Jevano melangkah keluar dari mobilnya, tepat saat Haikal juga tiba di kediaman Hartono. Jevano tidak mengindahkannya. Dengan senyuman di bibirnya, Jevano hendak memasuki kediamannya untuk segera beristirahat. Mengingat kini waktu telah menunjukkan pukul tengah malam."Tuan Muda," panggil Haikal. Jevano menghentikan langkah. Lalu menoleh dengan alis kanan yang sedikit terangkat. "Hm?""Saya sudah mengantarkan lelaki yang Tuan pukuli tadi ke rumah sakit dan membayar pengobatannya. Tapi saya khawatir, Tuan. Bukankah Tuan sudah keterlaluan?" tanya Haikal.Jevano mengernyitkan dahi."Kamu mau melawanku?" tanya Jevano singkat.Haikal menggoyangkan tangannya dengan panik. "Bukan begitu, Tuan. Saya hanya takut, jika lelaki tadi akan menimbulkan masalah untuk Tuan. Apalagi jika dia buka suara ke media."Jevano mengembuskan napas panjang. Ia mengambil langkah mendekatk Haikal, kemudian menepuk bahu ajudannya itu. Kedua mata gelap milik Jevano menatap tajam pada Haikal."Maka tugasmu untuk memb
Bukannya menjawab pertanyaan Nadisa dengan segera, Narendra Bagaskara justru kembali mengangkat kertas karton yang ia bawa. Kertas bertuliskan, "Bisa kita bicara?" dengan tulisan kapital semua.Nadisa menghela napas singkat. Gadis cantik dengan piyama lengan pendek dan celana panjang hitam itu menutup gordennya. Membuat Narendra terdiam di tempatnya.Kedua tangan yang awalnya mengangkat kertas karton tinggi-tinggi kini seakan kehilangan tenaga. Narendra menundukkan pandangannya.Sepertinya, Nadisa tidak mau bicara padanya.Padahal, Narendra sudah jauh-jauh datang ke rumah sang dara dengan tumbuh yang masih dipenuhi banyak luka. Hadiah dari Jevano Putra Hartono beberapa waktu lalu.Narendra meremas kertas karton di tangannya. Menyalurkan rasa kecewa. Ia pun memutar tubuhnya. Hendak pergi meninggalkan kediaman Sanjaya.Tapi tiba-tiba saja, pintu depan kediaman Sanjaya terbuka. Krieeet! Menampilkan sosok gadis yang Narendra tunggu kehadirannya. Hingga Narendra langsung mengembangkan seny
Nadisa Tirta Sanjaya memegang dua pakaian di tangannya. Satu adalah sebuah tanktop berwarna merah muda dan satu lagi adalah pakaian sabrina off shoulder berwarna lilac. Nadisa memperhatikan pantulan dirinya di hadapan cermin. Menimbang-nimbang harus memilih yang mana.Di saat yang sama, telepon genggam Nadisa yang tergeletak di nakas bergetar. Drrr! Drrr! Menandakan ada sebuah pesan yang masuk di sana.Nadisa kemudian melemparkan tanktop miliknya ke atas ranjang. Hanya menyisakan pakaian sabrina di tangannya. Baru kemudian Nadisa mengambil telepon genggamnya.'Nadisa, ini aku Narendra Bagaskara. Aku akan menunggu di halte dekat rumahmu. Sampai jumpa nanti, Nadisa.'Ah, pesan dari Narendra rupanya. Setelah kejadian kemarin, mereka berdua memang memutuskan untuk saling bertukar kontak. Untuk memudahkan komunikasi di antara keduanya. Senyum Nadisa tidak bisa luntur dari bibirnya, tatkala membaca rentetan kata yang dikirimkan oleh sang Bagaskara. Narendra memang sangatlah sopan, bahkan tu
Nadisa Tirta Sanjaya menuruni tangga rumahnya dengan sangat riang gembira. Ia bahkan bersenandung kecil, menyanyikan lagi kesukaannya tentang cinta. Hingga Nadisa akhirnya sampai di lantai satu kediamannya."Disa Sayang? Mau ke mana kamu? Kok sudah cantik sekali?"Pertanyaan itu terlontar dari Mama Ayu yang sedang meletakkan beberapa piring di atas meja makan. Beliau tampak tersenyum senang menyambut putrinya yang cantik jelita. Mama Ayu bahkan tidak sadar, kalau pertanyaannya telah membuat Nadisa menahan napas karena rasa kagetnya.Gadis itu menghindari tatapan mata sang Mama. Ia melihat ke objek lainnya saja. Mulai dari meja makan, lantai, hingga arah ruang tamunya. Apa saja, asalkan Nadisa dapat lolos dari tatapan mata Mama Ayu."I-itu…" Nadisa menjawab dengan terbata. Tapi belum sempat sang dara merampungkan jawabannya, Mama Ayu sudah kembali buka suara."Apa kamu akan jalan-jalan dengan Jevan, Disa?" tanya Mama Ayu dengan wajah yang tersenyum sumringah. Jelas Beliau berpikir sepe
Mama Ayu kontan merasa bingung. Wanita cantik itu bahkan sampai menatap Jevano dengan dahi yang berkerut dalam."Lho? Bukannya Nak Jevan seharusnya bertemu dengan Disa di halte?" tanya Mama Ayu.Mendapat pertanyaan seperti itu, Jevano pun ikut dibuat bingung. Lelaki tampan itu bahkan sampai terdiam beberapa saat karena tidak memahami kondisi yang sedang terjadi."Maksud Tante?" tanya Jevano."Iya, tadi Disa bahkan terlihat terburu-buru, katanya takut membuat kamu menunggu." Mama Ayu menjelaskan."Ah, begitukah?" tanya Jevano pelan.Sedikit banyak, Jevano menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Mungkin Nadisa menyembunyikan sesuatu? Hingga Nadisa harus berbohong pada mamanya sendiri?"Benar. Mungkin Nak Jevan lupa, ya, kalau membuat janji dengan Disa untuk bertemu di halte, bukan di rumah ini?" tebak Mama Ayu dengan senyuman teduhnya.Jevano terkekeh pelan, lebih terkesan seperti tawa yang hambar. Ia arahkan tangan kanannya untuk menggaruh belakang kepalanya, meski sama sekali tidak gat
Langit Kota Jakarta terlihat cerah hari ini. Mentari bersinar cukup terik, tetapi udara di sekitar masih cukup nyaman untuk sekadar berjalan-jalan di area dekat pantai. Ah, mungkin saja Tuhan memang mendukung agenda jalan-jalan yang Nadisa dan Narendra lakukan.Ya, keduanya sedang mengunjungi pantai di utara Kota Jakarta. Sesuai dengan permintaan yang dimiliki oleh sang gdis Sanjaya."Kita mau ngapain sekarang, Nadisa?" tanya Narendra.Nadisa sedikit terbelalak. "K-kita?"Narendra mengangguk. "Iya, kita. Aku dan kamu. Kita, 'kan?" tanya Narendra dengan bingung.Sebuah kembang api terasa meledak di dalam kepala Nadisa. Kita. Narendra baru saja menyebut dirinya dan Nadisa sebagai kita. Hanya hal kecil, tapi kenapa terasa begitu menyenangkan?"Nadisa?" panggil Narendra karena Nadisa tak kunjung buka suara."Es krim! Es krim! Bagaimana kalau kita makan es krim? Waktu itu 'kan kita mau makan es krim, tapi belum sempat karena kamu yang terlanjur pergi ke tempat Lele." Nadisa menjelaskan den
Kedua manik mata indah milik Nadisa terfokus pada lelaki manis di hadapannya. Melihat bagaimana lelaki itu menyuap sedikit es krim cokelat yang baru saja mereka berdua beli. Ah, ralat, bukan mereka. Tetapi menggunakan uang sang lelaki."Enak?" tanya Nadisa dengan senyuman manis.Narendra tidak bisa mencegah tawa kecilnya. "Enak, Nadisa. Kamu makanlah lebih banyak. Ini 'kan kamu yang minta."Nadisa tertawa pelan sebagai responsnya. "Ah, aku hampir lupa. Aku membawa bekal roti pagi tadi. Mamaku sih yang buat. Tapi seharusnya jadi lebih enak daripada kalau aku yang buat."Gadis itu mengeluarkan kotak makan yang ia bawa, kemudian membuka tutup wadah tersebut dengan jemari lentiknya. "Ayo dimakan, Naren. Biar nanti kita bisa jalan-jalan yang lama di pantai."Lelaki itu menuruti ucapan Nadisa. Mengambil satu potong roti isi dari kotak yang dibawa sang gadis Sanjaya. Kemudian memakannya dengan riang gembira."Bagaimana? Lebih enak buatan mamaku atau aku yang waktu itu?" tanya Nadisa dengan i
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid