Share

5) Calon Pewaris

Pesan yang dikirim oleh Rania, diam-diam membuatku tersenyum sinis. Jika itu dulu, mungkin aku akan langsung mengiyakan permintaannya, tanpa mengindahkan perasaan kecewa mas Adam yang merasa tidak dihargai. Karena dulu, aku begitu menyayangi adik tiriku itu. Sehingga, apa pun yang ia inginkan, pasti akan selalu aku kabulkan.

Namun, itu semua akan berbeda mulai saat ini. Rania, bukanlah lagi prioritasku, atau tidak semua perkataannya harus aku turuti begitu saja. Karena, aku yakin, setiap permintaannya hanyalah sebuah rencana yang ia buat untuk kehancuran rumah tanggaku dengan mas Adam.

Anda

Maaf Dek, Mbak sudah terlanjur janji untuk pergi dengan mas Adam.

Oke, tinggal kirim!

"Kenapa? Ada masalah?" pertanyaan mas Adam yang tiba-tiba membuat aku sadar, jika saat ini kami masih berada di meja makan.

"Ehh, enggak kok Mas. Ini aku cuma balas pesan Rania aja. Tiba-tiba dia ngajak pergi bareng ke ulang tahun perusahaan papaa, besok lusa." Mas Adam terlihat mengernyitkan dahinya.

"Pergi bertiga maksudnya?"

"Bukan, tapi Rania mau aku pergi berdua dengan dia, tanpa adanya mas Adam," ucapku dan diselingi oleh tertawaan kecil. Bisa kulihat mas Adam yang tadinya hendak menyuapkan makanan ke mulutnya, kini kegiatan itu ia urungkan begitu saja.

"Kamu ingin pergi berdua dengan Rania?"

"Ya tidak dong Mas. Besok lusa, tentu saja aku akan pergi dengan mas Adam. Bagaimanapun juga, statusku saat ini adalah istri dari seorang Adam Fahreza. Jadi sudah seharusnya kemanapun aku pergi, tentu saja kita harus bersama."

"Syukurlah, Mas kira kamu tidak ingin kita pergi bersama, dan kamu lebih ingin pergi dengan Rania," ucapnya, disertai dengan senyuman kecil.

Mana mungkin aku memilih pergi dengan Rania. Jika di kehidupan sebelumnya saja, anak itu justru memanfaatkan kesempatan ini untuk terlihat lebih dekat dengan mas Adam di depan para media. Padahal semua orang tahu jika mas Adam saat itu adalah suamiku.

Namun, perhatiaan yang diberikan Rania kepada mas Adam, dan ketidakberadaanku di sekitarnya, membuat Rania memanfaatkan situasi. Seolah-olah aku adalah orang yang tidak bisa menghargai suaminya. Sehingga publik terus menggiring opini dan membandingkan aku dengan Rania. Huh menyebalkan.

"Oh iya. Mas sudah meminta orang untuk membuatkan kamu gaun yang akan kita gunakan di acara ulang tahun perusahaan papa. Mungkin siang atau sore nanti sudah datang. Tolong kamu sambut desainernya langsung ya, kalau merasa tidak cocok atau ada yang kurang, bisa langsung dibicarakan."

"Oh oke, aku usahakan ada di rumah saat mereka datang. Emmm atau Mas berikan juga kontakku ke desainer itu." Tidak ada lagi perkataan dari mas Adam. Kulihat laki-laki itu hanya mengangguk yang berarti ia menyetujui perkataanku.

"Oh iya Mas. Aku berencana ingin mulai bekerja di perusahaan papa, apakah boleh?" tanyaku dengan hati-hati.

"Kenapa tiba-tiba?" Mas Adam yang telah menyelesaikan makannya pun, kini bersandar di kursi.

"Aku merasa kalau sekarang adalah saat yang tepat untuk belajar mengelola perusahaan. Bagaimanapun juga aku adalah satu-satunya anak kandung papa. Jadi, jika aku tidak belajar dari sekarang, ke depannya pasti akan jauh lebih kesulitan."

"Bukannya waktu itu kamu bilang, jika Rania kemungkinan akan memimpin perusahaan menggantikan papa? Kamu sendiri juga tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan perusahaan kan?"

Mendengar itu aku hanya meringis. Memang benar, 1 hari setelah menikah, bukannya berbulan madu, tetapi kami justru membahas masa depan. Aku juga sempat mengatakan kepada mas Adam tentang keinginanku yang tidak ingin menjadi pewaris. Itu semua juga karena campur tangan dan hasutan Rania, huh, kenapa dulu aku sangat bodoh sekali sih.

"Itu hanya pemikiran sesaat aja. Setelah dipikir-pikir tidak mungkin aku menyerahkan perusahaan kepada Rania. Bukannya aku tidak percaya dengan kemampuannya, tetapi Rania bukanlah keturunan asli di keluarga kami. Hal ini tentu saja akan menjadi masalah ke depannya, jika Rania ditetapkan sebagai pewaris. Karena sama saja telah menyalahi aturan turun temurun keluarga."

"Iya, mas paham kok. Apapun yang menurut kamu baik, maka lakukanlah. Selagi itu bukan hal buruk untuk kamu, mas, dan kedua keluarga kita."

"Makasih ya Mas. Aku janji, meskipun nanti telah sibuk di perusahaan, tetapi aku tidak akan pernah meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri," ucapku dan langsung dibalas oleh senyum mas Adam.

©©©©©©©

Setelah mas Adam berangkat ke kantor, aku pun juga segera bersiap. Mulai hari ini aku harus mengamankan posisi sebagai pewaris Raharja. Jangan sampai posisi tersebut kelak justru akan jatuh ke tangan Rania juga ibunya.

"Nyonya, mobil sudah disiapkan."

"Ah iya, terima kasih Bi."

Kejadian di masa itu, masih meninggalkan ketakutan tersendiri dalam benakku. Aku, masih merasa enggan dan sedikit trauma untuk kembali membawa mobil sendiri. Maka, untuk saat ini lebih baik aku selalu menggunakan sopir ke manapun akan pergi.

"Silahkan Nyonya," ucap pak Joko sembari membukakan pintu mobil.

"Terima kasih Pak." Ada rasa takut dan ragu yang sebenarnya hadir. Namun, semuanya harus aku lawan.

©©©©©©©

"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?"

Suara itu mengalun begitu saja, ketika kaki ini berhenti di depan meja resepsionis. Aku tersenyum kepada 2 orang yang berada di balik meja tersebut. Andaikan, mereka tahu siapa aku di sini.

"Saya ingin bertemu tuan Prasetyo Raharja."

"Maaf, apakah sudah membuat janji, sebelumnya?"

"Belum." Aku gelengkan kepala dan segera membuka tas serta mengambil KTP dari dalam dompet.

"Bilang saja, Clara Queenza Raharja, ingin bertemu dengan beliau," ucapku seraya memberikan kartu identitas tersebut kepada resepsionis yang bertugas.

"B-baik, mohon ditunggu, Nona."

Bisa kulihat dari wajah mereka yang terkejut. Hingga saat memegang telepon pun harus bergetar seperti itu. Namun, apakah aku peduli? Tentu saja tidak.

***

"Nona Clara, mengapa Anda tidak mengabari saya terlebih dahulu sebelum ke sini." Setelah beberapa saat menunggu, dari arah lift khusus, bisa kulihat paman Roni yang tampak setengah berlari. Tentu saja tindakan dan ucapan dari tangan kanan papaku itu, menjadi perhatian para karyawan.

"Aku niatnya ingin memberi kejutan untuk papa. Oh iya, apakah papa ada?"

"Tuan baru saja selesai meeting, dan sekarang sedang bersama tamunya. Mari Nona, saya antarkan ke ruangan tuan Prasetyo." Aku hanya mengangguk. Setelah mengambil kembali kartu Identitas, dan mengucapkan terima kasih kepada kedua resepsionis tadi, segera kuikuti langkah kaki paman Roni.

"Jadi dia putri pertama tuan Prasetyo?"

"Entahlah, selama ini yang biasa kita lihat bukannya hanya nona Rania?"

"Iya, nona Clara sangat jarang tampil di publik. Berbeda dengan nona Rania, ketika baru bergabung dengan keluarga Raharja, ia langsung dikenalkan ke publik."

"Mungkin tuan Prasetyo tidak begitu menyukai putri kandungnya."

"Hus, jaga bicaramu. Bagaimanapun juga, nona Clara adalah putri kandung tuan Prasetyo."

***

Bisik-bisik tersebut seolah menjadi pengiring langkahku. Apakah mereka tidak sadar, jika mereka berbisik tidak menggunakan suara yang pelan. Apakah mereka sengaja membicarakanku seperti ini? Sial.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status