"Guys, kapan-kapan kita liburan yuk," ucap Devano yang seolah tengah mengalihkan pembicaraan.
"Boleh tuh, mending sekarang kita atur jadwal deh. Kalian kapan ada waktunya?" tanya Claudia.."Gue dalam minggu-minggu ini kayaknya enggak bisa sih. Soalnya masih ada beberapa sidang sama klien," ucap Jesica."Gue mulai lusa bakal sibuk sama jadwal operasi. Paling sampai 3 atau 4 hari," jawab Reno."Kalau gue sendiri, kebetulan jadwal syuting udah selesai, promo lagu juga masih bulan depan. Jadi, kalau untuk sekarang masih ada banyak waktu."Clara yang semula nampak gugup, kini telah berhasil mengendalikan dirinya. Ia sangat berterimakasih kepada Devano dan Claudia yang bisa mengalihkan perhatian. Juga mancairkan suasana yang awalnya terasa canggung."Kalau misal kita ambil liburan minggu depan, gimana? Kayaknya gue juga bisa sih kalau hari itu.""Lebih ke weekend minggu depan?" tanya Dimas, untuk memastikan."BoSiang ini Adam dan ayahnya baru saja selesai bertemu dengan klien dari China. Mereka tampak keluar dari ruang VIP Restoran bersama klien mereka, juga beberapa orang kepercayaan di belakangnya. Saat ini tujuannya ialah kembali ke perusahaan, dan mengerjakan rincian kerja sama sesuai kesepakatan bersama. "Oh iya Dam, hampir aja lupa. Nanti malam ajak Clara ke rumah. Malam ini kita akan kedatangan keluarga besar mama kamu," ucap Dimas ketika mereka telah sampai di parkiran. Sengaja memang, Adam pergi ke tempat ini bersama papinya, dan ia yang bertugas menyetir mobil. Sedangkan asisten mereka berada di mobil satunya lagi. "Kok dadakan Pi?""Sebenarnya udah agak lama papi tahu kalau mereka akan datang. Hanya saja, ternyata mami kamu lupa memberitahu kamu dan Clara.""Mami ini, ada-ada aja. Yaudah, nanti sampai di kantor, Adam akan telpon Clara." Dimas hanya mengangguk, kemudian ia masuk ke dalam mobil. Begitu juga dengan Adam yang langsung mengambil
Para orang tua dan Rania, tentu saja terkejut dengan perkataan Adam. Namun, berbeda dengan para sepupu Adam lainnya Brian, Radit, dan Satya, mereka setuju dengan pernyataan Adam. Karena, Rania bukanlah anggota keluarga mereka. Sedangkan Clara, ia hanya diam, tetapi dibalik diamnya, justru merasa senang dengan perkataan suaminya tersebut. "Kamu apa-apaan sih Adam? Mami yang mengundang Rania ke sini. Karena, dia sudah mami anggap seperti anak sendiri. Lagian, Rania juga sahabat kecil kamu, jauh sebelum kamu mengenal Clara.""Mi? Aku enggak suka ada orang lain yang ikut di acara rutinan keluarga kita. Mami sadar enggak sih? Sedari tadi yang Mami perhatikan hanya Rania. Di sini, menantu Mami itu Clara, bukan Rania," ucapnya dengan tegas. Adam sangat berharap jika maminya bisa menaruh perhatian yang lebih kepada istrinya. "Udahlah Dam. Lagian kalau memang mami kamu lebih sayang dengan Rania, berarti Clara belum bisa menjadi menantu yang diinginkan mami kamu.
Adam dan Clara tengah berada di dalam mobil yang akan membawa keduanya menuju ke mansion. Suasana makan malam ini, tidak pernah laki-laki itu perkirakan akan berakhir seperti ini. Entah, apa yang dipikirkan oleh maminya tersebut. Sebagai lelaki dewasa, tentu ia paham, jika sang mami hendak mendekatkannya kembali dengan Rania. Namun, apakah maminya tidak memikirkan perasaan Clara, juga kenyamanan anaknya sendiri? Apalagi Clara, Adam hanya takut jika istrinya tersebut merasa tidak nyaman. "Sayang, maafkan perilaku mami ya. Mas sama sekali tidak menyangka, jika mami bisa berbicara seperti tadi." Adam yang tengah menyetir, menolehkan kepalanya ke arah Clara. Bisa ia lihat, jika istrinya itu tengah sibuk memandangi jalanan. "Enggak masalah Mas," ucap Clara sembari menoleh ke arah Adam. "Yang penting bagi aku, kamu tidak terpengaruh dengan perkataan mami. Meskipun misalnya mami memiliki niat untuk mendekatkan kamu dengan Rania, aku harap kamu tetap
Setelah membereskan barang bawaannya, Adam segera memeluk pinggang Clara dari arah belakang. Menumpukan dagunya di pundak sang istri. Ada rasa nyaman, yang baru ia rasakan saat bermanja dengan istrinya. Salah satu hal favorit yang baru ia dapatkan setelah menikah dengan Clara. "Kenapa?" Clara menggenggam telapak tangan sang suami yang melingkar di perutnya. Kini, posisi keduanya tengah berdiri di balkon kamar yang menghadap langsung ke arah laut. "Aku, kangan banget sama kamu," gumamnya dengan pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Clara. Perempuan itu tersenyum kecil, dan segera membalikkan badannya. Menangkup kedua sisi wajah sang suami yang entah kenapa semakin hari terlihat semakin tampan. "Padahal kita tidak pernah berpisah lho. Kenapa masih aja kangen, hmm?""Entahlah, hanya saja rasanya hampa kalau lama-lama enggak lihat kamu." Kembali Adam memeluk Clara dengan erat, yang dibalas oleh Clara berupa elusan lembut di punggung laki-laki itu.
"Aku mohon. Untuk kesekian kalinya, tolong percaya denganku, Clara." Setengah jam telah berlalu, tapi mas Adam tetap mempertahankan posisinya tersebut. Berjongkok, seraya menggenggam tanganku yang kini tengah duduk di atas ranjang. "Pergilah Mas. Mereka sudah menunggumu di sana." Akhirnya, hanya itulah kata-kata yang bisa aku ucapkan, setelah beberapa saat hanya diam. Kupandangi lagi sosok laki-laki yang telah resmi menjadi suamiku sejak 6 bulan yang lalu. Ia telah rapi dengan pakaian yang seharusnya dikenakan. Celana hitam, kemeja putih, jas hitam, juga peci hitam yang melekat di badanya. Kuhela napas perlahan, sehingga tanpa sadar air mata ini kembali menetes. Teringat, jika sebentar lagi pernikahan kami yang masih seumur jagung ini akan berbeda. Namun, apa boleh buat? Inilah resiko yang harus aku terima, ketika menyadari akan ada sosok adik madu yang akan masuk dalam ruang lingkup rumah tanggaku dengan mas Adam. Terlebih, dia adalah adik tiriku sendiri, Rania. "Clara, tolong ja
Kenangan dua minggu yang lalu terus saja berputar. Seiring dengan air mata yang tak kunjung reda. Rasa sesak itu terasa begitu mendominasi. "Kenapa pernikahanku harus berujung seperti ini? Kenapa di saat rasa ini mulai hadir, justru kenyataan pahit ini yang harus aku terima?"Drt drt drtGetaran telepon yang berada di samping, membuatnya berusaha untuk menetralkan suara. Terlebih telepon itu berasal dari Bara, sahabat baiknya sejak dulu. Entah, ada angin apa tiba-tiba laki-laki itu menghubunginya seperti ini. "Halo, Bar. Kenapa?" "Kamu baik-baik aja kan Ra?" tanya Bara. Mendengar itu Clara justru tertawa kecil. "Bohong banget kalau di saat kayak gini, aku masih bisa bilang baik-baik aja, iya kan?"Hening"Ada apa?" tanyanya lagi. "Aku barusan kirim email. Coba aja kamu cek sekarang. Di sana, tertera bukti kalau Adam tidak sepenuhnya bersalah.""Ohh, iya bentar. Aku cek dulu ya, jangan ditutup dulu teleponnya." Segera ia ambil sebuah laptop dan menyelakannya. Setelah itu, segera
Tempat ini cukup aneh untuk dilihat. Sebuah hamparan rumput hijau, dan langit putih yang tak berujung. Entah, ada di mana ia saat ini. "Aku di mana? Tempat ini terlihat begitu asing. Bukankah tadi aku mengalami kecelakaan, lalu kenapa sekarang justru berada di sini?" Sepanjang jalan melangkah, tidak ada ujung yang kutemui. Semuanya tampak hanya dilingkupi oleh 2 warna, yaitu hijau dan putih. Seperti tempat asing dan tidak ada tanda-tanda adanya kehidupan. ArghhhMataku menyipit dan refleks tangan ini melindungi wajah dari sebuah cahaya yang tiba-tiba hadir. Gerakannya yang berputar dan membentuk abstrak, seolah ingin memperlihatkan sesuatu. Dia, cukup besar dan menyilaukan. "Cahaya apa itu?" Namun, setelahnya aku cukup terperangah, mendapati apa yang kulihat di depan sana. Sebuah bayangan tentang kejadian yang tidak pernah aku tahu. Apakah ini benar-benar nyata? Mas Adam yang meninggalkan pernikahan, bahkan sebelum ijab kabul, ketika mendengar kabar aku kecelakaan. Batalnya pern
Mas Adam dan Rania telah bersahabat sejak kecil. Namun, mereka juga harus berpisah karena keluarga Fahreza yang harus pindah ke Singapura. Hingga, mereka kembali dipertemukan sekitar 10 bulan yang lalu. Setelah aku dan mas Adam dijodohkan. Selama ini aku anggap semuanya baik-baik saja. Mas Adam yang selalu ramah dan baik pada semua orang, ternyata membuat Rania salah paham. Dia, menaruh rasa yang lebih kepada suamiku. Bahkan, perempuan itu berani menjebak mas Adam, hanya demi memenuhi ambisinya. Jika sekarang adalah 1 minggu setelah pernikahan kami, berarti masih ada banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Meskipun kami menikah karena perjodohan, tetapi mas Adam tidak pernah mengkhianati pernikahan kami. Maka, aku juga tidak akan membiarkan mas Adam menghadapi masalah ini sendirian ke depannya. "Kenapa?" tanya mas Adam yang baru saja tiba. Dia juga membawa segelas air minum dan kotak obat P3K. "Bukan apa-apa." Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara. Aku yang sibuk dengan pemiki