"Kau bisa sangat membantu bila mau berhenti menangis."Ucapan Yuwen membuat tangis Jiali semakin tidak terkendali. Bagi Jiali, Xiumei bukan hanya seorang pelayan. Mereka telah bersama sejak kecil, bertumbuh dalam suasana yang saling mendukung. Xiumei adalah saudari yang tidak pernah Jiali miliki. Kehadiran wanita itu dalam hidupnya lebih dari sekadar pelayan biasa—Xiumei adalah teman, sahabat, dan satu-satunya orang yang benar-benar memahami dirinya. Kini, melihat sahabatnya terbaring tak berdaya, Jiali merasa dunia seolah runtuh.Yuwen yang memijat pangkal hidungnya dengan kesabaran mulai menipis, menatap dengan tajam ke arah Wang Sanlao. Wang Sanlao sedang sibuk membakar obat berbentuk prisma yang terbuat dari bubuk herbal. Obat tersebut diletakkan pada beberapa bagian tubuh Xiumei yang terkulai lemah. Wajahnya tegang, tetapi penuh harapan. Tahu betul jika Xiumei tidak segera ditolong, racun itu bisa merenggut nyawa.Wang Sanlao kemudian mengoleskan ramuan dedaunan yang sudah ditum
Yuwen mengarahkan langkahnya menuju dapur utama, diikuti oleh Yu Yong yang berjalan cepat di sampingnya. Ketika tiba di sana ada ketegangan yang menggantung di udara. Semua orang, baik pelayan maupun juru masak, tampak cemas,mengetahui bahwa ada yang salah. Namun, takut berbicara."Yu Yong, pastikan semua pelayan dan juru masak dikumpulkan di sini," perintah Yuwen dengan suara yang tegas dan jelas. "detiap sudut dapur harus digeledah,” lanjutnya"Baik, Yang Mulia," jawab Yu Yong penuh kewaspadaan. Ia segera bergerak untuk mengeksekusi perintah itu, dan dalam sekejap, dapur tampak lebih ramai karena semua pelayan dan juru masak dikumpulkan di tengah dapur.Tatapan Yuwen menyapu mereka yang tertunduk ketakutan, seolah-olah mampu membaca isi di tiap kepala. "Kalian semua tahu apa yang terjadi pada Nona Xiumei," katanya dengan suara yang membekukan udara, "salah seorang dari kalian memberi makanan yang telah terkontaminasi. Jika ada yang berani berbohong atau menyembunyikan kebenaran, kal
Suara keributan dari luar tenda membuat Jiali penasaran. Ia menarik selimut hingga setinggi dada Xiumei lalu keluar dari tendanya. Beberapa prajurit sedang membawa seorang pelayan wanita dengan tangan terikat ke belakang.Pelayan itu tampak ketakutan, wajahnya pucat pasi. Tak lama setelah itu, Yuwen diikuti oleh Yu Yong keluar dari tenda dapur, keduanya berjalan dengan langkah tegas dan penuh kewaspadaan.Jiali menghampiri mereka, matanya penuh tanya. “Apa kau menemukan petunjuk?" tanyanya menahan cemas di dalam hatinya.Yuwen berhenti sejenak dan menatap Jiali. Tanpa berkata meraih kantong kecil yang masih terpegang di tangannya dan memperlihatkannya kepada Jiali. "Ini yang ditemukan dari pelayan itu," jawab Yuwen.Jiali memandangi kantong itu dengan teliti, lalu mengalihkan pandangannya ke Yuwen. "Apa ini?" tanyanya lagi.Yuwen membuka kantong itu dengan hati-hati, memperlihatkan isinya. Di dalamnya ada sedikit sisa-sisa serbuk agak kekuningan dan terlihat mirip dengan yang ada di g
Pagi itu, saat matahari masih enggan menampakkan diri, Yuwen sudah melangkahkan kaki keluar dari paviliunnya. Langit di timur baru saja memerah, dan udara dingin menyelinap melewati jubah tebalnya. Tempat yang ia tuju adalah sebuah bangunan kecil di sisi utara karesidenan, tersembunyi di balik pepohonan yang rimbun. Bangunan itu tampak seperti gudang tua dari luar, dengan dinding kayu yang mulai memudar warnanya. Namun, bagi Yuwen, tempat ini adalah ruang penyelidikan yang dirancang khusus untuk menahan orang-orang yang mencurigakan tanpa menarik perhatian. Pintu kayu berat itu berderit ketika Yuwen mendorongnya. Di dalam, udara terasa lembap dan pengap, diterangi hanya oleh cahaya redup dari lentera yang digantung di salah satu sudut. Pelayan wanita yang ditahan di dalam ruangan itu duduk di sudut, tangannya masih terikat. Wajahnya terlihat lelah dan pucat, tetapi matanya menatap Yuwen dengan campuran rasa takut dan putus asa. “Yang Mulia,” suara pelayan itu bergetar. Yuwen
“Serbuk racun ini berasal dari jamur langka yang hanya ditemukan di wilayah Zijian,” ucap Yu Yong.Yuwen mengangguk. “Itu tidak berarti Permaisuri Sun Li Wei terlibat. Meski harganya mahal, bubuk ini diperdagangkan bebas. Aku ragu jika Hui Fen mampu membeli sebanyak itu.”“Selir Hui Fen menghadap,” teriak penjaga, diikuti kedatangan Hui Fen bersama seorang pelayan yang membawa baki berisi poci dan cawan porselen.“Hamba menghadap,” ucap Hui Fen.Yuwen melirik Yu Yong, yang segera bangkit dan mundur dengan hormat.“Sajikan tehnya.”“Baik, Yang Mulia.”Pelayan itu meletakkan baki di meja dan mundur beberapa langkah, sejajar dengan Yu Yong.“Yu Yong, bagaimana keadaan luka di leher Xiumei? Syukurlah istriku tidak menjadi korban racun itu.”Tangan Hui Fen yang hendak menuangkan teh terhenti sejenak. Ia menunggu Yu Yong memberi komentar pada pernyataan Yuwen.“Kondisi Xiumei sudah membaik,” jawab Yu Yong.“Bagaimana dengan penyelidikan? Apakah pelayan itu sudah mau bicara?”“Iya, Yang Muli
"Yuwen! Kita harus bicara! Kau harus jelaskan padaku? Mengapa kau melibatkan Xiumei dalam penyelidikan sedangkan aku tidak?! Jelaskan! Semuanya!”Yuwen tersenyum, baru kali ini ia senang mendengar suara protes nyaring Jiali makin dekat, seolah ada harapan tipis ia akan selamat.Langkah kaki Jiali terdengar cepat, suara sepatu yang menghentak keras di lantai marmer ruangan itu menggema. Jiali masuk dan langsung dikejutkan oleh pemandangan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.Yuwen terkapar di lantai, tubuhnya terkulai lemah dengan darah menetes dari lengan kiri. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah, dan matanya sesekali terpejam, seolah ditelan rasa sakit yang luar biasa. Jiali terdiam sejenak kemudain berlari mendekat, terjatuh di sisi Yuwen, gemetar saat meraih tubuhnya yang mulai mendingin."Yuwen!" suaranya tercekat, gemetar saat menyentuh kulit Yuwen yang sudah semakin dingin. "Apa yang terjadi padamu?" tanyanya panik.“Aku akan segera menepati janjiku.”Jiali tersentak.
Jiali duduk di sisi tempat tidur Yuwen, menggenggam tangan suaminya yang dingin dan lemah. Bekas luka di dada Yuwen masih segar, terlihat samar darah di bawah perban yang terikat dengan hati-hati. Hening malam terasa begitu pekat, hanya diiringi suara napas Yuwen yang berat dan perlahan. Jiali menatap wajah suaminya.Rasa penyesalan membola nyata. Mengisi tiap ruang dalam sanubari Jiali. Jiali takut, Yuwen tidak akan membuka matanya lagi.“Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Jiali pada dirinya sendiri. Tidak ada yang mendengarnya, tetapi pertanyaan itu seperti satu teriakan dalam telinga Jiali.“Nyonya.” Jiali menoleh, melihat Yu Yong memberi hormat dengan sopan. “Nyonya, silakan kembali. Saya akan tetap berjaga. Tuan Sanlao sudah mengobati Yang Mulia dan mengatakan bahwa Yang Mulia akan segera sadar,” lanjut Yu Yong, berusaha membujuk Jiali dengan lembut.Dengan hati-hati, Jiali berdiri dan merapikan selimut Yuwen. Sejenak Jiali terdiam menatap Yuwen. Ia harus berpikir cepat. Mengan
Langkahnya jelas terburu-buru. Jiali ingin berlari, melepaskan dirinya dari kenyataan yang terus membebani. Berurusan dengan keluarga kerajaan memang tidak akan membuat hidupnya berada dalam satu kata tenang.Yuwen terluka oleh keluarganya sendiri. Orang yang berbuat membunuh Yuwen bukanlah orang asing. Orang itu adalah kakak Yuwen sendiri. Meski kakak tiri, tetap saja Yunqin adalah kakak Yuwen.Itu terlalu kejam dan Jiali menjadi penyebab Yunqin melakukan kekejaman itu. Setiap kali Jiali teringat bagaimana wajah Yuwen terbaring tak berdaya, darah yang mengalir di tubuhnya, hati Jiali semakin teriris. Seharusnya pernikahan ini tidak pernah terjadi. Seharusnya meski menengtang titah kaisar, Jiali bisa membatalkan perjodohannya dengan Yuwen.Yunqin ingin Jiali berada jauh dari Yuwen. Baik, ia akan mengabulkannya, tetapi untuk kembali ke sisi Yunqin … bagaimana Jiali bisa melupakan malam itu? Pertengkaran penuh darah itu? Bagaimana ia bisa melupakannya? Yunqin yang tidak pernah ia duga
Yuwen menatap para prajurit yang berlatih di aula. Semuanya harus disiapkan lebih serius. Hari-hari yang berlalu sejak kepulangan rombongan kekaisaran terasa makin menegangkan.Rumor tentang rencana gila Yunqin bisa terwujud bila didukung penuh oleh Wei Junsu. Ini berbahaya.“Yang Mulia.”Yuwen melirik Yu Yong yang datang kemudian memberi hormat padanya. “Katakan. Bagaimana kondisi di perbatasan?”“Sudah beberapa petang, tidak ada yang mencurigakan. Perompak yang beberapa waktu lalu terlihat mendekati perbatasan kembali ke pegunungan.”Yuwen diam sesaat. “Meski begitu, kita tidak boleh lengah. Terlebih Hangzi belum memiliki bupati baru.”“Yang Mulia, apa sebaiknya kita menambah penjagaan di sekitar karesidenan khususnya paviliun nyonya?”Kali ini Yuwen memberikan perhatian penuh pada Yu Yong dengan berbalik menatapnya. “Apa yang menjadi pertimbanganmu Yu Yong? Katakanlah.”“Beberapa waktu belakangan, kita tidak selalu bersama dengan Nyonya. Urusan pemerintahan masih berada di bawah ta
“Benar-benar sudah pergi,” gumamnya.Yuwen mengangguk. “Akhirnya.”Embusan angin pagi mengibaskan ujung jubah dan rambut yang tergerai. Di pelataran utama karesidenan, Jiali berdiri di sisi Yuwen, keduanya diam-diam melambaikan tangan ke arah rombongan kekaisaran yang mulai menjauh, debu lembut mengepul dari roda kereta kuda yang berderak perlahan.Di kejauhan, warna-warni pakaian istana tampak mengecil, lalu menghilang di balik gerbang utama. Jiali baru menurunkan tangannya setelah rombongan benar-benar lenyap dari pandangan lalu menarik napas pelan.“Apa kau lega?” tanya Yuwen perlahan, menoleh pada Jiali.Jiali menatap lurus ke depan. “Entahlah, aku tidak tahu.”“Mulai malam ini, aku akan kembali ke kamarku malam ini. Setelah beberapa hari terakhir, kau pasti butuh tidur yang tenang,” ucap Yuwen.Jiali menoleh cepat, terdiam sejenak kemudian menyaut, “Ya, baiklah.”Yuwen menatap sejenak wajah Jiali lalu tersenyum samar. Jiali balas mengangguk kemudian pergi meninggalkan Yuwen sendi
Sinar matahari merambat pelan di sela tirai tipis, menerangi wajah Jiali yang sedari tadi tersenyum-senyum tanpa alasan jelas. Xiumei, yang sedang menyematkan jepit kecil di rambut pendek nyonya muda itu, penasaran, tetapi ikut bahagia."Sepertinya semalam, Nyonya bermimpi indah," godanya sambil menata rambut Jiali dengan hati-hati.Jiali menggeleng pelan, masih menyunggingkan senyum. "Bukan mimpi. Ini lebih baik dari sekadar mimpi.”Xiumei menyipitkan mata curiga. "Apa karena sekarang Nyonya sudah jadi satu-satunya wanita Yang Mulia?" tanyanya lagi.Senyum Jiali perlahan memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Xiumei, aku sampai lupa tentang Hui Fen. Bukankah rombongan belum meninggalkan karesidenan?”Xiumei mengangguk. “Iya, Nyonya.”Tanpa berkata lebih banyak, Jiali bangkit dari kursi rias dan berjalan ke lemari pakaian. Di dalam tumpukan kain halus, ia menarik keluar sebuah kotak kecil yang terbungkus kain biru. Kotak itu ia dekap sejenak sebelum melangkah keluar kamar
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit mendung mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Jiali. Sejak pagi sampai menjelang makan siang, Jiali masih duduk di tangga paviliunnya. Pandangannya kosong ke arah rerumputan. Tanpa disadari, Jiali meremas lengannya lalu mengusap leher ketika ia ingat, hangat dan kuatnya tiap sentuhan Yuwen. Jiali menggigit bibir. Entah apa yang seharusnya ia rasakan. Lega atau sedih? Tiap malam yang belakangan ia habiskan bersama Yuwen adalah satu tugas, tetapi Jiali menyukainya? Benarkah? Lantas … bagaimana dengan Yuwen? Apakah Yuwen melakukannya karena mulai membuka hati untuk Jiali? Mulai mencintai Jiali? Jiali memukul pelan kepalanya. Ia ingat betul bagaimana sikap dingin Yuwen dan selama ini Yuwen juga setuju akan satu kenyataan. Kalau Jiali hanya sebuah beban tambahan. Pernikahan ini … juga tidak diinginkan Yuwen. Pandangan Jiali kembali sayu ketika ingat tatapan ketus tak peduli Yunqin. Kehangatan dalam mata Yunqin yang selalu terjaga lenyap. Seolah mereka tak pernah berb
Melihat Xiumei masuk ke dalam kamar dengan tergesa, Jiali segera bangkit dari kursinya. “Ada apa? Apa ada masalah lagi?”Xiumei tersenyum lantas menggeleng. “Nyonya sudah minum teh herbal?”“Sudah. Apa ada sesuatu? Apa yang terjadi? Apa selir yang lain membuat ulah juga?”Lagi-lagi Xiumei menggeleng. “Adik-adik Yang Mulia ada di depan ingin bertemu dengan Nyonya,” ungkap Xiumei.“Adik?”“Yang Mulia Qing Lien Hua dan Qing Qiaofeng ingin bertemu dengan Nyonya.”Jiali terkejut sejenak. Ia tahu kedua adik perempuan Yuwen itu ikut dalam rombongan kekaisaran, tetapi karena berbagai urusan yang terjadi bertubi-tubi, mereka belum sempat bertemu. Dengan segera, Jiali merapikan penampilannya dan berjalan menuju ruang tamu.Begitu ia masuk, dua sosok yang tampak ceria langsung menyambutnya. Lien Hua, gadis muda dengan senyum lebar dan wajah penuh semangat, serta Qiaofeng, yang sedikit lebih pendiam tetapi memiliki sorot mata yang hangat."Kakak ipar!" seru Lien Hua riang, langsung menghampiri J
Tiba di aula utama, suasana tegang memenuhi setiap sudut. Semua orang berdiri dalam barisan rapi. Kaisar duduk dengan tatapan tajam, memandangi Lu Nan yang berlutut di hadapannya. Yuwen berdiri di sisi sebelah kanan Kaisar, kedua tangannya terlipat di depan dada, raut wajahnya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Jiali berhenti tepat di ambang pintu. Napasnya masih memburu akibat berlari, tetapi matanya langsung menangkap sosok Chu Hua yang berdiri di antara para selir lain. Tatapan puas di wajah Chu Hua membuat perut Jiali semakin bergejolak. Jiali menggigit bibir dan melangkah maju tanpa sengaja tatapannya beradu dengan Yuwen. Yuwen bergerak menghampiri Jiali, menarik tangan Jiali lantas membawanya untuk ikut berdiri di tempatnya semula. Ekor mata Kaisar mengamati pergerakan Yuwen lantas kembali menatap Lu Nan. “Kasim Hong, berikan surat itu.” Hong Li memberikan hormat. “Baik, Yang Mulia,” ucapnya kemudian menyerahkan surat dari Lu Nan kepada Kaisar. Sejenak Kaisar membacanya,