Dalam perjalanan pulang, mereka berdua sama sekali tidak berbicara.Raut wajah Rizki tampak suram. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, kekuatannya seakan-akan ingin menghancurkan seluruh setir tersebut.Memikirkan apa yang dikatakan Alya sebelum menaiki mobil, Rizki merasa gelisah.Sebelumnya dia tidak pernah memikirkan pertanyaan tersebut. Sekarang setelah Alya membicarakannya, sepertinya dia dapat memahami sesuatu.Rizki melirik Alya.Sejak masuk ke mobil, wanita itu meringkuk seperti bola dan memejamkan matanya. Alya seolah-olah menutupi dirinya dari seluruh dunia dan hanya menyisakan dirinya sendiri.Setelah sekian lama hidup bersama wanita ini, bagaimana mungkin Rizki tidak mengerti betapa kerasnya Alya telah bekerja, serta seberapa inginnya Alya membuktikan diri?Namun, hari ini Alya malah mengalami kemunduran.Dalam perjalanan ke bar, Rizki mendengarkan penjelasan Tiara mengenai apa yang terjadi hari ini. Namun akhirnya, Tiara ragu untuk melanjutkan penjelasannya.Karena R
Wulan memang belum tidur. Setelah melihat bahwa Alya selamat, dia pun menghela napas lega."Syukurlah kamu nggak apa-apa."Wulan memegang tangan Alya dan menepuk-nepuknya dengan lembut. Dengan tulus dia berkata, "Aku nggak tahu apakah operasiku akan berhasil atau nggak, kalau nggak, aku mungkin nggak akan punya kesempatan untuk melihat kalian lagi. Aku sudah tua, aku juga nggak punya permintaan spesial, aku hanya berharap kalian anak muda dapat terus hidup dengan aman dan nyaman."Mendengar perkataan sang nenek, raut wajah Alya berubah."Nenek, apa yang kamu bicarakan? Operasinya pasti akan sukses, kamu akan bersama dengan kami untuk waktu yang sangat lama! Mulai sekarang, Nenek nggak boleh bicara pesimis seperti ini lagi. Kalau nggak, aku akan marah."Wulan menyadari perubahan nada bicara dan ekspresi Alya, dia pun tak bisa menahan senyumnya."Aku tahu kamu memedulikanku. Oke, oke, Nenek akan berusaha untuk baik-baik saja." Setelah mengatakan itu, dia mencolek pipi Alya yang menggembu
Pada akhirnya, Alya mengangguk setuju.Saat dia kembali ke kamar, dia menemukan Rizki duduk di sofa.Mengingat ucapan sang nenek, Alya tanpa sadar mengamati pakaian Rizki.Seperti yang Wulan katakan, Rizki hanya mengenakan kemeja hitam. Rizki bersandar di sofa yang berwarna gelap itu, auranya yang suram hampir bercampur dengan sofa tersebut.Alya juga tidak menyangka hari ini mereka berdua akan menjadi seperti ini.Bahkan meskipun mereka berdua bukan suami istri, mereka sudah berteman sejak kecil. Hanya saja, tidak ada hubungan suami istri dalam pertemanan mereka.Di luar batas itu, Rizki juga telah banyak membantunya.Alya tahu, seharusnya dialah yang mengalah lebih dulu. Namun, entah kenapa, dia hanya berdiri di sana sambil memandang Rizki untuk beberapa saat. Akhirnya, dia masih tetap tidak mengatakan apa pun dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.Ketika dia keluar dari kamar mandi, sosok Rizki sudah tidak berada di dalam ruangan.Namun, ponsel Alya menerima beberapa p
Dari kecil sampai sekarang, tak peduli berapa kali mereka mengalami perang dingin, yang selalu mengambil inisiatif untuk berbicara lebih dulu adalah Rizki. Tentu saja meskipun dia yang mengambil inisiatif, raut wajahnya selalu terlihat tidak senang.Jika Alya mengabaikannya, Rizki akan makin marah dan terus berbicara padanya sambil menggertakkan gigi.Setelah merenung, Alya menganggukkan kepalanya."Ikut."Barulah raut wajah Rizki sedikit membaik.Setelah sarapan, mereka berdua pergi bersama. Tadinya Alya mengira dirinya akan naik mobil sendiri, tetapi saat dia berbalik, dia melihat Rizki menurunkan jendela mobil dan menatapnya dengan dingin."Naiklah."Mengingat pesta yang harus mereka hadiri, Alya pun tidak menolak.Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara. Sesampainya di perusahaan, mereka pun pergi ke tempat kerja masing-masing.Alya baru saja duduk ketika dia menerima pesan teks dari Citra."Bagaimana kabarmu? Dengan ditundanya operasi Nenek Wulan, apakah urusan kalian juga diu
Suara itu tiba-tiba keluar dari ponselnya. Ketika Alya ingin mematikan suaranya, dia sudah terlambat.Saat dia mengambil ponselnya, pesan suara itu sudah otomatis terputar.Alya terdiam.Apa yang terjadi? Dia kira setelah Citra selesai bekerja, Citra akan kembali dan curhat mengenai bosnya yang menyebalkan. Siapa sangka, ternyata sahabatnya membicarakan masalahnya sendiri.Alya teringat sesuatu, seketika raut wajahnya berubah. Dia segera berdiri dan membuka pintu.Di luar pintu kosong, tidak ada orang yang terlihat.Dia pun menghela napas lega.Dia meminta Tiara untuk sekalian menutup pintu saat keluar, seharusnya gadis itu tidak akan berlama-lama di sini, seharusnya Tiara tidak mendengar pesan suara barusan.Namun, Alya masih belum sepenuhnya tenang. Setelah berjalan beberapa langkah dan memastikan tidak ada orang di sana, barulah dia kembali.Kemudian, dia menghapus pesan suara dari Citra dan memarahi sahabatnya habis-habisan.Melihatnya marah, Citra segera berlutut dan mengatakan be
Karena sumbernya dari Rizki sendiri.Barusan dia terlalu terkejut, sehingga dia tidak terpikirkan hal ini.Melihat Lutfi tidak berbicara, Tiara bertanya dengan suara kecil, "Bagaimana? Bukankah menurutmu ini semacam pengkhianatan?"Tidak ada yang bisa Lutfi katakan.Jika memosisikan dirinya sebagai Alya, Lutfi dapat memahaminya dan bahkan ikut merasa geram untuk Alya."Kamu diam saja, apa artinya kamu setuju? Kalau begitu ...." Tiara berbisik, "Kejadian hari ini kita rahasiakan saja dulu."Mendengar ini, Lutfi mengangguk setuju."Aku mengerti, sejak awal nggak seharusnya kita membicarakan hal ini.""Bagus, kita anggap kita nggak mendengar apa pun. Sekarang Bu Alya sudah cukup kasihan, kita jangan menyusahkannya lagi.""Tapi ...." Lutfi mengerutkan kening. "Aku nggak terlalu mengerti. Kenapa Bu Alya nggak beri tahu saja Pak Rizki? Kalau diberi tahu, mungkin Pak Rizki nggak akan berhubungan dengan Hana, 'kan?""Ck." Tiara mencibir, "Sekarang sudah zaman apa? Kamu masih saja membicarakan
"Bajingan!""Apa katamu?" Rizki menyipitkan matanya dengan tidak senang, auranya tiba-tiba menjadi makin seram.Nada bicara yang sedingin es itu pun menyadarkan Lutfi kembali.Sial, bukankah dia hanya sedang mengutuk di dalam hati? Bagaimana bisa dia mengatakannya?Lutfi kehabisan kata-kata untuk dirinya sendiri.Akan tetapi, dengan mengandalkan pengalamannya di tempat kerja, dia segera membuat sebuah alasan."Maafkan aku Pak Rizki, aku bukan membicarakanmu. Hanya saja kemarin malam, aku menemani ibuku menonton sinetron yang melodramatis. Pemeran utama prianya adalah seorang bajingan!"Benar, penjelasan ini bagus juga.Sinetron melodramatis?Rizki mengerutkan kening dan menatapnya dengan tidak senang. "Kamu memikirkan hal semacam itu di waktu kerja?"Ck, memangnya kenapa kalau dia memikirkan hal itu? Bukankah Rizki juga mendua dengan wanita lain di waktu kerja? Hahaha!Tentu saja Lutfi tidak bisa mengatakan hal ini."Bukan begitu, Pak Rizki. Dalam perjalanan ke sini aku tiba-tiba terpi
Lutfi keluar dari dalam kantor dengan beberapa map di tangannya, wajahnya terlihat pucat.Dia menunduk dan melihat dokumen-dokumen di tangannya yang harus dia selesaikan dalam 3 hari. Semua ini karena dia telah menyindir seseorang.Huh, kalau tahu akan begini, dia lebih baik menahan dirinya.Namun, saat memikirkan Alya yang tidak berani mengungkapkan kehamilannya karena hubungan Rizki dan Hana yang tidak jelas, juga bagaimana wanita itu hanya dapat menelan kegetirannya seorang diri, Lutfi pun merasakan amarah yang bergejolak di hatinya.Berapa banyak penderitaan yang harus dirasakan Alya?Jadi, Lutfi pun sudah memutuskan, meskipun mulai sekarang Rizki akan menekannya seperti ini, dia tetap akan mengatai bosnya itu bajingan!...Alya sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di sisi lain, dia sedang sibuk melanjutkan pekerjaannya.Hanya saja walaupun dia belum lama bekerja, dia sudah mengantuk. Dia terus menguap di depan layar komputer.Ketika Tiara membawakannya air, gadis itu kebe
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang