Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama.
“Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka. Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bagaimana wajah sang suami. Meski tidak terlihat jelas, Jiali tahu tidak ada kebahagiaan yang terpancar di sana. Jiali yakin, mereka hanya sekadar bagian dari sebuah formalitas besar, sebagai pion dalam permainan, tetapi mengapa terus dilanjutkan? Mengapa Yuwen mau melanjutkannya? Mengapa? “Melangkahlah, Nona,” bisik Xiumei mendorong punggung Jiali dengan lembut. Walau enggan, akhirnya Jiali memulai langkah pertamanya menyusuri karpet merah, mengikuti irama genderang yang menggema di sekitarnya. Walau berat, tetapi langkahnya pasti membawa dirinya semakin dekat ke altar. Di setiap pijakan, bayangan masa depannya terasa semakin gelap. Entah masih boleh berharap akan ada keajaiban atau tidak, tetapi bila Jiali berada di sini, ia tahu akan ada masalah berat yang akan menanti keluarga Han kelak. Setelah mencapai altar, kedua mempelai saling berhadapan. “Pengantin, bersiaplah untuk memberikan penghormatan,” seru kepala prosesi, suaranya menggema di aula, memecah keheningan yang mendalam. “Pertama, hormat kepada langit dan bumi!” Jiali dan Qing Yuwen menundukkan badan bersama, kepala mereka mengarah ke lantai sebagai simbol penghormatan kepada dewa-dewa yang menjadi saksi pernikahan. “Kedua, hormat kepada orang tua!” Mereka kembali menunduk, kali ini menghadap barisan keluarga. Jiali bisa merasakan tatapan sendu ayahnya yang sesekali menyeka air mata. Pernikahan ini sungguh terjadi, dan ia hanya bisa berharap bahwa semua ini tidak akan berakhir terlalu buruk. “Ketiga, hormat kepada pasangan masing-masing!” Jantung Jiali berdebar keras. Ia menegakkan tubuhnya dengan perlahan menghadap Qing Yuwen yang berdiri kokoh di hadapannya. Mereka menundukkan kepala satu sama lain. Mata Jiali sempat melirik melalui celah kecil tirai sutra di depan wajahnya, mencoba mencari petunjuk dari wajah sang mempelai pria. Namun, ia hanya menangkap kilatan dingin dari matanya yang tersembunyi di balik tirai mutiara. Yakin tidak akan ada kehangatan, apalagi cinta yang mungkin akan terpancar dari pria ini. “Pernikahan resmi dimulai!” Sorakan dari tamu undangan menggema di aula. Musik meriah mulai mengalun, lentera merah bersinar lebih terang. Jiali masih tidak bisa merasakan kebahagiaan. Semua terasa asing dan jauh, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. *** Di sudut lain, sorak-sorai dari aula pernikahan membakar tubuh Yunqin. Perlahan ia pergi tanpa kehadirannya sempat disadari siapapun. Alunan musik memudar di belakangnya. Langkahnya terasa semakin berat dibakar amarah yang tak bisa dibendung. Rasanya jarak yang tidak seberapa menuju shufang—ruang khusus miliknya sebagai pangeran mahkota di paviliun Timur istana. Begitu masuk, ia menghempaskan pintu hingga terbuka lebar, membuat suara kayunya berderak keras. Dalam napas yang memburu, Yunqin menatap meja yang penuh dengan gulungan perkamen dan buku. Kemarahan yang ia tahan meledak. Gulungan perkamen bertebaran, sementara buku-buku jatuh dengan bunyi berat ketika ia menghempaskan semua benda di atas meja dan itu tidak cukup untuk meredakan amarahnya. “Mengapa aku harus diam saja?” teriak Yunqin. Tangannya mengepal kuat, gemetar menahan kesakitan yang dalam. Jeritan amarah Yunqin yang menggema di dalam shufang membuat pengawal yang berjaga di luar mempererat genggaman mereka, sampai-sampai pengawal tersebut tidak menyadari keberadaan Sun Li Wei yang kian mendekat. “Yang Mulia,” ucap pengawal memberikan hormat dengan khawatir. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Kalian tunggu di sini,” katanya kepada pelayan yang mengekor langkahnya. Ia masuk dengan langkah hati-hati. Jubah sutra ungu yang ia kenakan tergerai anggun. Rambutnya tertata rapi. Li Wei mempersiapkan hari ini dengan baik. Sudah banyak yang ia dengar tentang calon istri dari adik iparnya, tetapi Li Wei tidak menyangka kalau amarah Yunqin sebesar ini. Sorot matanya tajam mengamati Yunqin yang kalut. Wajahnya menggambarkan kebingungan dan rasa sakit yang terpendam. Ya, bukankah dirinya adalah istri sah? “Yang Mulia,” Sun Li Wei memanggil dengan suara lembutnya. Namun, suara itu jelas tidak terdengar di telinga Yunqin yang terbalut dalam amarah. Yunqin diam, jangankan mau membalas panggilannya, ia saja malas menoleh. Namun, ketika Li Wei mendekat, akhirnya Yunqin berbalik. Matanya menyala dengan emosi yang tidak bisa disembunyikan. “Pergilah,” ucapnya dengan suara serak, berusaha menahan dirinya agar tidak meluapkan lebih banyak amarah. Li Wei meremas saputangan sutra yang digenggamnya. “Seharusnya kita masih berada di aula utama untuk memberkati pernikahan adik Yuwen.” “Pergilah!” ulang Yunqin kali ini lebih berat, suaranya menggema di ruangan. “Yang Mulia.” Li Wei mencoba bertahan, berusaha menenangkan hatinya. Yunqin menatapnya tajam, hatinya gelisah. “Pergilah!” Yunqin membentak. Suaranya bergetar penuh kekuatan yang tak bisa diganggu gugat. Li Wei masih berusaha untuk tenang. “Apa kau masih memikirkan Jiali? Mantan tunanganmu?” Kalimat itu menusuk Yunqin. Rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah suram. “Li Wei, jangan membahas ini. Kau tidak tahu apa-apa.” Suaranya rendah, penuh kebingungan yang terpendam. “Hamba tahu,” balas Sun Li Wei, suaranya mulai gemetar. “Kau marah karena wanita itu menikah dengan adikmu. Apa artinya aku bagimu? Yang Mulia, sekarang aku adalah istrimu. Kita belum menyempurnakan upacara pernikahan di kamar pengantin. Yang Mulia berdiri di sini seperti pria yang kehilangan segalanya hanya karena seorang wanita dari masa lalumu—” “Cukup!” Yunqin membentak keras, membuat Li Wei tersentak mundur. Keheningan menelan ruangan, hanya terdengar napas terputus-putus dari Sun Li Wei yang tampak terkejut dengan amarah Yunqin. Yunqin menyadari ucapan Li Wei memang benar adanya. Yunqin merapikan lengan bajunya, berbalik, dan berjalan ke pintu. “Aku tidak ingin membahas ini, Li Wei,” katanya dingin, tanpa menoleh. Li Wei tidak mengejarnya. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung Yunqin yang semakin jauh. Begitu Yunqin menghilang di balik pintu, tangis yang ia tahan akhirnya pecah. Ia menunduk, memungut salah satu buku yang tergeletak di lantai. Tangannya gemetar saat melihat nama “Han Jiali” tertulis di salah satu halaman bersama puisi indah yang Li Wei yakin ditulis oleh suaminya. Setiap kata dalam puisi itu jelas melukai hatinya lebih dalam. Li Wei tertawa pelan lantas menyeka air matanya. Ia adalah seorang putri dari negara besar. Mengapa di sini statusnya lebih rendah dari putri seorang saudagar saja? Li Wei mengerti Yunqin memerlukan waktu untuk menerimanya, tetapi bagaimana dengan perasaannya sendiri? Bagaimana dengan dirinya yang kini hanya dianggap sebagai bayangan masa lalu yang tak terjamah oleh Yunqin? Genggamannya pada buku semakin erat, seolah ingin menghancurkan kenangan yang ada di dalamnya. “Perjalanan menuju Hangzi sangat panjang. Segala hal bisa terjadi. Kecelakaan kereta, mungkin … bandit?” Senyum tipis terbit di bibirnya walau tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya kekosongan yang mengisi hatinya. Li Wei berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kenangan yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Langkahnya manta. Dalam dirinya, ia tahu bahwa keputusan yang akan diambil selanjutnya bisa mengubah segalanya.Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Perkemahan telah kosong. Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya.Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan.“Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—”“Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.”Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu
"Kukira kau akan tetap bersembunyi di bawah bayang-bayang tugas, Adikku," ucap Yunqin dengan nada penuh sindiran. Yuwen menoleh dan tatapannya disambut senyum Yunqin. "Kehadiranmu di sini membuatku berpikir, apa rencana selanjutnya yang sudah ibuku untuk kita karena aku tahu kau tidak akan diberi tempat memainkan peran penting di istana ini." Yuwen tidak langsung menjawab. Ia menatap Yunqin sejenak, membaca bahasa tubuh kakaknya. "Meski begitu, sepertinya ayah kita berencana memberikan aku peran lagi. Kakak tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan cara lebih menyenangkan," jawab Yuwen dingin. Yunqin tertawa kecil, tetapi matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. "Bagus. Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan kekaisaran." "Apa Kakak yakin kekaisaran ingin memerintahkan ke mana leherku bergerak?” Mata Yuwen turun memperhatikan pakaian megah pernikahan Yunqin. “Dari pakaianmu, aku rasa rencanamu tidak sesuai dengan perintah kekaisaran. Selamat
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega