Wulan memang belum tidur. Setelah melihat bahwa Alya selamat, dia pun menghela napas lega."Syukurlah kamu nggak apa-apa."Wulan memegang tangan Alya dan menepuk-nepuknya dengan lembut. Dengan tulus dia berkata, "Aku nggak tahu apakah operasiku akan berhasil atau nggak, kalau nggak, aku mungkin nggak akan punya kesempatan untuk melihat kalian lagi. Aku sudah tua, aku juga nggak punya permintaan spesial, aku hanya berharap kalian anak muda dapat terus hidup dengan aman dan nyaman."Mendengar perkataan sang nenek, raut wajah Alya berubah."Nenek, apa yang kamu bicarakan? Operasinya pasti akan sukses, kamu akan bersama dengan kami untuk waktu yang sangat lama! Mulai sekarang, Nenek nggak boleh bicara pesimis seperti ini lagi. Kalau nggak, aku akan marah."Wulan menyadari perubahan nada bicara dan ekspresi Alya, dia pun tak bisa menahan senyumnya."Aku tahu kamu memedulikanku. Oke, oke, Nenek akan berusaha untuk baik-baik saja." Setelah mengatakan itu, dia mencolek pipi Alya yang menggembu
Pada akhirnya, Alya mengangguk setuju.Saat dia kembali ke kamar, dia menemukan Rizki duduk di sofa.Mengingat ucapan sang nenek, Alya tanpa sadar mengamati pakaian Rizki.Seperti yang Wulan katakan, Rizki hanya mengenakan kemeja hitam. Rizki bersandar di sofa yang berwarna gelap itu, auranya yang suram hampir bercampur dengan sofa tersebut.Alya juga tidak menyangka hari ini mereka berdua akan menjadi seperti ini.Bahkan meskipun mereka berdua bukan suami istri, mereka sudah berteman sejak kecil. Hanya saja, tidak ada hubungan suami istri dalam pertemanan mereka.Di luar batas itu, Rizki juga telah banyak membantunya.Alya tahu, seharusnya dialah yang mengalah lebih dulu. Namun, entah kenapa, dia hanya berdiri di sana sambil memandang Rizki untuk beberapa saat. Akhirnya, dia masih tetap tidak mengatakan apa pun dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.Ketika dia keluar dari kamar mandi, sosok Rizki sudah tidak berada di dalam ruangan.Namun, ponsel Alya menerima beberapa p
Dari kecil sampai sekarang, tak peduli berapa kali mereka mengalami perang dingin, yang selalu mengambil inisiatif untuk berbicara lebih dulu adalah Rizki. Tentu saja meskipun dia yang mengambil inisiatif, raut wajahnya selalu terlihat tidak senang.Jika Alya mengabaikannya, Rizki akan makin marah dan terus berbicara padanya sambil menggertakkan gigi.Setelah merenung, Alya menganggukkan kepalanya."Ikut."Barulah raut wajah Rizki sedikit membaik.Setelah sarapan, mereka berdua pergi bersama. Tadinya Alya mengira dirinya akan naik mobil sendiri, tetapi saat dia berbalik, dia melihat Rizki menurunkan jendela mobil dan menatapnya dengan dingin."Naiklah."Mengingat pesta yang harus mereka hadiri, Alya pun tidak menolak.Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara. Sesampainya di perusahaan, mereka pun pergi ke tempat kerja masing-masing.Alya baru saja duduk ketika dia menerima pesan teks dari Citra."Bagaimana kabarmu? Dengan ditundanya operasi Nenek Wulan, apakah urusan kalian juga diu
Suara itu tiba-tiba keluar dari ponselnya. Ketika Alya ingin mematikan suaranya, dia sudah terlambat.Saat dia mengambil ponselnya, pesan suara itu sudah otomatis terputar.Alya terdiam.Apa yang terjadi? Dia kira setelah Citra selesai bekerja, Citra akan kembali dan curhat mengenai bosnya yang menyebalkan. Siapa sangka, ternyata sahabatnya membicarakan masalahnya sendiri.Alya teringat sesuatu, seketika raut wajahnya berubah. Dia segera berdiri dan membuka pintu.Di luar pintu kosong, tidak ada orang yang terlihat.Dia pun menghela napas lega.Dia meminta Tiara untuk sekalian menutup pintu saat keluar, seharusnya gadis itu tidak akan berlama-lama di sini, seharusnya Tiara tidak mendengar pesan suara barusan.Namun, Alya masih belum sepenuhnya tenang. Setelah berjalan beberapa langkah dan memastikan tidak ada orang di sana, barulah dia kembali.Kemudian, dia menghapus pesan suara dari Citra dan memarahi sahabatnya habis-habisan.Melihatnya marah, Citra segera berlutut dan mengatakan be
Karena sumbernya dari Rizki sendiri.Barusan dia terlalu terkejut, sehingga dia tidak terpikirkan hal ini.Melihat Lutfi tidak berbicara, Tiara bertanya dengan suara kecil, "Bagaimana? Bukankah menurutmu ini semacam pengkhianatan?"Tidak ada yang bisa Lutfi katakan.Jika memosisikan dirinya sebagai Alya, Lutfi dapat memahaminya dan bahkan ikut merasa geram untuk Alya."Kamu diam saja, apa artinya kamu setuju? Kalau begitu ...." Tiara berbisik, "Kejadian hari ini kita rahasiakan saja dulu."Mendengar ini, Lutfi mengangguk setuju."Aku mengerti, sejak awal nggak seharusnya kita membicarakan hal ini.""Bagus, kita anggap kita nggak mendengar apa pun. Sekarang Bu Alya sudah cukup kasihan, kita jangan menyusahkannya lagi.""Tapi ...." Lutfi mengerutkan kening. "Aku nggak terlalu mengerti. Kenapa Bu Alya nggak beri tahu saja Pak Rizki? Kalau diberi tahu, mungkin Pak Rizki nggak akan berhubungan dengan Hana, 'kan?""Ck." Tiara mencibir, "Sekarang sudah zaman apa? Kamu masih saja membicarakan
"Bajingan!""Apa katamu?" Rizki menyipitkan matanya dengan tidak senang, auranya tiba-tiba menjadi makin seram.Nada bicara yang sedingin es itu pun menyadarkan Lutfi kembali.Sial, bukankah dia hanya sedang mengutuk di dalam hati? Bagaimana bisa dia mengatakannya?Lutfi kehabisan kata-kata untuk dirinya sendiri.Akan tetapi, dengan mengandalkan pengalamannya di tempat kerja, dia segera membuat sebuah alasan."Maafkan aku Pak Rizki, aku bukan membicarakanmu. Hanya saja kemarin malam, aku menemani ibuku menonton sinetron yang melodramatis. Pemeran utama prianya adalah seorang bajingan!"Benar, penjelasan ini bagus juga.Sinetron melodramatis?Rizki mengerutkan kening dan menatapnya dengan tidak senang. "Kamu memikirkan hal semacam itu di waktu kerja?"Ck, memangnya kenapa kalau dia memikirkan hal itu? Bukankah Rizki juga mendua dengan wanita lain di waktu kerja? Hahaha!Tentu saja Lutfi tidak bisa mengatakan hal ini."Bukan begitu, Pak Rizki. Dalam perjalanan ke sini aku tiba-tiba terpi
Lutfi keluar dari dalam kantor dengan beberapa map di tangannya, wajahnya terlihat pucat.Dia menunduk dan melihat dokumen-dokumen di tangannya yang harus dia selesaikan dalam 3 hari. Semua ini karena dia telah menyindir seseorang.Huh, kalau tahu akan begini, dia lebih baik menahan dirinya.Namun, saat memikirkan Alya yang tidak berani mengungkapkan kehamilannya karena hubungan Rizki dan Hana yang tidak jelas, juga bagaimana wanita itu hanya dapat menelan kegetirannya seorang diri, Lutfi pun merasakan amarah yang bergejolak di hatinya.Berapa banyak penderitaan yang harus dirasakan Alya?Jadi, Lutfi pun sudah memutuskan, meskipun mulai sekarang Rizki akan menekannya seperti ini, dia tetap akan mengatai bosnya itu bajingan!...Alya sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di sisi lain, dia sedang sibuk melanjutkan pekerjaannya.Hanya saja walaupun dia belum lama bekerja, dia sudah mengantuk. Dia terus menguap di depan layar komputer.Ketika Tiara membawakannya air, gadis itu kebe
Tamat sudah, apa kelihatan sekali?Tahu begitu dia harusnya lebih tenang. Namun, begitu dia mengetahui kehamilan Alya dan hubungan tidak jelas Rizki dengan wanita lain, Tiara merasa sangat sedih. Dia hanya ingin membantu Alya, sama sekali tidak ada niat lainnya."Hm?"Melihat asistennya menghindari kontak mata, Alya menjadi panik. Mungkinkah Tiara benar-benar mendengarnya?Meskipun biasanya Tiara sangat pemalu, pikirannya cukup cepat tangkap.Merasa ada sesuatu yang tak beres, Tiara akhirnya merespons, "Sebenarnya, ini karena kejadian kemarin malam." Tiara dengan canggung menyentuh bagian belakang kepalanya. "Kalau bukan karena aku, Kak Alya nggak akan mendengar Pak Candra mengatakan hal-hal itu. Aku hanya ingin menebus kesalahanku."Dengan berkata seperti ini, Alya seharusnya tidak akan mencurigainya lagi, 'kan?Tentu saja setelah mendengar penjelasan tersebut, raut wajah Alya akhirnya sedikit membaik.Ternyata karena kejadian kemarin malam. Kalau seperti ini, dia bisa mengerti.Memik