Ditambah, ada dua anak kecil yang menangis dengan mata memerah.Menyadari keparahan situasi ini, polisi itu pun berkata, "Silakan ikuti kami."Kemudian sang polisi pun membuka jalan untuk Rizki, mereka memimpin jalan dan menghubungi rumah sakit terdekat.Dengan bantuan polisi, akhirnya mereka sampai di rumah sakit lebih cepat.Begitu turun dari mobil, RIzki menggendong Alya dan bergegas masuk ke rumah sakit. Kedua anak itu berlari di belakangnya.Setelah sedikit kericuhan, Alya akhirnya masuk ke ruang gawat darurat....Anggota keluarga tidak diperbolehkan masuk ke ruang gawat darurat, jadi Rizki hanya bisa membawa kedua anak itu menunggu di luar.Saat ini, tidak ada orang lain di sekitar ruang gawat darurat, koridor itu sepi. Rizki pun menarik Satya dan Maya untuk duduk di sampingnya."Ini akan memakan waktu, jadi kita akan menunggu di sini."Satya yang sangat sensitif dan pendiam, sama sekali tidak menolak Rizki. Akan tetapi, dia juga tidak duduk di samping pria itu dan memilih kursi
Sejujurnya memang cukup.Karena setelah dia mengatakan itu, Maya mengangkat tangannya dan menemukan bahwa menampar wajahnya jauh lebih mudah daripada memukul kakinya.Ketika Rizki duduk di kursi tadi, Maya harus bersusah payah berjinjit hanya untuk memukul kakinya.Namun, sekarang Rizki dengan sukarela menundukkan kepalanya, sehingga Maya tidak perlu susah payah untuk memukulnya.Hanya saja ....Dengan jarak sedekat ini, mata Rizki tampak sangat gelap dan wajahnya terlihat sangat tajam. Rasanya agak menakutkan.Menghadapi wajah ini, Maya tiba-tiba menjadi takut untuk memukul.Dia melirik Rizki dengan ragu, lalu melangkah mundur.Rizki dapat melihat gerakan kecilnya dengan jelas."Kenapa?"Maya mengerucutkan bibitnya. "Bagaimana kalau nanti Paman balas memukul?"Paman RezekiMalam sangat tinggi dan memiliki tangan yang sangat besar. Jika Paman RezekiMalam menamparnya, dia pasti akan mati.Makin dipikirkan, Maya pun jadi makin takut. Dia langsung berbalik dan berlari menghampiri kakaknya.
Dia tidak akan melepaskan Faisal begitu saja.Andi juga merasakan kekesalan yang tertahan dari ucapan Rizki dan merasa tidak berdaya."Sebenarnya, aku nggak menyangka malam ini akan menjadi seperti ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana kondisi Alya?"Rizki mengatupkan bibirnya dan tidak menghiraukan Andi, tampaknya dia sama sekali tidak berniat untuk merespons.Melihat hal ini, Andi tidak berbicara lagi dan duduk di kursi sambil terdiam.Setelah waktu yang cukup lama, Rizki tiba-tiba berkata padanya, "Kamu jangan tinggal di sini.""Aku hanya diam saja pun juga nggak boleh?" balas Andi."Nggak boleh.""Kamu benar-benar nggak punya simpati," ujar Andi lagi."Aku memang nggak punya simpati, lalu?"Jika tidak? Memangnya dia bisa apa?Meskipun begitu, Andi tidak pergi. Dia hanya terus duduk di sana. Setelah beberapa waktu, Rizki seperti terprovokasi oleh sesuatu. Dia menoleh dan menatap Andi dengan mata gelap yang tampak tidak senang."Andi, jangan paksa aku menggunakan kekerasan."
Melihat Rizki tidak menjawab, Andi melanjutkan, "Alya masih belum sadarkan diri, 'kan?"Mendegar ini, Rizki akhirnya bereaksi dan menjawab dengan dingin, "Nggak masalah, mereka berdua sangat pintar."Meskipun dia tidak di sana, reaksi kedua anak itu sangat cepat, terutama Satya. Anak itu pasti bisa menjaga ibunya.Hanya saja ...."Tapi, mereka berdua tetap anak kecil." Andi berkata, "Kalau terjadi sesuatu ...."Rizki menyelanya, "Aku akan mengawasi mereka di sini.""Oke.""Kami nggak membutuhkanmu di sini, pergilah."Melihat Rizki yang masih bersikeras, Andi pun menyadari bahwa bila dia terus di sini, pembicaraan mereka tidak akan mengarah ke mana pun. Akan tetapi, ....Dia berpikir sejenak. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak berbicara lagi dengan Rizki, melainkan pergi duduk di koridor dan menunggu dalam diam.Rizki berdiri di luar kamar rawat dan bersandar di dinding, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Cahya.Setelah selesai menelepon dan menyimpan ponselnya, Rizki tiba-tiba
Setelah tujuannya tercapai, Rizki meninggalkan kamar sambil membawa ponsel itu.Begitu keluar dari kamar, dia membuka kunci ponsel tersebut. Setelah kuncinya terbuka, senyum di wajahnya langsung menghilang.Layar ponsel itu menampilkan halaman kontak.Selain itu, halaman kontak tersebut sudah menemukan kontak Irfan. Jika dia terlambat sedetik saja, anak itu mungkin sudah menelepon kontak ini.Untungnya, dia masuk tepat waktu.Rizki mengetuk nama Irfan, dia hampir ingin menghapus kontak Irfan dari buku kontak Alya.Namun, pada akhirnya, dia masih menahan diri. Lagi pula, melakukan hal sepele seperti ini tidak berguna.Jika benar-benar ada sesuatu di antara Alya dan Irfan, maka tidak ada gunanya dia menghapus kontak Irfan.Rizki mengunci ponsel itu lagi, memilih untuk tidak memedulikannya dan menjaga kedamaian pikirannya.Sementara itu setelah Rizki pergi, Satya dan Maya berbisik-bisik di dalam kamar rawat."Kakak, apa nggak apa-apa kalau kita memberikan ponsel Mama padanya seperti ini?"
Cahya yang tidak sengaja menyentuh titik sensitif atasannya, diam-diam merasa senang.Dulu, mana mungkin dia berani berbicara dengan Rizki seperti ini? Sebuah lirikan yang tiba-tiba saja sudah cukup untuk membekukannya, Rizki pun tidak akan menoleransi sikap seperti ini.Namun, sekarang, semuanya sudah berbeda. Setelah Alya dan kedua anaknya muncul, temperamen Rizki jelas membaik.Ketika Cahya menggoda seperti ini, Rizki akan mengusirnya.Namun, Rizki hanya terlihat marah dari luar saja. Sebenarnya Rizki tidak marah, seperti saat ini.Setelah mendengar perkataannya dan mengusirnya, dalam sedetik ekspresi Rizki sudah kembali normal. Rizki bahkan mendesaknya, "Cepat tangani urusan ini, lalu bawa makanan yang disukai anak-anak."Jadi, Cahya pergi ke lantai bawah.Ketika dia pergi, dia berpapasan dengan Andi dan mereka pun saling melirik.Cahya berpikir dan menggaruk kepalanya, bagaimana Andi bisa juga ada di sini?Apa yang sebenarnya terjadi malam ini?Ketika dia sudah membeli semuanya da
"Seingatku di acara lelang kemarin, sepertinya Rizki masih membawa Hana bersamanya."Membicarakan hal ini, Cahya buru-buru menjelaskan, "Ya, tapi itu karena perintah ibunya Pak Rizki. Waktu itu ada barang yang ingin Nona Hana tawar, jadi mereka pergi bersama.""Jadi?" Andi menyipitkan matanya. "Kapan dia bertemu dengan Alya? Kapan Alya kembali? Kedua anak itu ... apa mereka anak-anak Rizki?"Cahya menjawab, "Memangnya apa lagi? Hanya dengan melihat wajah kedua anak itu, semua juga tahu kalau mereka anak Pak Rizki, 'kan?"Mendengar jawaban ini, Andi pun terkekeh. "Benar juga, mereka memang sangat mirip."Fitur wajah mereka sangat mirip dengan Rizki, sementara mata mereka mirip dengan Alya. Mereka tidak memerlukan tes paternal, karena dengan mata telanjang pun jelas terlihat bahwa mereka adalah ayah dan anak.Cahya menatap Andi, mungkin dia jadi merasa berani karena kelonggaran yang Rizki berikan padanya akhir-akhir ini."Pak Andi, kenapa kamu ada di sini?" Cahya ingin mengklarifikasi se
Di dalam kamar rawat.Maya mendengar seseorang mengetuk pintu dan segera melihat ke arah kakaknya.Setelah Satya mengangguk padanya, barulah dia membolehkan Rizki masuk.Setelah pintu kamar dibuka, kedua anak itu melihat Rizki berjalan masuk sambil membawa dua kantong besar. Maya tanpa sadar melihat kedua kantong itu dan langsung berkata, "Paman RezekiMalam beli apa?"Setelah bertanya, Maya baru sadar dengan apa yang baru saja dia katakan. Dia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, mata besarnya yang berkaca-kaca penuh dengan ketakutan.Ups!Dia jelas sudah memutuskan untuk tidak menghiraukan Paman RezekiMalam, jadi kenapa dia tanpa sadar menanyakan kantong itu begitu melihatnya?"Hmm." Rizki meletakkan kantong tersebut di atas meja dengan mata penuh senyum."Aku meminta Pak Cahya membelikan kalian beberapa makanan."Sambil berbicara, Rizki mengeluarkan makanan dari dalam kantong itu dan meletakkannya di meja.Kedua anak itu melihat semua ini. Mereka berdiri diam sambil mengepalkan