Share

3) Tersesat dan Sebuah Fakta

Tempat ini cukup aneh untuk dilihat. Sebuah hamparan rumput hijau, dan langit putih yang tak berujung. Entah, ada di mana ia saat ini.

"Aku di mana? Tempat ini terlihat begitu asing. Bukankah tadi aku mengalami kecelakaan, lalu kenapa sekarang justru berada di sini?"

Sepanjang jalan melangkah, tidak ada ujung yang kutemui. Semuanya tampak hanya dilingkupi oleh 2 warna, yaitu hijau dan putih. Seperti tempat asing dan tidak ada tanda-tanda adanya kehidupan.

Arghhh

Mataku menyipit dan refleks tangan ini melindungi wajah dari sebuah cahaya yang tiba-tiba hadir. Gerakannya yang berputar dan membentuk abstrak, seolah ingin memperlihatkan sesuatu. Dia, cukup besar dan menyilaukan.

"Cahaya apa itu?"

Namun, setelahnya aku cukup terperangah, mendapati apa yang kulihat di depan sana. Sebuah bayangan tentang kejadian yang tidak pernah aku tahu. Apakah ini benar-benar nyata?

Mas Adam yang meninggalkan pernikahan, bahkan sebelum ijab kabul, ketika mendengar kabar aku kecelakaan. Batalnya pernikahan antara mas Adam dan Rania. Juga bagaimana kalutnya laki-laki itu sesampainya di depan ruang IGD.

"Mas Adam, apakah rasa cintamu kepadaku sebesar itu? Maaf, selama ini aku selalu meragukan itu semua."

Rasa sesak itu kembali hadir, ketika melihat mas Adam yang menangis sambil memeluk jenazahku yang tengah terbujur kaku. Tangisan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Karena yang kutahu, laki-laki pantang untuk menangis, apapun masalah yang ia hadapi.

Namun, hari ini semua tampak berbeda. Sisi rapuh laki-laki yang menjadi suamiku sejak 6 bulan yang lalu itu, akhirnya terlihat juga. Mas Adam yang terlihat dengan sisi rapuhnya.

"Dam, tenangkan diri kamu, Nak. Ikhlaskan kepergian Clara. Papi juga tidak menginginkan ini terjadi, tetapi, kita tidak bisa egois. Biarkan Clara memilih jalan pulang dengan tenang."

Perkataan papi, membuatku tersenyum. Meskipun hanya menantu, tetapi pria paruh baya itu selalu menganggapku seperti putrinya sendiri. Bahkan, dia sering membelaku ketika aku dan mami berselisih.

Namun, yang membuatku tertegun bukanlah itu. Sosok yang baru datang dengan matanya yang sembab. Sosok cinta pertama, juga laki-laki pertama yang memberikan aku luka. Dia, sosok yang selama ini sering aku panggil dengan sebutan papa.

"Ara sayang. Maafkan Papa Nak. Maaf, Papa telah gagal menjadi orang tua yang baik untuk kamu. Papa sering berbuat kasar dan melukai hati kamu. Jika kamu ingin menghukum Papa, silahkan Nak. Namun, jangan seperti ini. Jangan tinggalkan Papa seperti ini."

Pria itu menangis dengan air mata yah berusaha dia tahan. Apa aku tidak salah dengar? Papa menyayangiku, tetapi kenapa dia tidak pernah bersikap baik kepadaku. Papa, bahkan jauh lebih sayang kepada Rania yang merupakan anak tirinya, dibanding aku, anaknya sendiri.

"Kamu begitu mirip dengan mamamu. Rasa benci papa terhadap pengkhianatan mamamu, yang membuat papa gelap mata. Setiap melihatmu, papa selalu teringat dengan mamamu. Maafkan papa Nak, papa benar-benar menyesal."

"Jadi, papa melakukan ini karena rasa bencinya kepada mama? Kenapa mendengar ini justru terdengar lebih menyakitkan," lirihku.

***

"Apa lagi yang terjadi?" tanyaku, yang tentu saja tidak akan ada yang menjawab.

Cahaya itu tiba-tiba buram. Warna terang yang perlahan redup, hingga memunculkan kabut hitam, sebelum menghilang. Menyisakan asap yang kemudian hilang terbawa angin.

"Kenapa rasanya sangat sesak? Mas Adam, papi, dan papa, mereka adalah orang-orang yang sangat menyayangiku dengan tulus."

"Tuhan, jika aku diberi kesempatan. Tolong izinkan aku kembali bersama dengan mereka di kehidupan yang akan datang. Izinkan aku berkumpul dengan orang-orang yang menyayangiku."

Hiks

Tanpa terasa air mata ini kembali menetes. Seolah menyalurkan rasa sesak yang begitu menghimpit. Mengeluarkan segala amarah dan emosi yang tertahan.

"Apa yang terjadi?"

Tiba-tiba badan ini seolah kaku untuk digerakkan. Seolah ada sebuah magnet yang menarikku dari arah belakang. Susah payah mempertahankan posisi ini, tetapi tidak juga berhasil. Badan ini tiba-tiba terhempas laksana sebuah angin yang terbang entah ke mana.

Arghhh

©©©©©©©

Brukk

"Aduhh."

Kamar yang cukup luas dengan barang-barang yang tidak asing. Kamar yang begitu familier dan menjadi ruangan pribadi setelah aku menikah dengan mas Adam. Kuputuskan duduk di lantai dengan memegang pelipis yang benjol, setelah jatuh dari ranjang.

"Kok aku ada di sini sih?"

"Clara?"

Suara mas Adam seketika membuatku menoleh. Dia, menatapku heran, mungkin merasa aneh dengan kondisiku saat ini . Namun, kenapa dia tetap diam saja di atas tempat tidur itu? Tidak kah dia khawatir dan menghampiriku?

"Ra? Kamu belum nyaman juga tidur sama aku, makanya milih tidur di bawah?" Mas Adam terlihat menghela napasnya, sebelum laki-laki itu memilih turun dan menghampiriku.

"Meskipun pernikahan kita masih berjalan 1 minggu, dan kita menikah juga karena perjodohan, tapi tolong jangan seperti ini ya? Aku memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan kamu."

"Hah?"

"1 minggu? Bukannya kami menikah sudah 6 bulan? Kenapa masih 1 minggu?" tanyaku dalam hati.

"Kenapa? Ada yang mau kamu bicarakan?"

"Enggak, tapi kok Mas ada di sini?"

Raut wajah mas Adam seketika berubah. Mungkin dia bingung dengan pertanyannku, tapi aku juga lebih bingung dengan situasi saat ini. Kenapa aku bisa berada di sini, dan mas Adam juga kenapa bisa di sini?

"Maksudnya apa sih?" Aku hanya menggelengkan kepala.

"Mas ikut meninggal juga ya?"

"Sembarangan," ucap mas Adam dengan tangan yang menyentil keningku. Hal itu tentu saja membuatku kesal.

"Bangun Clara, jangan mimpi terus. Sejak kapan aku meninggal? Kamu do'ain mas meninggal gitu?"

"Hah? Jadi Mas Adam belum meninggal dan masih hidup? Aku pikir setelah aku pergi, mas juga ikut pergi. Makanya kita di sini."

"Yaampun, Clara. Mending kamu cuci muka dulu sana. Mas ambilkan air dan obat buat jidat kamu yang benjol ini."

Setelahnya mas Adam segera meninggalkan kamar. Aku yang masih bingung, tetap harus mengikuti perintahnya. Menuju kamar mandi dan membasuh wajah di wastafel. Ada banyak pertanyaan yang kini bersarang.

Tanpa menunggu waktu lama, segera kulangkahkan kembali kaki ini menuju kamar. Ada sesuatu yang harus aku pastikan saat itu juga. Kami yang belum meninggal, dan pernikahan yang baru berjalan selama 1 minggu.

"Apa mungkin tebakanku ini benar? Tapi, masa sih hal seperti ini benar-benar ada?"

Dengan langkah pelan, kuambil ponselku di atas nakas dekat ranjang. Membuka lockscreen dan saat itu juga mata ini membulat sempurna. Terkejut? Sudah pasti iya. Namun, masih ada banyak hal yang harus lebih dulu aku pastikan.

Segera aku buka beberapa aplikasi, seperti ruang chat, galeri, dan media sosial. Namun, semuanya juga tampak sama. Belum ada posting yang aku upload beberapa waktu sebelum kejadian tragis itu terjadi.

"Jadi, ini benar-benar nyata? Aku benar-benar mengulang waktu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status