Mentari sudah mulai meninggi, membuat langit Kota Jakarta terlihat sangatlah cerah hari ini. Kini, sudah terhitung dua jam Nadisa berkutat di hadapan laptopnya. Menganalisis laporan yang baru saja diberikan oleh bagian keuangan kantor Sanjaya.Gadis Sanjaya itu meregangkan tubuhnya, kemudian menyempatkan diri untuk melirik Narendra yang berada di meja seberangnya. Ya, keduanya memang berada di ruangan yang sama. Karena Narendra menjabat sebagai asisten pribadi dari Nadisa.Dan di balik pintu penghubung di sudut ruangan sana, terdapat ruangan Jevano Putra Hartono. Yang menempati posisi Kak Jeffrey Tirta Sanjaya. Tapi kita tidak perlu membahasnya, karena Nadisa jauh lebih tertarik pada Narendra Bagaskara yang jelas-jelas ada di dekatnya.Nadisa tersenyum kecil lantaran mengingat pertemuannya dengan Narendra pagi tadi."Narendra!" Nadisa berujar dengan cukup keras, hingga Narendra menoleh dan sontak wajahnya memerah.Kalau Nadisa boleh tebak, sepertinya Narendra kepikiran dengan kecupan
Nadisa melihat Karenia dengan kernyitan dalam di dahinya. Mau apa perempuan jahat ini padanya? Sampai-sampai dia rela berlari kencang menggunakan sepatu hak, hanya untuk menyambangi Nadisa."Ada apa, Karen?" tanya Nadisa."Bagus, ya. Kamu pasti mau cari muka pada Kak Jevan 'kan, dengan memberinya minuman?" todong Karenia. "Sini, berikan minumannya padaku!"Gadis yang lebih tinggi dari Nadisa itu segera merebut cangkir di tangan Nadisa. Hingga sang gadis Sanjaya melongo melihatnya.Itu minuman untuknya sendiri. Untuk apa juga dia memberikannya untuk Jevano?"Kamu bicara apa sih? Cari muka bagaimana?" Nadisa bertanya dengan kesal."Ck. Kamu kira aku bodoh ya, Disa? Kamu pasti akan kembali mendekati Kak Jevan 'kan? Iya 'kan?! Kamu tuh ya, kalau sudah sama Narendra, harus setia sama dia!" "Tapi ini–" Nadisa berusaha bicara."Nggak ada tapi-tapian. Karena aku sahabatmu yang baik, biar aku saja yang membawakan tehnya untuk Kak Jevan. Biar hubungan kamu dan Narendra tetap terjaga dan tidak
Tepat saat Karenia membuka pintu ruangan direktur beserta sekretarisnya yang awalnya ia kunci, Karenia langsung dihadapkan dengan kehadiran Nadisa dan Narendra di hadapannya. Keduanya sepertinya memang sudah menunggu Karenia membuka pintu selama beberapa waktu."Ini, Disa."Karenia menyodorkan kembali cangkir teh Nadisa pada pemiliknya. Sang gadis Sanjaya secara refleks menerimanya. Kemudian Karenia mengambil langkah untuk menjauhi ruangan yang baru saja ia singgahi itu dengan gontai. Seakan kehilangan semangat hidupnya.Sementara itu, Nadisa saling pandang dengan Narendra yang berdiri di sampingnya. Pun keduanya hanya bisa saling mengangkat bahu. Tidak mau ambil pusing perihal Karenia yang mendadak terlihat lesu.Setidaknya, Nadisa bukanlah penyebab dari murungnya Karenia Winata. Jujur saja, Nadisa masih berusaha untuk tetap menjaga jarak dari sang gadis Winata. Berharap dengan meminimalisir kontak di antara keduanya, Nadisa dapat mencegah kemungkinan Karenia yang berniat membunuhnya
Karenia berjalan ke taman yang ada di belakang Kantor Wijaya. Berusaha untuk menenangkan dirinya.Bayang-bayang mengenai betapa marahnya Jevano tadi benar-benar menghantuinya. Suara Jevano yang berat bahkan membuat Karenia gemetar hanya untuk sekadar mengingatnya.Tidak hanya itu. Peristiwa tadi juga mengingatkan Karenia Winata dengan masa lalunya.'Beraninya kamu memakan makanan Ibu?! Ibu sudah tidak punya uang lagi untuk makan, Sialan!''Ampun, Ma. Karen lapar sekali. Karen belum makan dari pagi…''Sudahlah, sekarang kamu keluar! Dasar anak sialan!'Kilasan memori tidak menyenangkan itu membuat Karenia merasakan napasnya sesak. Almarhumah Mama … memang meninggalkan luka yang cukup dalam di benaknya. Hingga Karenia selalu saja diserang rasa panik tatkala ia mengingat Beliau tanpa sengaja."Nona? Nona, kamu baik-baik saja?"Seseorang memegang bahu Karenia dengan hati-hati. Membuat gadis dengan rambut panjang bergelombang itu mengangkat paras cantiknya. Manik mata kelamnya bertatapan d
Kantor Sanjaya masih cukup ramai dengan para karyawannya, meski jam pulang kantor sudah tiba sejak beberapa menit sebelumnya. Nadisa berjalan di samping Narendra Bagaskara, mulai meninggalkan kantor mereka. Kali ini, Nadisa telah mengabari supirnya, Pak Asep, bahwa ia akan pulang seorang diri, tanpa jemputannya.Ah, bukan sendiri sih sebenarnya. Melainkan bersama dengan Narendra. Lelaki manis itu tadi sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Nadisa pulang ke kediaman Sanjaya.Kedua manusia itu mulai berjalan menyusuri trotoar di tepi jalan raya. Narendra memposisikan dirinya di bagian yang dekat jalan, tidak mau ambil risiko jika Nadisa terluka karena kendaraan yang melintasi di sisi mereka berdua.Tin! Tin!Mobil yang melintas di sisi Narendra membunyikan klaksonnya. Hingga Nadisa terlonjak kaget karena mendengarnya."Eh, kamu nggak apa-apa, Naren?" tanya Nadisa dengan panik. Takut jika mobil tadi menyerempet sang Adam di sampingnya."Iya, tidak apa-apa. Memang beginilah jalan raya.
Nadisa kini sudah duduk di kursi yang memang disediakan oleh Babeh. Pun Nadisa ditemani Narendra yang duduk di hadapannya. Sang gadis Sanjaya menyuap siomay terakhir yang tersisa di piring putihnya. Kemudian mengunyahnya seraya menggoyangkan kepala ke kiri dan kanan. Terlihat sangat senang."Enak, Nadisa?" tanya Narendra seraya menahan senyumnya.Nadisa mengangguk dengan antusias. "Uhm! Enak sekali! Siomay ini bahkan lebih enak dibandingkan siomay yang ada di restoran!"Babeh yang tidak sengaja mendengarnya pun tersenyum lebar. "Weits, siomay Babeh gitu loh! Emang kagak ada yang bisa ngalahin!"Nadisa dan Narendra tertawa. Babeh memang orang yang percaya diri dan suka bercanda. Pembawaan Beliau yang ramah juga lama kelamaan membuat Nadisa nyaman, meski awalnya kaget karena Babeh terlihat terlalu agresif saat bicara.Narendra bangkit dari kursinya. Kemudian mengeluarkan dompetnya dari kantung celana. Berniat membayar makanan mereka."Naren, biar aku bayar–""Aku saja, Nadisa."Babeh t
Sempat mematung karena perintah sang Tuan Muda yang kelewat gila itu, Haikal akhirnya tersentak ketika Jevano berkata dengan nada kesalnya. Cenderung memaksa Haikal untuk mematuhi perintahnya."Cepat, Haikal!"Maka lelaki berkulit sawo matang itu segera menarik Narendra Bagaskara bersamanya. Setengah menyeret, agar sang Bagaskara dapat dengan cepat ia bawa. Lalu bersembunyi di dalam gang yang berada dekat dengan minimarket itu.Haikal membekap mulut Narendra."Tolong diam ya. Tuan saya bisa lebih marah lagi jika kamu mengacaukan urusannya." Haikal bergumam pelan.Sang lelaki Bagaskara yang sudah babak belur hanya bisa terdiam. Untuk melepaskan bekapan tangan Haikal dari mulutnya saja ia tidak mampu. Apalagi untuk membalas Haikal dan Jevano.Kedua manik mata sayu milik Narendra memandangi jalanan di luar gang sana. Dalam hati, ia mengkhawatirkan Nadisa. Apakah gadis itu akan baik-baik saja?Di sisi lain, Jevano Putra Hartono menyugar rambutnya ke belakang. Berusaha memperoleh ketenanga
Jevano melangkah keluar dari mobilnya, tepat saat Haikal juga tiba di kediaman Hartono. Jevano tidak mengindahkannya. Dengan senyuman di bibirnya, Jevano hendak memasuki kediamannya untuk segera beristirahat. Mengingat kini waktu telah menunjukkan pukul tengah malam."Tuan Muda," panggil Haikal. Jevano menghentikan langkah. Lalu menoleh dengan alis kanan yang sedikit terangkat. "Hm?""Saya sudah mengantarkan lelaki yang Tuan pukuli tadi ke rumah sakit dan membayar pengobatannya. Tapi saya khawatir, Tuan. Bukankah Tuan sudah keterlaluan?" tanya Haikal.Jevano mengernyitkan dahi."Kamu mau melawanku?" tanya Jevano singkat.Haikal menggoyangkan tangannya dengan panik. "Bukan begitu, Tuan. Saya hanya takut, jika lelaki tadi akan menimbulkan masalah untuk Tuan. Apalagi jika dia buka suara ke media."Jevano mengembuskan napas panjang. Ia mengambil langkah mendekatk Haikal, kemudian menepuk bahu ajudannya itu. Kedua mata gelap milik Jevano menatap tajam pada Haikal."Maka tugasmu untuk memb