Waktu sudah malam, di kamar rawat itu hanya ada cahaya lampu yang remang. Cahayanya lembut dan tidak menyilaukan, sehingga Alya sama sekali tidak merasakan ketidaknyamanan ketika membuka mata.Saat melihat ke sekelilingnya, Alya segera melihat seorang tamu tak diundang di samping ranjangnya.Rizki ....Pikiran Alya yang tadinya kosong segera mengingat kejadian hari ini begitu melihat Rizki.Kesadarannya menghilang setelah keningnya terhantam, dia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.Sekarang, sepertinya dia terluka, lalu Rizki membawanya ke rumah sakit?Rumah sakit ....Di mana Maya dan Satya?Begitu memikirkan anak-anaknya, Alya yang tadinya masih terbaring dengan tenang seketika menjadi gelisah dan ingin duduk.Rizki yang tertidur di tepi tempat tidurnya pun terbangun oleh suara yang dibuatnya.Rizki membuka matanya dan Alya tiba-tiba bertemu dengan tatapannya.Sesaat kemudian, Rizki pun bangkit dan membantunya."Kamu sudah bangun, apa ada yang sakit?"Suaranya terden
Ekspresi Rizki menegang, otot di pelipisnya berkedut karena perkataannya.Namun, setelah beberapa saat, dia kembali normal. Seakan-akan dia sudah membereskan semua perasaan negatifnya tadi."Apa kamu haus? Mau aku tuangkan minum?"Alya menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Setelah bertatapan selama beberapa detik, Rizki akhirnya berdiri dan menuangkannya segelas air hangat."Suhunya pas, sudah aku cek."Alya melirik segelas air di depannya itu dan menolak, "Aku nggak mau.""Sepanjang malam kamu belum makan apa pun dan terbaring begitu lama, minumlah dulu untuk membasahi tenggorokanmu."Sambil berbicara, Rizki bahkan mendekatkan gelas itu ke bibir Alya.Alya mengerutkan kening dan memalingkan wajahnya. "Aku bilang nggak mau."Rizki mempertahankan posisinya untuk sejenak sebelum akhirnya menarik kembali gelas tersebut. "Kalau begitu, bagaimana kalau kamu makan sedikit? Kamu mau makan apa?"Saat ini, Alya pun tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dia mendengus dan berkata, "Aku nggak mau mi
"Aku nggak membutuhkan perlindunganmu."Rizki merapatkan bibirnya dan menatap Alya sejenak, akhirnya dia berdiri dan pergi.Alya tak bisa berkata-kata.Entah ini hanya perasaannya saja atau tidak, tetapi barusan Rizki menatapnya seolah-olah dia telah diperlakukan tidak adil.Setelah menyadarinya, Alya seketika menjadi agak marah lagi.Apanya yang tidak adil untuk Rizki?Yang terluka adalah dia, hak apa yang pria itu miliki untuk merasa tidak adil?Brak!Pintu kamar pun ditutup begitu Rizki keluar.Alya perlahan berbalik, lukanya masih agak sakit, tetapi dia berhasil berbalik ke samping untuk melihat anak-anaknya. Dia pun berbaring seperti itu dan memandang mereka.Kedua anak itu tidur dengan begitu nyenyak tanpa adanya rasa waspada, apakah itu karena mereka tahu dia ada di sini? Atau karena mereka tahu bahwa orang yang ada di dalam kamar bersama mereka adalah Rizki?Alya merasa tidak nyaman karena luka di keningnya, jadi dia pun tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Tak lama kemudian,
Alya tidak menyetujuinya, tetapi juga tidak menolaknya.Hati Rizki yang tadinya tegang akhirnya menjadi tenang, dia memandang profil Alya dan tersenyum dengan lembut.Dia bukannya pura-pura menyedihkan ....Hanya saja, suhu di luar benar-benar dingin dan dia hanya mengenakan sebuah kaus. Dia mungkin belum sepenuhnya pulih dari pendarahan lambung yang dibuatnya dirawat waktu itu.Jadi, tubuhnya pun agak lemah.Tentu saja, dia bisa menyuruh Cahya untuk mengambilkannya jaket lagi, tetapi itu akan memakan waktu.Cahya juga memang telah menyarankan hal itu.Namun, pada saat itu, Rizki masih ingin kembali masuk dan menemui Alya, lebih bagus lagi kalau dia bisa tinggal di dalam kamar.Dia pun berhasil.Meskipun di dalam kamar masih dingin, melihat Alya dan anak-anaknya yang dengan damai berbaring di tempat tidur membuat hati Rizki terasa hangat.Setelah duduk untuk beberapa waktu, Rizki berdiri dan menuangkan segelas air hangat untuk dirinya. Suaranya yang meneguk air terdengar agak keras di
Setelah mengatakan itu, Alya menghabiskan sisa airnya lalu mengembalikan gelas itu pada Rizki.Rizki tersenyum dan mengambil kelas tersebut.Kemudian, dia tiba-tiba bertanya, "Apa kamu mau ke toilet?"Alya tak bisa berkata-kata.Kenapa lagi-lagi pertanyaan ini?Dia sangat ingin menolaknya, tetapi sial, sepertinya dia memang butuh ke toilet ....Jadi, wajah Alya pun tampak masam.Namun, yang paling penting, Rizki ternyata masih dapat memahaminya. "Aku akan menggendongmu ke sana."Kemudian, dia sekali lagi menggendong Alya dan membawanya ke depan toilet.Untungnya, infus Alya sudah habis dan tangannya sekarang sudah bebas. Selain itu, lukanya berada di kening sehingga dia tidak kesulitan untuk ke toilet.Begitu memasuki toilet, Rizki membukakan tutup toiletnya dan menyiapkan tisu. Setelah semuanya selesai, dia berkata pada Alya, "Aku akan menunggumu di luar, kalau sudah selesai panggil saja aku."Setelah itu dia pergi dan sekalian menutup pintu untuknya.Alya berdiri diam di tempat, lalu
Pernyataan bahwa dirinya tidak menginginkan anak membuat Rizki mengerutkan keningnya dan refleks membantah, "Kapan aku bilang aku nggak menginginkan anak?"Reaksinya hanya membuat Alya makin merasa lucu."Berhenti berpura-pura. Hanya karena kamu nggak mengatakannya secara langsung, bukan artinya kamu nggak melakukannya."Kata-kata ini membuat Rizki makin mengerutkan keningnya. Karena ini terlalu absurd, dia pun hanya bisa membela diri."Kalau aku nggak mengatakannya secara langsung, maka kenapa aku bisa melakukannya?"Ketika mendengar kalimat ini, Alya tampak tak bisa memercayainya. "Rizki, kamu bahkan nggak punya keberanian untuk mengakuinya?"Rizki agak frustrasi."Karena aku nggak mengatakannya, kenapa aku harus mengakuinya?"Alya mencibir, "Aku nggak menyangka sekarang kamu sepengecut ini. Kamu bahkan nggak berani mengakuinya dan malah bermain kata denganku.""Kapan aku bermain kata denganmu?""Kalau nggak bermain kata, kenapa kamu nggak mengakuinya?" tanya Alya."Bagaimana aku bis
"Aku benar-benar nggak melihat pesanmu. Kalau nggak, apa kamu pikir aku akan mengabaikan hal sepenting itu? Kita tumbuh bersama sejak kecil, apa kamu pikir aku orang semacam itu?""Ya, kita memang tumbuh bersama. Aku kira aku mengenalmu, tapi siapa tahu kalau kamu mungkin sudah berubah? Lagi pula, Hana adalah penyelamatmu. Nggak mustahil kalau kamu akan berubah untuknya.""Kamu pikir aku akan melukaimu hanya demi dia?"Pertanyaan ini ....Alya menatapnya dengan mencemooh. "Bukankah kamu sudah melukaiku deminya?""Kapan?" tanya Rizki.Kapan? Dia masih berani-beraninya bertanya kapan?Melihat Alya tidak menjawab, Rizki pun berkata, "Kalau maksudmu adalah perceraian kita, aku bisa menjelaskannya."Alya masih tidak menjawab."Ketika kita menikah, bukankah sebelumnya kita sudah membicarakan untuk melakukan pernikahan palsu?"Mendengar ini, Alya meliriknya tetapi masih tidak berbicara.Rizki melanjutkan, "Waktu itu, apa yang kamu katakan padaku? Kamu bilang setelah Nenek dioperasi, kita akan
"Waktu itu Keluarga Kartika sedang kesulitan dan kamu menolongku, aku tentu sangat berterima kasih padamu. Tapi, kamu nggak lupa kenapa kita menikah, 'kan? Karena waktu itu kondisi kesehatan Nenek sedang buruk ...."Membicarakan Nenek, Alya teringat dengan dirinya yang tidak bisa melihat Nenek untuk yang terakhir kalinya sebelum Nenek meninggal. Hati Alya terasa sakit, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam untuk meredakan rasa sakitnya. Setelah itu, dia berkata, "Pokoknya, kita berdua mendapatkan apa yang kita butuhkan, nggak ada bedanya dengan hubungan bisnis.""Begitukah?" Rizki menatapnya dalam-dalam. "Kalau itu hanya hubungan bisnis, kenapa kamu nggak membawa sepeser pun uang saat kamu pergi? Kenapa kamu melahirkan anak-anak ini?""Pernikahannya sudah berakhir, untuk apa aku mengambil uangmu? Kamu menolongku membereskan masalah Keluarga Kartika, aku menolongmu mengurus Nenek. Kenapa aku masih harus mengambil uangmu? Mengenai kenapa aku melahirkan anak-anak ini, pertanyaanmu ini
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang