Tepat saat Karenia membuka pintu ruangan direktur beserta sekretarisnya yang awalnya ia kunci, Karenia langsung dihadapkan dengan kehadiran Nadisa dan Narendra di hadapannya. Keduanya sepertinya memang sudah menunggu Karenia membuka pintu selama beberapa waktu."Ini, Disa."Karenia menyodorkan kembali cangkir teh Nadisa pada pemiliknya. Sang gadis Sanjaya secara refleks menerimanya. Kemudian Karenia mengambil langkah untuk menjauhi ruangan yang baru saja ia singgahi itu dengan gontai. Seakan kehilangan semangat hidupnya.Sementara itu, Nadisa saling pandang dengan Narendra yang berdiri di sampingnya. Pun keduanya hanya bisa saling mengangkat bahu. Tidak mau ambil pusing perihal Karenia yang mendadak terlihat lesu.Setidaknya, Nadisa bukanlah penyebab dari murungnya Karenia Winata. Jujur saja, Nadisa masih berusaha untuk tetap menjaga jarak dari sang gadis Winata. Berharap dengan meminimalisir kontak di antara keduanya, Nadisa dapat mencegah kemungkinan Karenia yang berniat membunuhnya
Karenia berjalan ke taman yang ada di belakang Kantor Wijaya. Berusaha untuk menenangkan dirinya.Bayang-bayang mengenai betapa marahnya Jevano tadi benar-benar menghantuinya. Suara Jevano yang berat bahkan membuat Karenia gemetar hanya untuk sekadar mengingatnya.Tidak hanya itu. Peristiwa tadi juga mengingatkan Karenia Winata dengan masa lalunya.'Beraninya kamu memakan makanan Ibu?! Ibu sudah tidak punya uang lagi untuk makan, Sialan!''Ampun, Ma. Karen lapar sekali. Karen belum makan dari pagi…''Sudahlah, sekarang kamu keluar! Dasar anak sialan!'Kilasan memori tidak menyenangkan itu membuat Karenia merasakan napasnya sesak. Almarhumah Mama … memang meninggalkan luka yang cukup dalam di benaknya. Hingga Karenia selalu saja diserang rasa panik tatkala ia mengingat Beliau tanpa sengaja."Nona? Nona, kamu baik-baik saja?"Seseorang memegang bahu Karenia dengan hati-hati. Membuat gadis dengan rambut panjang bergelombang itu mengangkat paras cantiknya. Manik mata kelamnya bertatapan d
Kantor Sanjaya masih cukup ramai dengan para karyawannya, meski jam pulang kantor sudah tiba sejak beberapa menit sebelumnya. Nadisa berjalan di samping Narendra Bagaskara, mulai meninggalkan kantor mereka. Kali ini, Nadisa telah mengabari supirnya, Pak Asep, bahwa ia akan pulang seorang diri, tanpa jemputannya.Ah, bukan sendiri sih sebenarnya. Melainkan bersama dengan Narendra. Lelaki manis itu tadi sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Nadisa pulang ke kediaman Sanjaya.Kedua manusia itu mulai berjalan menyusuri trotoar di tepi jalan raya. Narendra memposisikan dirinya di bagian yang dekat jalan, tidak mau ambil risiko jika Nadisa terluka karena kendaraan yang melintasi di sisi mereka berdua.Tin! Tin!Mobil yang melintas di sisi Narendra membunyikan klaksonnya. Hingga Nadisa terlonjak kaget karena mendengarnya."Eh, kamu nggak apa-apa, Naren?" tanya Nadisa dengan panik. Takut jika mobil tadi menyerempet sang Adam di sampingnya."Iya, tidak apa-apa. Memang beginilah jalan raya.
Nadisa kini sudah duduk di kursi yang memang disediakan oleh Babeh. Pun Nadisa ditemani Narendra yang duduk di hadapannya. Sang gadis Sanjaya menyuap siomay terakhir yang tersisa di piring putihnya. Kemudian mengunyahnya seraya menggoyangkan kepala ke kiri dan kanan. Terlihat sangat senang."Enak, Nadisa?" tanya Narendra seraya menahan senyumnya.Nadisa mengangguk dengan antusias. "Uhm! Enak sekali! Siomay ini bahkan lebih enak dibandingkan siomay yang ada di restoran!"Babeh yang tidak sengaja mendengarnya pun tersenyum lebar. "Weits, siomay Babeh gitu loh! Emang kagak ada yang bisa ngalahin!"Nadisa dan Narendra tertawa. Babeh memang orang yang percaya diri dan suka bercanda. Pembawaan Beliau yang ramah juga lama kelamaan membuat Nadisa nyaman, meski awalnya kaget karena Babeh terlihat terlalu agresif saat bicara.Narendra bangkit dari kursinya. Kemudian mengeluarkan dompetnya dari kantung celana. Berniat membayar makanan mereka."Naren, biar aku bayar–""Aku saja, Nadisa."Babeh t
Sempat mematung karena perintah sang Tuan Muda yang kelewat gila itu, Haikal akhirnya tersentak ketika Jevano berkata dengan nada kesalnya. Cenderung memaksa Haikal untuk mematuhi perintahnya."Cepat, Haikal!"Maka lelaki berkulit sawo matang itu segera menarik Narendra Bagaskara bersamanya. Setengah menyeret, agar sang Bagaskara dapat dengan cepat ia bawa. Lalu bersembunyi di dalam gang yang berada dekat dengan minimarket itu.Haikal membekap mulut Narendra."Tolong diam ya. Tuan saya bisa lebih marah lagi jika kamu mengacaukan urusannya." Haikal bergumam pelan.Sang lelaki Bagaskara yang sudah babak belur hanya bisa terdiam. Untuk melepaskan bekapan tangan Haikal dari mulutnya saja ia tidak mampu. Apalagi untuk membalas Haikal dan Jevano.Kedua manik mata sayu milik Narendra memandangi jalanan di luar gang sana. Dalam hati, ia mengkhawatirkan Nadisa. Apakah gadis itu akan baik-baik saja?Di sisi lain, Jevano Putra Hartono menyugar rambutnya ke belakang. Berusaha memperoleh ketenanga
Jevano melangkah keluar dari mobilnya, tepat saat Haikal juga tiba di kediaman Hartono. Jevano tidak mengindahkannya. Dengan senyuman di bibirnya, Jevano hendak memasuki kediamannya untuk segera beristirahat. Mengingat kini waktu telah menunjukkan pukul tengah malam."Tuan Muda," panggil Haikal. Jevano menghentikan langkah. Lalu menoleh dengan alis kanan yang sedikit terangkat. "Hm?""Saya sudah mengantarkan lelaki yang Tuan pukuli tadi ke rumah sakit dan membayar pengobatannya. Tapi saya khawatir, Tuan. Bukankah Tuan sudah keterlaluan?" tanya Haikal.Jevano mengernyitkan dahi."Kamu mau melawanku?" tanya Jevano singkat.Haikal menggoyangkan tangannya dengan panik. "Bukan begitu, Tuan. Saya hanya takut, jika lelaki tadi akan menimbulkan masalah untuk Tuan. Apalagi jika dia buka suara ke media."Jevano mengembuskan napas panjang. Ia mengambil langkah mendekatk Haikal, kemudian menepuk bahu ajudannya itu. Kedua mata gelap milik Jevano menatap tajam pada Haikal."Maka tugasmu untuk memb
Bukannya menjawab pertanyaan Nadisa dengan segera, Narendra Bagaskara justru kembali mengangkat kertas karton yang ia bawa. Kertas bertuliskan, "Bisa kita bicara?" dengan tulisan kapital semua.Nadisa menghela napas singkat. Gadis cantik dengan piyama lengan pendek dan celana panjang hitam itu menutup gordennya. Membuat Narendra terdiam di tempatnya.Kedua tangan yang awalnya mengangkat kertas karton tinggi-tinggi kini seakan kehilangan tenaga. Narendra menundukkan pandangannya.Sepertinya, Nadisa tidak mau bicara padanya.Padahal, Narendra sudah jauh-jauh datang ke rumah sang dara dengan tumbuh yang masih dipenuhi banyak luka. Hadiah dari Jevano Putra Hartono beberapa waktu lalu.Narendra meremas kertas karton di tangannya. Menyalurkan rasa kecewa. Ia pun memutar tubuhnya. Hendak pergi meninggalkan kediaman Sanjaya.Tapi tiba-tiba saja, pintu depan kediaman Sanjaya terbuka. Krieeet! Menampilkan sosok gadis yang Narendra tunggu kehadirannya. Hingga Narendra langsung mengembangkan seny
Nadisa Tirta Sanjaya memegang dua pakaian di tangannya. Satu adalah sebuah tanktop berwarna merah muda dan satu lagi adalah pakaian sabrina off shoulder berwarna lilac. Nadisa memperhatikan pantulan dirinya di hadapan cermin. Menimbang-nimbang harus memilih yang mana.Di saat yang sama, telepon genggam Nadisa yang tergeletak di nakas bergetar. Drrr! Drrr! Menandakan ada sebuah pesan yang masuk di sana.Nadisa kemudian melemparkan tanktop miliknya ke atas ranjang. Hanya menyisakan pakaian sabrina di tangannya. Baru kemudian Nadisa mengambil telepon genggamnya.'Nadisa, ini aku Narendra Bagaskara. Aku akan menunggu di halte dekat rumahmu. Sampai jumpa nanti, Nadisa.'Ah, pesan dari Narendra rupanya. Setelah kejadian kemarin, mereka berdua memang memutuskan untuk saling bertukar kontak. Untuk memudahkan komunikasi di antara keduanya. Senyum Nadisa tidak bisa luntur dari bibirnya, tatkala membaca rentetan kata yang dikirimkan oleh sang Bagaskara. Narendra memang sangatlah sopan, bahkan tu
Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap
Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang
Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin
Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu
"Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega
Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na
Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m
Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid