidak akan pernah mempercayai apa yang sudah dikatakan Yuwen. Omong kosong! Sampai detik ini Yunqin yakin kalau Jiali hanyalah miliknya. Hanya miliknya! “Seharusnya kau bisa mengendalikan perasaanmu." Yunqin berbalik. Sang istri—Sun Li Wei dengan anggunnya telah berdiri di belakang Yunqin. “Pergilah dari sini!“ usir Yunqin. Sejujurnya sakit yang mendera hati Li Wei menolak untuk bersikap baik, tetapi sebagai istri dari sang pangeran mahkota, ia tidak bisa diam saja. Ia harus menyelamatkan harga diri suaminya. Sang penerus kerajaan. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku,” ucap Li Wei pada dua pelayan yang berdiri di belakangnya. “Baik Yang Mulia.” Begitu mendengar pi
“Semuanya hampir siap, apa ada yang Nyonya butuhkan lagi?” Tidak mendapatkan jawaban, Xiumei mendekati Jiali yang diam terduduk sedari tadi. Xiumei hendak menepuk pundak Jiali. Namun, urung karena Jiali tampak fokus menatap helai rambut di telapak tangannya.Apa yang terjadi pagi tadi di aula utama jelas mengguncang seluruh karesidenan. Rambut panjang bagi seorang lelaki adalah simbol maskulin, kehormatan dan kedudukan status sosial. Apa yang dilakukan Yuwen jelas sangat penting. Bahkan kaisar Tao tidak bisa berkata-kata.“Nyonya.” Sentuhan lembut Xiumei di pundak membuat Jiali hampir melonjak. “Maaf membuat kaget. Xiumei sudah selesai. Sebentar lagi Tuan Yuwen pasti datang, sebaiknya Xiumei keluar.”“Ya, baiklah. Kamu boleh keluar.”“Baik.”Setelah Xiumei meninggalkannya sendiri, Jiali bangkit lantas mendekati kotak perhiasannya. Ia menaruh helai rambut Yuwen dengan sangat hati-hati di antara cincin-cincin gioknya.“Apa yang sudah kamu lakukan Yuwen?” cicit Jiali.Suara derak pintu m