Cahya yang tidak sengaja menyentuh titik sensitif atasannya, diam-diam merasa senang.Dulu, mana mungkin dia berani berbicara dengan Rizki seperti ini? Sebuah lirikan yang tiba-tiba saja sudah cukup untuk membekukannya, Rizki pun tidak akan menoleransi sikap seperti ini.Namun, sekarang, semuanya sudah berbeda. Setelah Alya dan kedua anaknya muncul, temperamen Rizki jelas membaik.Ketika Cahya menggoda seperti ini, Rizki akan mengusirnya.Namun, Rizki hanya terlihat marah dari luar saja. Sebenarnya Rizki tidak marah, seperti saat ini.Setelah mendengar perkataannya dan mengusirnya, dalam sedetik ekspresi Rizki sudah kembali normal. Rizki bahkan mendesaknya, "Cepat tangani urusan ini, lalu bawa makanan yang disukai anak-anak."Jadi, Cahya pergi ke lantai bawah.Ketika dia pergi, dia berpapasan dengan Andi dan mereka pun saling melirik.Cahya berpikir dan menggaruk kepalanya, bagaimana Andi bisa juga ada di sini?Apa yang sebenarnya terjadi malam ini?Ketika dia sudah membeli semuanya da
"Seingatku di acara lelang kemarin, sepertinya Rizki masih membawa Hana bersamanya."Membicarakan hal ini, Cahya buru-buru menjelaskan, "Ya, tapi itu karena perintah ibunya Pak Rizki. Waktu itu ada barang yang ingin Nona Hana tawar, jadi mereka pergi bersama.""Jadi?" Andi menyipitkan matanya. "Kapan dia bertemu dengan Alya? Kapan Alya kembali? Kedua anak itu ... apa mereka anak-anak Rizki?"Cahya menjawab, "Memangnya apa lagi? Hanya dengan melihat wajah kedua anak itu, semua juga tahu kalau mereka anak Pak Rizki, 'kan?"Mendengar jawaban ini, Andi pun terkekeh. "Benar juga, mereka memang sangat mirip."Fitur wajah mereka sangat mirip dengan Rizki, sementara mata mereka mirip dengan Alya. Mereka tidak memerlukan tes paternal, karena dengan mata telanjang pun jelas terlihat bahwa mereka adalah ayah dan anak.Cahya menatap Andi, mungkin dia jadi merasa berani karena kelonggaran yang Rizki berikan padanya akhir-akhir ini."Pak Andi, kenapa kamu ada di sini?" Cahya ingin mengklarifikasi se
Di dalam kamar rawat.Maya mendengar seseorang mengetuk pintu dan segera melihat ke arah kakaknya.Setelah Satya mengangguk padanya, barulah dia membolehkan Rizki masuk.Setelah pintu kamar dibuka, kedua anak itu melihat Rizki berjalan masuk sambil membawa dua kantong besar. Maya tanpa sadar melihat kedua kantong itu dan langsung berkata, "Paman RezekiMalam beli apa?"Setelah bertanya, Maya baru sadar dengan apa yang baru saja dia katakan. Dia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, mata besarnya yang berkaca-kaca penuh dengan ketakutan.Ups!Dia jelas sudah memutuskan untuk tidak menghiraukan Paman RezekiMalam, jadi kenapa dia tanpa sadar menanyakan kantong itu begitu melihatnya?"Hmm." Rizki meletakkan kantong tersebut di atas meja dengan mata penuh senyum."Aku meminta Pak Cahya membelikan kalian beberapa makanan."Sambil berbicara, Rizki mengeluarkan makanan dari dalam kantong itu dan meletakkannya di meja.Kedua anak itu melihat semua ini. Mereka berdiri diam sambil mengepalkan
Selain itu yang paling penting, Paman RezekiMalam sudah membeli banyak sekali makanan. Jika mereka meminta Paman Irfan datang ...."Kakak ...."Namun, sebelum Maya bisa berpikir lebih jauh, Maya sudah tidak bisa menahan rasa laparnya dan mulai menarik baju kakaknya lagi.Satya pun tidak berdaya. Ketika Satya hendak meminta Rizki mengembalikan ponsel mamanya, Rizki mendadak bangkit dari meja dan berjongkok di depan kedua anak itu."Kalian bisik-bisik apa?"Begitu melihatnya, Maya segera membuang muka.Rizki dengan lembut mencolek belakang kepala gadis kecil itu. "Apa kamu masih marah dengan Paman?""Hmph."Maya sama sekali tidak mau berbicara dengannya.Rizki hanya bisa menurunkan jarinya dan mencolek leher anak itu. "Paman sudah salah, Paman minta maaf sama Maya dan Satya. Apa kalian mau memaafkan Paman?""Nggak!"Maya yang tadinya tidak ingin menghiraukan Rizki, segera merespons dengan cemberut."Ya sudah kalau nggak mau, tapi kalian sungguh nggak mau makan? Kalau kalian sampai pingsa
Jadi pada akhirnya, Satya juga meletakkan tangan kecilnya di tangan besar yang terlihat hangat itu. Dia pun juga dibawa pergi olehnya.Cahya membeli berbagai macam makanan lezat. Karena dia tidak tahu makanan apa yang disukai anak-anak, dia membeli hampir semuanya. Hasilnya, meja itu penuh dengan berbagai macam makanan.Setelah diletakkan di kursi, Maya melebarkan matanya saat melihat meja penuh makanan."Paman RezekiMalam, apa semua ini untuk Maya dan Kakak?""Ya."Sambil berbicara, Rizki mengeluarkan dua sapu tangan dan meletakkannya di depan Maya dan Satya.Belakangan ini, Cahya sudah cukup sering mengurus mereka. Meskipun belum benar-benar mengetahui apa yang disukai kedua anak ini, Cahya tahu apa saja alat yang dibutuhkan anak-anak ini ketika makan.Jadi ketika membeli makanan ini tadi, dia sekalian membeli keperluan lainnya.Maya dan Satya duduk di sana, melihat Rizki yang sibuk bersiap untuk mereka.Maya dengan cepat berhenti mengabaikannya. Sikap acuh tak acuhnya perlahan menca
Waktu sudah malam, di kamar rawat itu hanya ada cahaya lampu yang remang. Cahayanya lembut dan tidak menyilaukan, sehingga Alya sama sekali tidak merasakan ketidaknyamanan ketika membuka mata.Saat melihat ke sekelilingnya, Alya segera melihat seorang tamu tak diundang di samping ranjangnya.Rizki ....Pikiran Alya yang tadinya kosong segera mengingat kejadian hari ini begitu melihat Rizki.Kesadarannya menghilang setelah keningnya terhantam, dia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.Sekarang, sepertinya dia terluka, lalu Rizki membawanya ke rumah sakit?Rumah sakit ....Di mana Maya dan Satya?Begitu memikirkan anak-anaknya, Alya yang tadinya masih terbaring dengan tenang seketika menjadi gelisah dan ingin duduk.Rizki yang tertidur di tepi tempat tidurnya pun terbangun oleh suara yang dibuatnya.Rizki membuka matanya dan Alya tiba-tiba bertemu dengan tatapannya.Sesaat kemudian, Rizki pun bangkit dan membantunya."Kamu sudah bangun, apa ada yang sakit?"Suaranya terden
Ekspresi Rizki menegang, otot di pelipisnya berkedut karena perkataannya.Namun, setelah beberapa saat, dia kembali normal. Seakan-akan dia sudah membereskan semua perasaan negatifnya tadi."Apa kamu haus? Mau aku tuangkan minum?"Alya menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Setelah bertatapan selama beberapa detik, Rizki akhirnya berdiri dan menuangkannya segelas air hangat."Suhunya pas, sudah aku cek."Alya melirik segelas air di depannya itu dan menolak, "Aku nggak mau.""Sepanjang malam kamu belum makan apa pun dan terbaring begitu lama, minumlah dulu untuk membasahi tenggorokanmu."Sambil berbicara, Rizki bahkan mendekatkan gelas itu ke bibir Alya.Alya mengerutkan kening dan memalingkan wajahnya. "Aku bilang nggak mau."Rizki mempertahankan posisinya untuk sejenak sebelum akhirnya menarik kembali gelas tersebut. "Kalau begitu, bagaimana kalau kamu makan sedikit? Kamu mau makan apa?"Saat ini, Alya pun tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dia mendengus dan berkata, "Aku nggak mau mi
"Aku nggak membutuhkan perlindunganmu."Rizki merapatkan bibirnya dan menatap Alya sejenak, akhirnya dia berdiri dan pergi.Alya tak bisa berkata-kata.Entah ini hanya perasaannya saja atau tidak, tetapi barusan Rizki menatapnya seolah-olah dia telah diperlakukan tidak adil.Setelah menyadarinya, Alya seketika menjadi agak marah lagi.Apanya yang tidak adil untuk Rizki?Yang terluka adalah dia, hak apa yang pria itu miliki untuk merasa tidak adil?Brak!Pintu kamar pun ditutup begitu Rizki keluar.Alya perlahan berbalik, lukanya masih agak sakit, tetapi dia berhasil berbalik ke samping untuk melihat anak-anaknya. Dia pun berbaring seperti itu dan memandang mereka.Kedua anak itu tidur dengan begitu nyenyak tanpa adanya rasa waspada, apakah itu karena mereka tahu dia ada di sini? Atau karena mereka tahu bahwa orang yang ada di dalam kamar bersama mereka adalah Rizki?Alya merasa tidak nyaman karena luka di keningnya, jadi dia pun tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Tak lama kemudian,
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang