Share

Kembalinya Istri yang Dikhianati
Kembalinya Istri yang Dikhianati
Penulis: Dewi R. Ayu

1) Merelakan

"Aku mohon. Untuk kesekian kalinya, tolong percaya denganku, Clara." Setengah jam telah berlalu, tapi mas Adam tetap mempertahankan posisinya tersebut. Berjongkok, seraya menggenggam tanganku yang kini tengah duduk di atas ranjang.

"Pergilah Mas. Mereka sudah menunggumu di sana." Akhirnya, hanya itulah kata-kata yang bisa aku ucapkan, setelah beberapa saat hanya diam.

Kupandangi lagi sosok laki-laki yang telah resmi menjadi suamiku sejak 6 bulan yang lalu. Ia telah rapi dengan pakaian yang seharusnya dikenakan. Celana hitam, kemeja putih, jas hitam, juga peci hitam yang melekat di badanya.

Kuhela napas perlahan, sehingga tanpa sadar air mata ini kembali menetes. Teringat, jika sebentar lagi pernikahan kami yang masih seumur jagung ini akan berbeda. Namun, apa boleh buat? Inilah resiko yang harus aku terima, ketika menyadari akan ada sosok adik madu yang akan masuk dalam ruang lingkup rumah tanggaku dengan mas Adam. Terlebih, dia adalah adik tiriku sendiri, Rania.

"Clara, tolong jangan menangis seperti ini. Tolong bicaralah, dan perintahkan aku untuk membatalkan pernikahan ini. Demi Allah, aku tidak pernah merasa mengkhianati pernikahan kita." Lagi-lagi mas Adam meyakinkan aku dengan pendapatnya. Namun, nyatanya semua bukti sangat berbeda dengan apa yang diucapkan mas Adam.

"Aku juga tidak tahu tentang kejadian malam itu. Aku dijebak, Ra. Apa yang terjadi diantara aku dan Rania, itu bukanlah keinginanku. Meskipun pernikahan kita terjadi karena perjodohan, tetapi tidak ada sedikit pun niatku untuk bermain-main dengan pernikahan kita."

"Clara, seiring berjalannya waktu kita bersama, aku merasa nyaman dan juga mencintai kamu. Jadi, tidak mungkin aku dengan tega akan menyakiti orang yang aku sayangi."

"Mas." Kupandangi wajah itu sekali lagi. "Apa pun alasannya, tapi kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang telah kalian perbuat. Ada sebuah nyawa tidak berdosa yang harus kalian jaga."

"Tolong pergilah. Aku tidak ingin kembali disalahkan, karena dianggap telah menahanmu di sini."

"Apa kamu ingin kita meninggalkan negara ini? Kita bisa pergi ke luar negeri dan menjalani kehidupan baru di sana, tanpa mas harus menikahi Rania. Papi juga setuju dengan keputusan itu."

"Mas! Jangan gila! Kamu mau membiarkan Rania menderita? Membiarkan aku semakin dibenci oleh mama tiriku sendiri? Membiarkan papa semakin kecewa denganku? Hingga membiarkan Mami beranggapan jika aku adalah orang yang sangat egois?"

Kembali kuhela napas ini. Melepaskan tangan mas Adam, dan berdiri di depan cermin. Dapat kulihat kekecewaan juga kesedihan di kedua bola mata suamiku tersebut.

"Tolong pergilah. Bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu lakukan. Meskipun aku merasa sangat sakit. Namun, aku tidak mau egois dengan menahanmu di sini."

Grep

Tangan itu kembali memelukku dari belakang. Dengan kepala mas Adam yang ia sembunyikan di ceruk leherku. Hingga beberapa detik berlalu, kurasakan bahunya yang bergetar. Apakah dia menangis?

"Meskipun aku telah menikahi Rani, tapi percayalah jika kamu adalah satu-satunya wanita yang paling aku cintai. Kamulah satu-satunya yang akan menjadi nyonya di kediaman ini. Aku dan dia menikah hanya sebatas status, dan untuk masa depan anak yang dikandungnya saat ini."

Mendengar itu aku hanya mengangguk, tanpa berniat memberikan komentar apapun. Jika mas Adam menginginkan hal itu terjadi, aku juga tidak masalah. Setidaknya aku tahu, jika laki-laki itu tidak akan menelantarkanku begitu saja.

Drt drt drt

Di tengah keheningan ini, terdengar suara dari ponsel mas Adam yang berada di saku celananya. Aku hanya diam ketika melihat dia bergegas mengambil ponsel tersebut. Hingga tanpa sengaja mata ini melihat nama Mami yang telah menghubunginya.

"Halo Mi, ada apa?"

".... " Entah mengapa dia melirikku sekilas sebelum kembali berbicara.

"Iya, Adam akan segera berangkat."

".... "

"Tidak, Clara tidak akan ikut. Dia harus istirahat."

Klik

Telepon dimatikan, dan mas Adam kembali memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Diraihnya kedua tanganku yang kini tengah menghadapnya. Aku tidak paham dengan arti dari tatapan tersebut.

"Mas mohon izin kamu, Dek," ucapnya yang hanya kubalas dengan anggukan. Setelahnya ia benar-benar pergi.

©©©©©©©

1 tahun yang lalu, keluarga besar kami mengenalkan aku dengan mas Adam. Kedua kakek kami telah menjodohkan kami sejak kecil. Awalnya, kami sama-sama menolak dengan tegas perjodohan ini. Namun, karena beberapa hal, akhirnya kami menerima dan saling berkomitmen untuk menjaga pernikahan ini.

Hingga akhirnya 6 bulan yang lalu, aku dan mas Adam telah resmi menjadi pasangan suami istri. Semua tampak baik-baik saja, meskipun mami–ibu mertuaku terlihat belum bisa menerima kehadiranku sebagi istri mas Adam. Namun, itu semua bukan masalah, karena aku yakin suatu saat semua akan berjalan seperti yang kami harapkan.

Hingga, tepat 2 minggu yang lalu, rumah tangga kami yang semula baik-baik saja, dikejutkan dengan berita yang dibawa oleh adik tiriku. Rania, beserta mama tiriku dan mami mertua, datang dengan membawa kabar buruk bagi rumah tangga kami. Suatu kabar yang membuat kepercayaanku terhadap mas Adam runtuh begitu saja.

***

FLASHBACK

"Kamu harus bertanggung jawab Adam. Kamu sudah merusak masa depan putri saya." Mas Adam yang saat itu baru saja pulang dari perusahaan, harus menerima kemarahan dari mama tiriku–mama Vina.

"Apa yang harus dipertanggungjawabkan? Bahkan saya tidak pernah menyentuh perempuan lain selain istri saya."

"Mas Adam? Kenapa kamu benar-benar tega? Malam itu dengan keadaan mabuk kamu melecehkan aku. Di sini, aku yang paling dirugikan. Keadaan janin ini pasti akan menjadi buah bibir bagi orang-orang, karena aku yang hamil tanpa seorang suami."

"Dengar Rania! Saya tidak pernah merasa telah menyentuh kamu. Jadi, jangan pernah menuntut saya untuk bertanggung jawab dengan apa yang tidak saya perbuat."

"Jadi, maksud Mas aku berbohong? Apa mas lupa? Satu bulan yang lalu, pagi itu kita terbangun dengan keadaan tanpa busana di hotel tempat acara dilangsungkan. Mas juga berjanji akan mencari jalan keluar dari masalah ini. Namun, sampai sekarang justru Mas seolah menghindar dan tidak mau tahu dengan janin yah aku kandung."

Kedatangan mereka yang mendadak saja sudah cukup membuatku heran. Apalagi sekarang, dengan fakta baru jika Rania tengah mengandung anak dari Mas Adam, membuat hidupku rasanya hancur saat ini juga. Mengapa lagi-lagi aku harus berbagi dengan adik tiriku?

Sejak pernikahan papa dengan mama Vina, 2 tahun yang lalu, aku selalu dituntut untuk mengalah. Semua orang mengharuskan aku mengalah dengan adikku sendiri. Aku juga harus berbagi apapun dengan Rania, jika ia menginginkan sesuatu yang aku miliki. Namun, apakah sekarang aku juga harus berbagi suamiku dengannya? Ini sungguh menyakitkan.

"Mami tidak pernah mengajarkan kamu untuk lari dari tanggung jawab, Adam. Jadi, segeralah menikah dengan Rania. Ini juga untuk menjaga kehormatan kedua keluarga kita."

"Tidak mungkin Mi. Aku telah berkomitmen untuk menjaga pernikahanku dengan Clara. Mami tidak bisa seenaknya memintaku untuk menikahi Rania. Lagian, aku juga tidak yakin jika itu adalah anakku."

"Mas!" teriakan dari Rania, membuatku tersadar dari lamunan sesaat.

"Baik, jika kamu tidak ingin menikahi aku. Maka jangan salahkan aku jika masalah ini akan tersebar di publik."

"Jangan gila kamu Rania!" Mas Adam berdiri dari duduknya, dengan sorot mata yang tajam.

"Aku seperti ini karena keegoisan kamu Mas. Setelah merusak masa depanku, kamu justru imgin lari dari tanggung jawab? Bahkan kamu juga tidak memikirkan darah dagingmu yang tengah aku kandung." Kulihat Rania juga menatap mas Adam dengan sorot matanya yang tajam.

"Clara, kamu jangan egois. Izinkan Adam menikah dengan Rania. Dia adik kamu, sudah sepantasnya kamu memahami perasaannya saat ini. Terlebih mami juga lebih menyukai Rania menjadi menantu keluarga Fahreza, dibanding kamu yang belum juga bisa memberikan Adam keturunan."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status