Langit perlahan mulai gelap. Menandakan bahwa malam akan segera datang dan matahari jelas harus menyingkir dari singgasananya. Memberikan ruang untuk rembulan yang membuat langit jadi temaram.Di tengah suasana yang kian gelap itu, beberapa anak muda tampak berkumpul di suatu jalan raya di pinggiran Jakarta, tepatnya di jalan menuju pegunungan dekat ibu kota. Lokasinya yang tidak berada di pusat kota itu membuat kondisi di sana tampak cukup sepi. Tidak terdapat banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada mereka, para anak pengusaha kaya di ibu kota.Jevano sudah berada di atas motor sport merah milik Marko. Menggeber mesinnya. Kemudian menoleh pada Ajiandra, lawan balapannya saat ini."Hey, Bocah. Mau taruhan apa untuk balapan kita?" tanya Jevano."Tidak perlu taruhan. Aku hanya sedang bosan dan butuh hiburan. Jadi aku tidak membutuhkan taruhan." Ajiandra menjawab santai. "Aku sudah cukup senang hanya dengan mendapat kemenangan."Lelaki bertubuh tinggi kurus yang sebenarnya lebih mu
Nyonya Wijaya yang jatuh pingsan membuat Nadisa membulatkan matanya. Untung saja wanita cantik itu tetap bersandar pada sofa, bukannya jatuh terhuyung ke lantai."T-tante?!" pekik Nadisa dengan kelewat kagetnya."Waduh, aku lupa kalau Mami takut darah. Bro, kamu duduk dulu di sini, ya. Aku angkut Mami ke kamarnya dulu," izin Marko. "Hey, Cantik, kalau bisa, tolong rawat temanku dulu ya. Ini aku sudah bawa perban dan alkohol untuk membersihkan lukanya. Nanti aku bantu juga untuk merawatnya, setelah membawa Mami ke kamar."Tanpa menunggu persetujuan dari Nadisa, Marko Wijaya sudah terlebih dahulu mendudukkan tubuh lemah Jevano di sofa samping Nadisa. Kemudian menggendong sang Mami ke arah kamarnya. Melewati Leon dan Narendra yang menatap kebingungan melihat kehadirannya.Nadisa memandangi Jevano, yang kini terdiam dengan tatapan sayu. Lutut dan sikunya mengalirkan darah. Dengan beberapa luka di wajah tampannya.Jevano juga mengalihkan pandangannya untuk menghindari Nadisa. Dalam hati, J
"Mami kenapa, Ko? Kok pingsan?" tanya Leon, tatkala sang kakak kembali melewati ruang tengah, untuk tiba di ruang tamu. Sepertinya ada teman sang Kakak di luar sana. Karena Leon dapat mendengar sayup-sayup suara dari ruang tamu sana."Bukan urusan anak kecil. Kamu belajar saja yang rajin," ucap Marko dengan santai. "Hey, Bung, ajari adikku yang benar, ya. Aku keluar dulu." Tepat setelah mengatakannya, Marko kembali melanjutkan langkah."Aish, Koko memang biang kerok! Awas saja kalau Mami sampai kenapa-kenapa! Akan Leon adukan ke Papi!" kesal Leon dengan pipi yang menggembung besar.Narendra menatap punggung Marko yang kian menjauh, menuju ruang tamu. Nadisa 'kan sedang ada di sana. Seharusnya, Nadisa bersama dengan sang Nyonya Wijaya. Tapi wanita paruh baya itu baru saja dibawa oleh Marko kembali ke kamarnya.Narendra jadi khawatir.Apa Nadisa baik-baik saja di luar sana?Secara tiba-tiba, Milo berjalan cepat menuju ruang tengah, kemudian melompat ke arah pangkuan Narendra. "Miaw! M
"Kok tiba-tiba diam? Wajahmu itu sudah seperti mau menelan orang, Jevan." Marko berkomentar dengan santai.Jevano menoleh pada Marko."Apa? Jangan menatapku begitu! Kamu benaran mau memakanku atau bagaimana?" tantang Marko. "Kalau mau memakanku dalam konteks yang 'itu', sudah kubilang 'kan kalau aku ini masih lurus? Aku tidak–" BUGH!Celotehan Marko Wijaya terpaksa dihentikan karena wajahnya dihantam dengan bantal. Yang tentu saja pelaku pelemparannya ada Jevano Putra Hartono."Shut up, Marko." Jevano bicara dengan suara beratnya. Baru kemudian ia bertanya. "Laki-laki yang tadi dengan Leon itu, kamu kenal?""Tidak terlalu. Aku cuma tahu kalau dia orang miskin yang dekat dengan mamiku dan disuruh menjadi tutor Leon. Kenapa? Kamu mau beralih dari aku ke dia? Iy–" Bugh! "Astaga, kamu sudah babak belur tapi tenagamu masih kayak raksasa! Sakit tahu, Jevan!"Marko mengeluh kesal karena lagi-lagi wajah tampannya dihantam menggunakan bantal oleh Jevano."Tidak bisakah Leon mengganti tutornya?
Gadis Sanjaya itu tidak dapat menahan lengkungan senyum di bibir tipisnya. Ia bahkan tertawa kecil, tatkala menutup rapat pintu utama kediamannya. Gila. Nadisa pasti sudah gila!Bisa-bisanya Nadisa mencium pipi Narendra!Hal yang tidak pernah Nadisa bayangkan sebelumnya. Habisnya, Nadisa merasa kesal dengan Narendra yang tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Jadilah Nadisa ingin menunjukkan, bahwa dirinya telah lebih dulu jatuh hati pada sang Bagaskara.Siapa tahu, Narendra akan lebih percaya diri ke depannya. Iya 'kan?"Disa?"Suara lembut bernada keibuan itu berhasil menarik Nadisa dari alam bawah sadarnya. Sukses membuat sang gadis Sanjaya kehilangan senyumnya dan mengerjapkan mata, kaget lantaran mendapati Mama Ayu sudah berada di depannya."Mama? Belum tidur?" tanya Nadisa dengan cepat."Belum, Mama kepikiran kamu yang belum pulang. Jadi tidak tenang untuk tidur duluan." Mama Ayu berkata lemah. Wajah cantiknya terlihat lelah, mungkin efek mengantuk."Seharusnya Mama tidur saja.
Karenia Winata berlari ke arah Jevano. Eksistensinya yang begitu mencolok membuat Haikal membelalakkan mata. Jelas terpesona pada sang gadis Winata.Akan tetapi, perhatian Karenia tetap hanya tertuju pada Jevano seorang. "Minggir, Disa!" ujar Karenia.Bahkan Karenia mendorong bahu Nadisa agar menyingkir dari posisinya. Agar hanya Karenia yang berada di dekat Jevano Putra Hartono.Nadisa mendengus tertahan. Sumpah, Nadisa ingin berteriak di telinga Karenia kalau dirinya bahkan tidak tertarik pada Jevano. Agar setidaknya Karenia tidak perlu melakukan tindakan sia-sia hanya karena merasa tersaingi olehnya."Kak Jevan kenapa? Kok diperban begini? Terus harus dipapah begini jalannya? Kakak sulit berjalan, ya? Kak Jevan habis berkelahi atau bagaimana?" tanya Karenia dengan paniknya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Siap untuk menumpahkan air mata.Jevano mengembuskan napas pelan. "Kecelakaan," jawab Jevano dengan tenang."Kecelakaan?! Astaga, Kak Jevan kenapa tidak izin saja? Berbahaya ka
Mentari sudah mulai meninggi, membuat langit Kota Jakarta terlihat sangatlah cerah hari ini. Kini, sudah terhitung dua jam Nadisa berkutat di hadapan laptopnya. Menganalisis laporan yang baru saja diberikan oleh bagian keuangan kantor Sanjaya.Gadis Sanjaya itu meregangkan tubuhnya, kemudian menyempatkan diri untuk melirik Narendra yang berada di meja seberangnya. Ya, keduanya memang berada di ruangan yang sama. Karena Narendra menjabat sebagai asisten pribadi dari Nadisa.Dan di balik pintu penghubung di sudut ruangan sana, terdapat ruangan Jevano Putra Hartono. Yang menempati posisi Kak Jeffrey Tirta Sanjaya. Tapi kita tidak perlu membahasnya, karena Nadisa jauh lebih tertarik pada Narendra Bagaskara yang jelas-jelas ada di dekatnya.Nadisa tersenyum kecil lantaran mengingat pertemuannya dengan Narendra pagi tadi."Narendra!" Nadisa berujar dengan cukup keras, hingga Narendra menoleh dan sontak wajahnya memerah.Kalau Nadisa boleh tebak, sepertinya Narendra kepikiran dengan kecupan
Nadisa melihat Karenia dengan kernyitan dalam di dahinya. Mau apa perempuan jahat ini padanya? Sampai-sampai dia rela berlari kencang menggunakan sepatu hak, hanya untuk menyambangi Nadisa."Ada apa, Karen?" tanya Nadisa."Bagus, ya. Kamu pasti mau cari muka pada Kak Jevan 'kan, dengan memberinya minuman?" todong Karenia. "Sini, berikan minumannya padaku!"Gadis yang lebih tinggi dari Nadisa itu segera merebut cangkir di tangan Nadisa. Hingga sang gadis Sanjaya melongo melihatnya.Itu minuman untuknya sendiri. Untuk apa juga dia memberikannya untuk Jevano?"Kamu bicara apa sih? Cari muka bagaimana?" Nadisa bertanya dengan kesal."Ck. Kamu kira aku bodoh ya, Disa? Kamu pasti akan kembali mendekati Kak Jevan 'kan? Iya 'kan?! Kamu tuh ya, kalau sudah sama Narendra, harus setia sama dia!" "Tapi ini–" Nadisa berusaha bicara."Nggak ada tapi-tapian. Karena aku sahabatmu yang baik, biar aku saja yang membawakan tehnya untuk Kak Jevan. Biar hubungan kamu dan Narendra tetap terjaga dan tidak