"Kok tiba-tiba diam? Wajahmu itu sudah seperti mau menelan orang, Jevan." Marko berkomentar dengan santai.Jevano menoleh pada Marko."Apa? Jangan menatapku begitu! Kamu benaran mau memakanku atau bagaimana?" tantang Marko. "Kalau mau memakanku dalam konteks yang 'itu', sudah kubilang 'kan kalau aku ini masih lurus? Aku tidak–" BUGH!Celotehan Marko Wijaya terpaksa dihentikan karena wajahnya dihantam dengan bantal. Yang tentu saja pelaku pelemparannya ada Jevano Putra Hartono."Shut up, Marko." Jevano bicara dengan suara beratnya. Baru kemudian ia bertanya. "Laki-laki yang tadi dengan Leon itu, kamu kenal?""Tidak terlalu. Aku cuma tahu kalau dia orang miskin yang dekat dengan mamiku dan disuruh menjadi tutor Leon. Kenapa? Kamu mau beralih dari aku ke dia? Iy–" Bugh! "Astaga, kamu sudah babak belur tapi tenagamu masih kayak raksasa! Sakit tahu, Jevan!"Marko mengeluh kesal karena lagi-lagi wajah tampannya dihantam menggunakan bantal oleh Jevano."Tidak bisakah Leon mengganti tutornya?
Gadis Sanjaya itu tidak dapat menahan lengkungan senyum di bibir tipisnya. Ia bahkan tertawa kecil, tatkala menutup rapat pintu utama kediamannya. Gila. Nadisa pasti sudah gila!Bisa-bisanya Nadisa mencium pipi Narendra!Hal yang tidak pernah Nadisa bayangkan sebelumnya. Habisnya, Nadisa merasa kesal dengan Narendra yang tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Jadilah Nadisa ingin menunjukkan, bahwa dirinya telah lebih dulu jatuh hati pada sang Bagaskara.Siapa tahu, Narendra akan lebih percaya diri ke depannya. Iya 'kan?"Disa?"Suara lembut bernada keibuan itu berhasil menarik Nadisa dari alam bawah sadarnya. Sukses membuat sang gadis Sanjaya kehilangan senyumnya dan mengerjapkan mata, kaget lantaran mendapati Mama Ayu sudah berada di depannya."Mama? Belum tidur?" tanya Nadisa dengan cepat."Belum, Mama kepikiran kamu yang belum pulang. Jadi tidak tenang untuk tidur duluan." Mama Ayu berkata lemah. Wajah cantiknya terlihat lelah, mungkin efek mengantuk."Seharusnya Mama tidur saja.
Karenia Winata berlari ke arah Jevano. Eksistensinya yang begitu mencolok membuat Haikal membelalakkan mata. Jelas terpesona pada sang gadis Winata.Akan tetapi, perhatian Karenia tetap hanya tertuju pada Jevano seorang. "Minggir, Disa!" ujar Karenia.Bahkan Karenia mendorong bahu Nadisa agar menyingkir dari posisinya. Agar hanya Karenia yang berada di dekat Jevano Putra Hartono.Nadisa mendengus tertahan. Sumpah, Nadisa ingin berteriak di telinga Karenia kalau dirinya bahkan tidak tertarik pada Jevano. Agar setidaknya Karenia tidak perlu melakukan tindakan sia-sia hanya karena merasa tersaingi olehnya."Kak Jevan kenapa? Kok diperban begini? Terus harus dipapah begini jalannya? Kakak sulit berjalan, ya? Kak Jevan habis berkelahi atau bagaimana?" tanya Karenia dengan paniknya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Siap untuk menumpahkan air mata.Jevano mengembuskan napas pelan. "Kecelakaan," jawab Jevano dengan tenang."Kecelakaan?! Astaga, Kak Jevan kenapa tidak izin saja? Berbahaya ka
Mentari sudah mulai meninggi, membuat langit Kota Jakarta terlihat sangatlah cerah hari ini. Kini, sudah terhitung dua jam Nadisa berkutat di hadapan laptopnya. Menganalisis laporan yang baru saja diberikan oleh bagian keuangan kantor Sanjaya.Gadis Sanjaya itu meregangkan tubuhnya, kemudian menyempatkan diri untuk melirik Narendra yang berada di meja seberangnya. Ya, keduanya memang berada di ruangan yang sama. Karena Narendra menjabat sebagai asisten pribadi dari Nadisa.Dan di balik pintu penghubung di sudut ruangan sana, terdapat ruangan Jevano Putra Hartono. Yang menempati posisi Kak Jeffrey Tirta Sanjaya. Tapi kita tidak perlu membahasnya, karena Nadisa jauh lebih tertarik pada Narendra Bagaskara yang jelas-jelas ada di dekatnya.Nadisa tersenyum kecil lantaran mengingat pertemuannya dengan Narendra pagi tadi."Narendra!" Nadisa berujar dengan cukup keras, hingga Narendra menoleh dan sontak wajahnya memerah.Kalau Nadisa boleh tebak, sepertinya Narendra kepikiran dengan kecupan
Nadisa melihat Karenia dengan kernyitan dalam di dahinya. Mau apa perempuan jahat ini padanya? Sampai-sampai dia rela berlari kencang menggunakan sepatu hak, hanya untuk menyambangi Nadisa."Ada apa, Karen?" tanya Nadisa."Bagus, ya. Kamu pasti mau cari muka pada Kak Jevan 'kan, dengan memberinya minuman?" todong Karenia. "Sini, berikan minumannya padaku!"Gadis yang lebih tinggi dari Nadisa itu segera merebut cangkir di tangan Nadisa. Hingga sang gadis Sanjaya melongo melihatnya.Itu minuman untuknya sendiri. Untuk apa juga dia memberikannya untuk Jevano?"Kamu bicara apa sih? Cari muka bagaimana?" Nadisa bertanya dengan kesal."Ck. Kamu kira aku bodoh ya, Disa? Kamu pasti akan kembali mendekati Kak Jevan 'kan? Iya 'kan?! Kamu tuh ya, kalau sudah sama Narendra, harus setia sama dia!" "Tapi ini–" Nadisa berusaha bicara."Nggak ada tapi-tapian. Karena aku sahabatmu yang baik, biar aku saja yang membawakan tehnya untuk Kak Jevan. Biar hubungan kamu dan Narendra tetap terjaga dan tidak
Tepat saat Karenia membuka pintu ruangan direktur beserta sekretarisnya yang awalnya ia kunci, Karenia langsung dihadapkan dengan kehadiran Nadisa dan Narendra di hadapannya. Keduanya sepertinya memang sudah menunggu Karenia membuka pintu selama beberapa waktu."Ini, Disa."Karenia menyodorkan kembali cangkir teh Nadisa pada pemiliknya. Sang gadis Sanjaya secara refleks menerimanya. Kemudian Karenia mengambil langkah untuk menjauhi ruangan yang baru saja ia singgahi itu dengan gontai. Seakan kehilangan semangat hidupnya.Sementara itu, Nadisa saling pandang dengan Narendra yang berdiri di sampingnya. Pun keduanya hanya bisa saling mengangkat bahu. Tidak mau ambil pusing perihal Karenia yang mendadak terlihat lesu.Setidaknya, Nadisa bukanlah penyebab dari murungnya Karenia Winata. Jujur saja, Nadisa masih berusaha untuk tetap menjaga jarak dari sang gadis Winata. Berharap dengan meminimalisir kontak di antara keduanya, Nadisa dapat mencegah kemungkinan Karenia yang berniat membunuhnya
Karenia berjalan ke taman yang ada di belakang Kantor Wijaya. Berusaha untuk menenangkan dirinya.Bayang-bayang mengenai betapa marahnya Jevano tadi benar-benar menghantuinya. Suara Jevano yang berat bahkan membuat Karenia gemetar hanya untuk sekadar mengingatnya.Tidak hanya itu. Peristiwa tadi juga mengingatkan Karenia Winata dengan masa lalunya.'Beraninya kamu memakan makanan Ibu?! Ibu sudah tidak punya uang lagi untuk makan, Sialan!''Ampun, Ma. Karen lapar sekali. Karen belum makan dari pagi…''Sudahlah, sekarang kamu keluar! Dasar anak sialan!'Kilasan memori tidak menyenangkan itu membuat Karenia merasakan napasnya sesak. Almarhumah Mama … memang meninggalkan luka yang cukup dalam di benaknya. Hingga Karenia selalu saja diserang rasa panik tatkala ia mengingat Beliau tanpa sengaja."Nona? Nona, kamu baik-baik saja?"Seseorang memegang bahu Karenia dengan hati-hati. Membuat gadis dengan rambut panjang bergelombang itu mengangkat paras cantiknya. Manik mata kelamnya bertatapan d
Kantor Sanjaya masih cukup ramai dengan para karyawannya, meski jam pulang kantor sudah tiba sejak beberapa menit sebelumnya. Nadisa berjalan di samping Narendra Bagaskara, mulai meninggalkan kantor mereka. Kali ini, Nadisa telah mengabari supirnya, Pak Asep, bahwa ia akan pulang seorang diri, tanpa jemputannya.Ah, bukan sendiri sih sebenarnya. Melainkan bersama dengan Narendra. Lelaki manis itu tadi sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Nadisa pulang ke kediaman Sanjaya.Kedua manusia itu mulai berjalan menyusuri trotoar di tepi jalan raya. Narendra memposisikan dirinya di bagian yang dekat jalan, tidak mau ambil risiko jika Nadisa terluka karena kendaraan yang melintasi di sisi mereka berdua.Tin! Tin!Mobil yang melintas di sisi Narendra membunyikan klaksonnya. Hingga Nadisa terlonjak kaget karena mendengarnya."Eh, kamu nggak apa-apa, Naren?" tanya Nadisa dengan panik. Takut jika mobil tadi menyerempet sang Adam di sampingnya."Iya, tidak apa-apa. Memang beginilah jalan raya.
Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap
Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang
Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin
Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu
"Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega
Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na
Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m
Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid