Hana menggigit bibirnya dan dengan ragu berkata, "Tapi karena sudah jadi seperti ini, aku merasa bertanggung jawab juga. Aku harus pergi bersamamu dan mengecek keadaan Alya.""Benar, semua ini adalah tanggung jawab kita. Saat ini Rizki mungkin sangat marah, jadi kusarankan kamu untuk jangan ikut."Setelah itu, Andi menatap Hana dalam-dalam.Tatapan ini entah kenapa membuat Hana merasa takut, seolah-olah pria ini dapat melihat menembus topengnya dan mengetahui isi hatinya.Dalam sekejap, dia pun tidak berani berbicara lagi."Kalau begitu ... oke. Tapi kalau terjadi sesuatu, kamu harus meneleponku. Meskipun kami sudah 5 tahun nggak bertemu, aku masih sangat mengkhawatirkan Alya."Andi hanya menjawab dengan, "Hmm." Kemudian dia mengambil ponselnya dan pergi.Setelah dia pergi, di sana hanya tersisa Hana dan Faisal.Setelah memastikan Andi sudah berjalan jauh dan tidak akan kembali lagi, Hana yang dari tadi berdiri diam segera berbalik dan menghampiri Faisal. Dia membungkuk untuk membantu
Situasinya sudah seburuk ini dan Satya pun tidak punya alasan untuk menolak. Anak itu hanya bisa menganggukkan kepalanya sekuat tenaga."Bisa.""Oke, kalau begitu kamu dan Maya bantu Paman sebentar. Paman sekarang akan membawa kalian ke rumah sakit.""Ya."Melihatnya setuju, Rizki pun mengalihkan pandangannya pada wajah Alya yang sudah tidak sadarkan diri. Warna darah pada kening Alya sangat kontras dengan kulit putihnya, darah itu tampak sangat merah dan mengejutkan.Rizki dengan hati-hati membaringkannya, memperbaiki posisinya, lalu meminta kedua anak itu untuk menjaganya di kedua sisi. Dia takut Alya akan jatuh dari kursi selagi dia menyetir.Setelah melakukan semua ini, Rizki turun dari mobil.Brak!Setelah pintu mobil ditutup, Satya mengelap air matanya. Kemudian dia melindungi kepala Alya dengan tangan kecilnya dan berkata, "Mama tenang saja, Mama akan baik-baik saja."Maya juga menangis tersedu-sedu, matanya yang tadi menggemaskan dan bersemangat sekarang penuh dengan air mata y
Ditambah, ada dua anak kecil yang menangis dengan mata memerah.Menyadari keparahan situasi ini, polisi itu pun berkata, "Silakan ikuti kami."Kemudian sang polisi pun membuka jalan untuk Rizki, mereka memimpin jalan dan menghubungi rumah sakit terdekat.Dengan bantuan polisi, akhirnya mereka sampai di rumah sakit lebih cepat.Begitu turun dari mobil, RIzki menggendong Alya dan bergegas masuk ke rumah sakit. Kedua anak itu berlari di belakangnya.Setelah sedikit kericuhan, Alya akhirnya masuk ke ruang gawat darurat....Anggota keluarga tidak diperbolehkan masuk ke ruang gawat darurat, jadi Rizki hanya bisa membawa kedua anak itu menunggu di luar.Saat ini, tidak ada orang lain di sekitar ruang gawat darurat, koridor itu sepi. Rizki pun menarik Satya dan Maya untuk duduk di sampingnya."Ini akan memakan waktu, jadi kita akan menunggu di sini."Satya yang sangat sensitif dan pendiam, sama sekali tidak menolak Rizki. Akan tetapi, dia juga tidak duduk di samping pria itu dan memilih kursi
Sejujurnya memang cukup.Karena setelah dia mengatakan itu, Maya mengangkat tangannya dan menemukan bahwa menampar wajahnya jauh lebih mudah daripada memukul kakinya.Ketika Rizki duduk di kursi tadi, Maya harus bersusah payah berjinjit hanya untuk memukul kakinya.Namun, sekarang Rizki dengan sukarela menundukkan kepalanya, sehingga Maya tidak perlu susah payah untuk memukulnya.Hanya saja ....Dengan jarak sedekat ini, mata Rizki tampak sangat gelap dan wajahnya terlihat sangat tajam. Rasanya agak menakutkan.Menghadapi wajah ini, Maya tiba-tiba menjadi takut untuk memukul.Dia melirik Rizki dengan ragu, lalu melangkah mundur.Rizki dapat melihat gerakan kecilnya dengan jelas."Kenapa?"Maya mengerucutkan bibitnya. "Bagaimana kalau nanti Paman balas memukul?"Paman RezekiMalam sangat tinggi dan memiliki tangan yang sangat besar. Jika Paman RezekiMalam menamparnya, dia pasti akan mati.Makin dipikirkan, Maya pun jadi makin takut. Dia langsung berbalik dan berlari menghampiri kakaknya.
Dia tidak akan melepaskan Faisal begitu saja.Andi juga merasakan kekesalan yang tertahan dari ucapan Rizki dan merasa tidak berdaya."Sebenarnya, aku nggak menyangka malam ini akan menjadi seperti ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana kondisi Alya?"Rizki mengatupkan bibirnya dan tidak menghiraukan Andi, tampaknya dia sama sekali tidak berniat untuk merespons.Melihat hal ini, Andi tidak berbicara lagi dan duduk di kursi sambil terdiam.Setelah waktu yang cukup lama, Rizki tiba-tiba berkata padanya, "Kamu jangan tinggal di sini.""Aku hanya diam saja pun juga nggak boleh?" balas Andi."Nggak boleh.""Kamu benar-benar nggak punya simpati," ujar Andi lagi."Aku memang nggak punya simpati, lalu?"Jika tidak? Memangnya dia bisa apa?Meskipun begitu, Andi tidak pergi. Dia hanya terus duduk di sana. Setelah beberapa waktu, Rizki seperti terprovokasi oleh sesuatu. Dia menoleh dan menatap Andi dengan mata gelap yang tampak tidak senang."Andi, jangan paksa aku menggunakan kekerasan."
Melihat Rizki tidak menjawab, Andi melanjutkan, "Alya masih belum sadarkan diri, 'kan?"Mendegar ini, Rizki akhirnya bereaksi dan menjawab dengan dingin, "Nggak masalah, mereka berdua sangat pintar."Meskipun dia tidak di sana, reaksi kedua anak itu sangat cepat, terutama Satya. Anak itu pasti bisa menjaga ibunya.Hanya saja ...."Tapi, mereka berdua tetap anak kecil." Andi berkata, "Kalau terjadi sesuatu ...."Rizki menyelanya, "Aku akan mengawasi mereka di sini.""Oke.""Kami nggak membutuhkanmu di sini, pergilah."Melihat Rizki yang masih bersikeras, Andi pun menyadari bahwa bila dia terus di sini, pembicaraan mereka tidak akan mengarah ke mana pun. Akan tetapi, ....Dia berpikir sejenak. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak berbicara lagi dengan Rizki, melainkan pergi duduk di koridor dan menunggu dalam diam.Rizki berdiri di luar kamar rawat dan bersandar di dinding, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Cahya.Setelah selesai menelepon dan menyimpan ponselnya, Rizki tiba-tiba
Setelah tujuannya tercapai, Rizki meninggalkan kamar sambil membawa ponsel itu.Begitu keluar dari kamar, dia membuka kunci ponsel tersebut. Setelah kuncinya terbuka, senyum di wajahnya langsung menghilang.Layar ponsel itu menampilkan halaman kontak.Selain itu, halaman kontak tersebut sudah menemukan kontak Irfan. Jika dia terlambat sedetik saja, anak itu mungkin sudah menelepon kontak ini.Untungnya, dia masuk tepat waktu.Rizki mengetuk nama Irfan, dia hampir ingin menghapus kontak Irfan dari buku kontak Alya.Namun, pada akhirnya, dia masih menahan diri. Lagi pula, melakukan hal sepele seperti ini tidak berguna.Jika benar-benar ada sesuatu di antara Alya dan Irfan, maka tidak ada gunanya dia menghapus kontak Irfan.Rizki mengunci ponsel itu lagi, memilih untuk tidak memedulikannya dan menjaga kedamaian pikirannya.Sementara itu setelah Rizki pergi, Satya dan Maya berbisik-bisik di dalam kamar rawat."Kakak, apa nggak apa-apa kalau kita memberikan ponsel Mama padanya seperti ini?"
Cahya yang tidak sengaja menyentuh titik sensitif atasannya, diam-diam merasa senang.Dulu, mana mungkin dia berani berbicara dengan Rizki seperti ini? Sebuah lirikan yang tiba-tiba saja sudah cukup untuk membekukannya, Rizki pun tidak akan menoleransi sikap seperti ini.Namun, sekarang, semuanya sudah berbeda. Setelah Alya dan kedua anaknya muncul, temperamen Rizki jelas membaik.Ketika Cahya menggoda seperti ini, Rizki akan mengusirnya.Namun, Rizki hanya terlihat marah dari luar saja. Sebenarnya Rizki tidak marah, seperti saat ini.Setelah mendengar perkataannya dan mengusirnya, dalam sedetik ekspresi Rizki sudah kembali normal. Rizki bahkan mendesaknya, "Cepat tangani urusan ini, lalu bawa makanan yang disukai anak-anak."Jadi, Cahya pergi ke lantai bawah.Ketika dia pergi, dia berpapasan dengan Andi dan mereka pun saling melirik.Cahya berpikir dan menggaruk kepalanya, bagaimana Andi bisa juga ada di sini?Apa yang sebenarnya terjadi malam ini?Ketika dia sudah membeli semuanya da