“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.
Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.
“Mari, Nona.”
Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?
“Nona?”
Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.
Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkelebat seperti bayang-bayang di air. Tangannya menggenggam kipas semakin erat, lalu ia melangkah masuk ke kereta.
Kereta beroda empat itu mulai bergerak perlahan. Ditarik oleh dua kuda putih yang dihiasi kain merah berbentuk bunga, suara roda yang berderak melintasi jalan batu seakan menggema di hati Jiali.
Jiali menyeka air mata kemudian menyingkap sedikit tirai jendela kereta. Sorak-sorai penduduk yang mengantarkan kepergiannya membuat hati Jiali bertambah sakit.
Xiumei masuk ke dalam kereta lantas duduk di alas karpet merah. “Nona, Tuan Dunrui sudah terlebih dahulu pergi ke istana. Semua barang-barang juga sudah dikirim. Setelah upacara selesai, kita akan langsung pergi ke karesidenan Yang Mulia Yuwen. Perjalanan akan melelahkan, jangan sungkan memanggilku bila Nona butuh bantuan,” ucap Xiumei.
Refleks Jiali menahan tangan Xiumei ketika gadis itu hendak keluar dari tandu kereta. “Xiumei, apa tidak ada cara lain untuk menggagalkan upacara ini?”
Wajah Xiumei yang berubah gelisah membuat Jiali curiga. Xiumei yang memang tidak pernah berbohong pada Jiali akhirnya bersuara. “Nona, itu, hmm, itu ….”
“Ada apa? Kamu punya rencana?”
“Tidak Nona, hanya saja ....”
“Apa?” Xiumei bungkam. “apa yang kau coba sembunyikan dariku?” selidik Jiali.
“Tidak ada Nona.”
“Aku tahu pasti ada sesuatu.”
Mendapat tatapan menyelidik dari Jiali, sontak dengan cepat Xiumei menutupi kain yang melilit pinggangnya. Jiali menarik tangan Xiumei. “Apa yang kau sembunyikan?” Jiali membuka telapak tangannya. “Berikan padaku!”
Xiumei menggeleng. “Nona, hamba tidak mengerti,” jawab Xiumei dengan suara bergetar.
“Berikan atau aku akan memulangkan kamu ke rumah orang tuamu!”
Dalam sedetik Xiumei sudah bersujud di kaki Jiali. “Tidak Nona, jangan lakukan itu Nona!”
Jiali membantu Xiumei untuk kembali menegakkan punggung. “Kalau begitu, berikan kepadaku!”
Tangan Xiumei gemetaran ketika ia menyerahkan secarik kertas terlipat dua yang terselip di kain tersebut. Jiali menarik paksa kertas itu, matanya membulat ketika membaca kata demi kata yang tertulis di kertas.
“Kapan kamu mendapatkannya? Kenapa kamu tidak memberitahukan ini?”
“Nona, ini ide buruk. Hamba tidak ingin Nona berada dalam bahaya lagi,” bela Xiumei.
Jiali kembali membaca isi dari surat yang ia yakini ditulis oleh Yunqin.
Taman Paviliun Selatan. Temui aku. Aku akan meminta Kaisar untuk menjadikanmu sebagai selirku.
“Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Nona.”
“Keluarlah.”
“Nona, tapi ini ….”
Menyadari tidak ada gunanya berdebat, Xiumei melangkah keluar. Di dalam kereta yang semakin jauh menuju istana, Jiali menatap surat itu lagi dengan perasaan campur aduk.
***
Gerbang istana terbuka lebar. Kereta pengantin masuk lantas berbelok ke arah paviliun Selatan. Jiali menyembunyikan kertas di sela gaun pengantin lantas turun setelah kereta sepenuhnya berhenti.
“Nona, Yang Mulia Kaisar meminta Nona untuk beristirahat terlebih dahulu di paviliun,” ucap Xiumei meneruskan pesan dari seorang kasim.
“Kenapa?”
“Yang Mulia Yuwen masih mempersiapkan diri.”
Jiali hanya mengangguk pelan. Sepertinya Dewa sedang berada di pihaknya. Jiali mencondongkan tubuh ke arah Xiumei, berbisik, “Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”
Punggung Xiumei menegak, bulu kuduk di belakang lehernya meremang. Baginya permintaan Jiali persis seperti perintah hukuman mati.
“Nona, hamba tidak bisa membiarkan Nona pergi.”
“Ke mana aku bisa pergi Xiumei? Apa kamu tidak melihat kalau paviliun dijaga sangat ketat?”
Xiumei meneguk ketakutannya lantas menatap ke sekeliling. Jiali benar. Prajurit memang berada di setiap sudut.
“Nona, tapi itu bukan ide yang bagus.”
“Percayalah padaku. Aku hanya ingin berbincang sebentar saja dengan Kakak Yunqin.”
“Nona, hamba mohon.”
“Xiumei, tolong aku, sejak pertunangan kami dibatalkan, kami belum pernah berjumpa lagi. Kalaupun ini mungkin akan menjadi salam perpisahan, aku tetap ingin melakukannya.”
“Nona—“
“Percayalah padaku,” potong Jiali meyakinkan.
“Nona yakin hanya sebentar?”
Jiali mengangguk-angguk. “Iya.”
“Nona, meski upacara belum dimulai, tetapi seluruh kerajaan tahu kalau Nona adalah calon istri Yang Mulia Yuwen, kalau sampai ada yang melihat—“
“Kalau begitu, kamu berjaga di sini. Jangan sampai ada yang mengikuti aku ke taman.”
Terpaksa Xiumei mengangguk lantas menatap Jiali yang bergegas pergi menuju taman.
Seluruh taman di dalam istana begitu indah, tetapi taman di bagian Selatan adalah yang paling sering dibicarakan. Pucuk rumput yang baru dipangkas masih harum, bunga-bunga mekar sempurna. Namun, Jiali tidak bisa menikmati semuanya.
Mata Jiali menatap ke setiap sudut. Sesekali duduk lantas kembali berdiri dengan cemas berharap Yunqin muncul dalam sekejap.
“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?”
Suara dingin itu membuat tubuh Jiali menegang. Ia berbalik cepat hingga ornamen penghias kepalanya beradu. Spontan Jiali mundur selangkah karena pria yang menurutnya amat menyebalkan itu berjalan mendekat. Beberapa pengawal berpakaian zirah tampak menyertainya membuat Jiali semakin gugup.
“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?” ulangnya.
Jiali tidak suka kata 'berkeliaran' ditujukan untuknya. Dirinya terdengar seperti seekor binatang liar yang mengganggu.
“Haruskah saya bertanya hal yang sama lebih dari dua kali?”
“Kakak Gu, bisakah meninggalkan aku sendiri di sini?” pinta Jiali setengah memelas. Melihat ekspresi lawan bicaranya, Jiali kembali berkata. “Kakak Gu apa Kakak sudah menyampaikan pesanku pada Yang Mulia Yuwen?”
“Ya, tentu saja.”
“Benarkah? Aku merepotkan, maaf Kakak Gu.”
Yuwen tersenyum kecut. “Saya bertugas mengantar Nyonya ke aula upacara.”
Dari balik kipasnya Jiali tersenyum hingga matanya sedikit menyipit. “Pergilah terlebih dahulu. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
“Titah pernikahan ini berasal dari Yang Mulia Kaisar Qing Tao sendiri. Bahkan Dewa pun tidak bisa membatalkan pernikahan ini.”
Jiali mempererat genggamannya di gagang kipas. “Aku ta-tahu,” ucapnya terbata.
“Lantas apa yang sedang Nyonya lakukan di sini? Apa tidak masalah bagi Nyonya kalau kepala Tuan Han Dunrui terlepas dari tubuhnya?” tanya Yuwen.
Jiali menelan ludah, membayangkannya saja ia tidak berani. “Apa kamu sudah mengatakan pesanku pada Tuan Yuwen?” ulang Jiali
“Ya. Bukankah aku sudah mengatakan iya?
“Lalu kenapa pernikahan ini masih terlaksana? Kenapa dia keras kepala sekali,” cicit Jiali.
“Hamba masih bisa mendengar, Nyonya.”
“Kalau begitu, aku tidak akan sungkan. Aku penasaran mengapa pangeran kedua masih mau melanjutkan pernikahan sementara dia tahu aku tidak mau menikah dengannya. Semua orang tahu kalau Yang Mulia Kaisar Tao amat menyayangi Pangeran Kedua, kalau pangeran sendiri yang memintanya, Yang Mulia Kaisar Tao pasti mempertimbangkan!”
Jiali mundur selangkah ketika pria yang ada di hadapannya itu membungkukkan tubuh ke arahnya. Nyali Jiali seluruhnya padam ketika pria itu menatapnya sadis.
“Bila percakapan ini didengar Yang Mulia Yuwen, hamba sangat penasaran, pelajaran apa yang akan Yang Mulia Yuwen berikan pada Anda.”
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Perkemahan telah kosong. Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya.Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan.“Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—”“Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.”Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu
"Kukira kau akan tetap bersembunyi di bawah bayang-bayang tugas, Adikku," ucap Yunqin dengan nada penuh sindiran. Yuwen menoleh dan tatapannya disambut senyum Yunqin. "Kehadiranmu di sini membuatku berpikir, apa rencana selanjutnya yang sudah ibuku untuk kita karena aku tahu kau tidak akan diberi tempat memainkan peran penting di istana ini." Yuwen tidak langsung menjawab. Ia menatap Yunqin sejenak, membaca bahasa tubuh kakaknya. "Meski begitu, sepertinya ayah kita berencana memberikan aku peran lagi. Kakak tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan cara lebih menyenangkan," jawab Yuwen dingin. Yunqin tertawa kecil, tetapi matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. "Bagus. Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan kekaisaran." "Apa Kakak yakin kekaisaran ingin memerintahkan ke mana leherku bergerak?” Mata Yuwen turun memperhatikan pakaian megah pernikahan Yunqin. “Dari pakaianmu, aku rasa rencanamu tidak sesuai dengan perintah kekaisaran. Selamat
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega