Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Meski dari kejauhan, Yuwen jelas mengamati Jiali, mengikuti setiap langkahnya tanpa suara. Di belakangnya, Yu Yong juga diam, menyaksikan dengan cermat. “Yang Mulia,” bisik Yu Yong, menunjuk ke sudut taman, “Lihat, Nyonya Chu Hua dan pelayannya di sana, mengawasi Nyonya Han.”Yuwen menatap ke arah yang dimaksud. Dengan ekspresi datar, ia berkata, “Biarkan saja. Jangan ikut campur.” Mata Yuwen tetap tertuju pada Jiali yang mulai mendekati tepi danau.Jiali berdiri di sana, tampaknya terlarut dalam pikiran. Tubuhnya bergoyang-goyang sedikit lalu menengadah ke arah langit. Jiali tersenyum, matanya menyipit karena silau akan sinar matahari. Yuwen memperhatikan tiap detail kecil raut wajah Jiali.Memang, masih banyak wajah lebih cantik yang sering Yuwen temui, tetapi penilaiannya pada wajah Jiali tidak berubah. Kesan lembut dan ceria membingkai wajah Jiali. Mata besar dan bulatnya memancarkan ekspresi semangat. Hidungnya kecil dan ramping, seimbang dengan bibirnya yang penuh dengan bentuk
Kereta perbekalan dari istana tiba di halaman belakang karesidenan, deretan pelayan tampak sibuk memindahkan peti-peti dan karung dari kereta ke paviliun penyimpanan.Suara gesekan roda di atas batu kerikil terdengar jelas, bercampur dengan perintah dari Yu Yong yang sedang memeriksa daftar barang.Di sudut lain, Xiumei memeriksa perbekalan Jiali untuk perjalanan ke Guan. Sesekali ia melihat ke arah kereta, merasa heran dengan banyaknya barang yang datang kali ini.Saat itulah seorang pria dengan pakaian pelayan istana menghampirinya. Wajahnya cemas, matanya terus melirik ke arah Yu Yong yang berdiri tidak jauh."Anda Nona Xiumei, pelayan Nyonya Han, bukan?" bisik pria itu, suaranya rendah penuh tekanan.Xiumei mengernyit, merasa janggal. "Iya, betul. Ada apa?"Pria itu melirik ke sekeliling lagi, lalu menyodorkan sesuatu yang tergulung kecil. "Ini surat untuk Nyonya Han. Dari Tuan Han Dunrui. Mohon sembunyikan baik-baik. Jangan sampai diperiksa oleh penjaga, apalagi Tuan Yu Yong."Ma
Keanggunan Chu Hua memang memikat, tetapi di balik senyum itu ada banyak lapisan tersembunyi. Semenjak kedatangan Jiali, semakin sulit bagi Chu Hua untuk mendekati Yuwen. Bahkan perhatian Yuwen pada Jiali terasa semakin berlebihan. Posisi Chu Hua semakin terancam. Perasaan itu akhirnya memuncak. Kini, Chu Hua tidak bisa lagi menyembunyikan ketidakpuasan yang melanda. Dalam hati, Chu Hua tahu semakin sulit baginya memikat Yuwen bila Jiali masih ada di sisi Yuwen. Hari itu, saat angin lembut berhembus melalui jendela kamar, Chu Hua memutuskan untuk memanggil ketiga selir lainnya. Mereka akan berkumpul di ruang pertemuan yang jarang digunakan, tempat di mana percakapan bisa berlangsung tanpa takut didengar pelayan atau pengawal. Sesaat setelah kedatangan selir-selir lainnya, suasana terasa canggung, penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Chu Hua duduk dengan anggun di kursinya, sementara selir lainnya menunggu perintah dengan hati-hati. “Jadi, kalian tahu kalau Yang Mulia akan
Rombongan Yuwen tiba di kediaman keluarga Yang Zili saat matahari mulai condong ke barat. Ketika kereta berhenti di depan gerbang utama, seorang wanita dengan perut membuncit berlari kecil menyambut. Senyumnya cerah seperti mentari sore, dan gerak-geriknya menggambarkan kehangatan yang membuat siapapun merasa diterima. Qing An—adiknya—tak sabar memeluk sang kakak.Ketika pertama kali mendengar kabar kakaknya akan berkunjung ke Guan, An menunggu dengan gelisah sampai hari ini tiba.“Kakak!” serunya dengan suara penuh semangat. Tangannya melingkari Yuwen, erat sekali seperti seorang anak yang telah lama kehilangan pelindungnya.Yuwen balas memeluknya, menepuk lembut punggungnya. “Hati-hati, An,” ucapnya mengingatkan, “kau baik-baik saja?”An melepaskan pelukan dengan mata berkaca-kaca. “Aku baik-baik saja, Kak. Seharusnya aku yang datang ke Hangzi, tapi Kakak selalu saja seperti biasa, keras kepala.” Ia menyeka air mata yang jatuh tanpa disadari. “Selamat atas pernikahanmu. Kakak pasti
Langit mulai berubah keemasan, cahaya lembut memantul dari riak-riak ombak di pesisir. Yuwen berdiri menatap samudera, pikirannya terhanyut pada ketenangan yang jarang ia rasakan. Angin laut menerpa jubahnya, membuat helaian kain itu berkibar perlahan.Tiba-tiba, seseorang menarik pergelangan tangannya. Yuwen menoleh, mendapati Jiali dengan senyum cerah memandanginya. "Ayo, main!" serunya tanpa menunggu jawaban membawa Yuwen lebih dekat dengan ombak.Jiali melepaskan pergelangan tangan Yuwen, ia melangkah cepat ke air, tanpa peduli jubahnya basah, menciprati Yuwen dengan air laut. Yuwen tetap diam, memandang Jiali berharap Jiali menghentikan tingkah konyolnya.Sadar kalau targetnya tidak bisa diajak kerjasama, Jiali mengalihkan target. Ia menciprati Xiumei yang berdiri tak jauh di belakang Yuwen. "Hei, Xiumei!" serunya ceria, air laut memercik ke arah pelayan itu.Xiumei terkesiap, matanya melirik Yuwen seolah meminta izin untuk bergabung dalam kegembiraan. Jiali menyadari hal itu, t
Tepat seperti rencana. Beberapa perkemahan selesai didirikan sebelum bulan sepenuhnya tinggi. Lentera-lentera menyala di sepanjang tenda, memberikan cahaya keemasan yang menembus kegelapan hutan. Bayangan pohon-pohon menjulang tinggi seolah mengikuti gerakan api lentera.Di kejauhan, suara burung malam dan serangga bersahutan, mengiringi riuh rendah percakapan para pelayan yang sibuk menyusun kebutuhan untuk esok hari. Kuda-kuda yang perutnya telah penuh kini tidur dengan tenang di dekat kandang sementara dan para pengawal berjaga dalam kelompok kecil di berbagai titik.Di dalam tenda Jiali, Xiumei masih terjaga, duduk di belakang majikannya sambil menyisir rambut Jiali yang lembut. Beberapa kali ia menguap kecil, tetapi tetap melanjutkan tugasnya."Apa semuanya sudah tidur?" tanya Jiali dengan suara pelan."Sepertinya sudah, Nyonya. Beberapa pengawal tetap akan bergantian berjaga. Tenda kita dekat dengan tenda Yang Mulia. Tidak perlu cemas.”Jiali mendengus pelan, setengah kesal. "A
Jiali melirik beberapa piring berisi makanan yang terhidang di atas meja. Aromanya menguar ke seluruh tenda, mengisi udara dengan bau rempah-rempah yang kaya. Jiali lapar, tetapi selera makannya hilang begitu saja begitu pandangannya jatuh pada potongan daging panggang yang mendominasi menu. Matanya membeku menatap daging dengan warna cokelat keemasan, dikelilingi bumbu yang tampak berkilau.“Xiumei.” Xiumei mendekat. “apa itu ... daging kelinci?" suara Jiali terdengar serak, hampir tidak percaya.Xiumei yang berdiri di dekatnya menunduk dalam-dalam, tidak berani mengangkat wajah. "Hamba tidak yakin, tapi sepertinya begitu, Nyonya," jawabnya dengan nada hati-hati, takut menyulut amarah Jiali.Detik berikutnya, suara denting piring dan gelas terdengar memenuhi udara ketika Jiali menggebrak meja dengan keras. "Mereka benar-benar memanggangnya! Mereka membunuh kelinci itu!" serunya. Amarah yang selama ini melesak dalam dada akhirnya meledak.Dengan langkah tergesa, Jiali keluar dari tend
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,
Jiali melangkah cepat kembali ke kamarnya. Hati dan pikirannya masih penuh akan amarah. Bahkan gaunnya tampak sedikit berkibar ketika ia berjalan. Begitu pintu kamarnya ditutup Xiumei, Jiali langsung membuka tali selendang di pinggangnya dengan kasar lantas melemparkannya ke meja. “Chu Hua benar-benar keterlaluan! Menyebalkan! Memangnya dia pikir dia siapa? Selir! Dia hanya selir!” Xiumei berdiri tak jauh, tangan terlipat di depan, tak berani menyela. Pekan ia meniup api lentera lalu kembali menatap Jiali. “Seharusnya aku tidak mendekati mereka!" Jiali masih terus berbicara, berjalan mondar-mandir. “Nyonya,” ucap Xiumei pelan. "Aku tahu, aku tahu! Kau sudah memperingatkan, tapi aku tetap saja mendatangi mereka! Bahkan mereka tidak takut berbicara buruk di depanku! Chu Hua, Dong Hua, Dai Lu—hah! Mereka seperti sekumpulan burung murai yang terus berkicau tanpa henti! Sekarang Li Wei mendengar semuanya! Aku bisa bayangkan bagaimana dia akan menggunakan ini untuk keuntungannya!" X
Pelayan yang sedari tadi hanya berdiri di ujung ruangan kompak keluar ketika Yunqin menendang salah satu meja hingga semua benda yang berada diatasnya jatuh berserakan. Matanya merah menatap seluruh ruangan dan dadanya pun tampak turun naik. Yunqin tidak akan pernah mempercayai apa yang sudah dikatakan Yuwen. Omong kosong! Sampai detik ini Yunqin yakin kalau Jiali hanyalah miliknya. Hanya miliknya! “Seharusnya kau bisa mengendalikan perasaanmu." Yunqin berbalik. Sang istri—Sun Li Wei dengan anggunnya telah berdiri di belakang Yunqin. “Pergilah dari sini!“ usir Yunqin. Sejujurnya sakit yang mendera hati Li Wei menolak untuk bersikap baik, tetapi sebagai istri dari sang pangeran mahkota, ia tidak bisa diam saja. Ia harus menyelamatkan harga diri suaminya. Sang penerus kerajaan. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku,” ucap Li Wei pada dua pelayan yang berdiri di belakangnya. “Baik Yang Mulia.” Begitu mendengar pi
“Semuanya hampir siap, apa ada yang Nyonya butuhkan lagi?” Tidak mendapatkan jawaban, Xiumei mendekati Jiali yang diam terduduk sedari tadi. Xiumei hendak menepuk pundak Jiali. Namun, urung karena Jiali tampak fokus menatap helai rambut di telapak tangannya.Apa yang terjadi pagi tadi di aula utama jelas mengguncang seluruh karesidenan. Rambut panjang bagi seorang lelaki adalah simbol maskulin, kehormatan dan kedudukan status sosial. Apa yang dilakukan Yuwen jelas sangat penting. Bahkan kaisar Tao tidak bisa berkata-kata.“Nyonya.” Sentuhan lembut Xiumei di pundak membuat Jiali hampir melonjak. “Maaf membuat kaget. Xiumei sudah selesai. Sebentar lagi Tuan Yuwen pasti datang, sebaiknya Xiumei keluar.”“Ya, baiklah. Kamu boleh keluar.”“Baik.”Setelah Xiumei meninggalkannya sendiri, Jiali bangkit lantas mendekati kotak perhiasannya. Ia menaruh helai rambut Yuwen dengan sangat hati-hati di antara cincin-cincin gioknya.“Apa yang sudah kamu lakukan Yuwen?” cicit Jiali.Suara derak pintu m