"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."
Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg.Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan."Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu.Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati."Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang terlalu cepat."Aku masih terdiam. Ingin sekali agar hujan cepat reda. Supaya tidak terlalu lama berduaan dengan makhluk aneh ini."Aku sangat menyesal sudah memperlakukanmu seperti itu, Pus." Mas Aldi berucap getir."Itu keputusanmu yang paling tepat, Pus.""Enggak, Pus, itu jahat. Aku udah jahatin kamu."Aku menghela napas kasar. Dia bilang begitu karena melihat penampilanku sudah berubah. Padahal, jika seandainya sekarang aku masih bersamanya, aku tidak akan berevolusi menjadi seperti ini. Tetap gendut dan dia cuekkin."Nggak pa-pa, aku ikhlas kok, Mas."Aku memundurkan langkah, karena angin menerpa air hujan hingga mengenai gamis yang aku kenakan."Bagaimana caranya aku menebus kesalahanku, Pus?"Melihatmu menderita sudah cukup, Mas, jawabku dalam hati."Aku sudah menjadi suami yang gagal, Pus. Suami yang tidak mampu membahagiakanmu."Aku langsung menyela ucapan mas Aldi. "Mas, kita adalah dua bahagia yang dicari oleh perpisahan, kita diburu kesedihan, kita disesakkan oleh kenyataan. Tidak ada yang perlu disesali, karena semuanya sudah takdir.""Pertemuan kita adalah kutukan, kalimat sapamu adalah kesalahan, dan kita berdua tidak pantas lagi untuk disandingkan," lanjutku lagi dengan nada bergetar."Maafin aku, Pus."Lagi-lagi dia mengucapkan itu. Rasanya aku sudah bosan mendengarnya.Bayar hutang-hutangmu sana. Daripada sok merasa bersalahAku mendengkus, karena hujan tak kunjung reda. Suasana semakin canggung. Cukup lama kami terdiam.Baguslah, aku sudah muak dengan kata-katanya. Dipikir aku tidak tahu apa dengan kelakuan bejatnya yang sering bawa perempuan ke hotel. Udah begitu pengen menikahi Pita lagi, dengan memanfaatkan utang-utang Fano.Aku tersentak kaget saat mas Aldi tiba-tiba menutupi tubuhku yang menggigil kedinginan dengan jaket sweaternya. Langsung terasa desiran-desiran hangat pada aliran darah.Pinter sekali dia bikin orang baper. Orang cantik maksudnya. Kalau nggak cantik pasti dia nggak mau deketin.***Sesampainya di rumah, aku langsung membuang sweater mas Aldi ke tong sampah yang ada di depan rumah Pita.Padahal baru saja reda, tapi hujan kembali datang walaupun tidak sederas tadi. Aku buru-buru memasukkan motor ke dalam rumah.Pintu kamar Pita langsung terbuka. Perempuan itu keluar sambil mengusap-usap perutnya yang mulai membesar. "Kehujanan ya, Mbak."Aku terdiam menatap tangan Pita yang mengusap-usap perut. Pedih sekali melihat adikku hamil tanpa didampingi oleh seorang suami."Mbak Puspa?" Pita membangunkanku dari lamunan."Eh, iya, Pit. Tadi sempet berteduh kok.""Aku buatin teh hangat ya Mbak.""Hmm, nggak usah, Pit, kamu istirahat aja. Aku bisa buat sendiri.""Nggak pa-pa kok, Mbak.""Pita ...," tegurku lembut.Perempuan itu menurut. Kemudian menghela napas."Kamu mau Mbak buatin?"Pita menggeleng. "Enggak, Mbak."Aku pergi menuju ke dapur. Menyalakan kompor. Memasak air panas. Meracik secangkir teh hangat favorit. Kemudian menuju ke kamar untuk berganti baju sembari menunggu air yang kumasak mendidih.Setelah itu aku kembali ke ruang tengah sambil membawa secangkir teh hangat. Pita masih di sana, duduk di sofa dengan wajah muram.Aku duduk di sebelahnya. "Kenapa, Pit?"Pita hanya menggeleng seperti anak kecil."Kangen sama Reno?"Pita nenatap ke arahku dengan tatapan sendu. "Ngapain kangen, Mbak?""Hmm, kirain." Aku menyeruput teh panas yang masih hangat. Mungkin, Reno belum berani mengatakan kalau dia ingin menikahi Pita. Atau entahlah. Lagian tidak mungkin juga Reno belum mengatakannya kepada Pita. Reno kan orangnga kayak gitu. Mereka juga terlihat sangat dekat akhir-akhir ini.Ah, dadaku mendadak sesak mengingat itu."Pit.""Hmm, apa Mbak?""Aku tadi ketemu sama mas Aldi.""Di mana?""Pas berteduh di depan ruko." Aku menggerai rambut panjang yang mulai gatal. Karena tidak mandi. Mau mandi dingin. "Dia jadi perhatian banget. Kayak menyesal gitu udah cerai sama, Mbak. Atau mungkin dia menyesal karena mbak sekarang udah nggak kayak dulu."Pita terdiam."Menurut kamu gimana, Pit?""Gimana apanya, Mbak?""Perlakuan mas Aldi?""Cuekin ajalah, Mbak. Laki-laki kayak gitu patut diberi pelajaran. Pas mbak kayak gitu nggak mau nemenin, giliran udah cantik langsung deketin."***Aku sudah mengenakan gamis berwarna biru muda dengan hijab yang melilit wajah dan leher. Walaupun tidak langsing, setidaknya tubuhku terlihat ideal dan tidak terlalu gendut.Seperti biasa, aku akan berangkat kerja ke kafe. Jam setengah 9. Kulihat ada mobil Pajero Sport bertengger di halaman rumah. Mobil milik Reno. Entah sejak kapan dia datang. Terdengar suara pria itu yang mengobrol dengan Pita."Mau berangkat, Pus?" tanyanya.Aku mengangguk. Semenjak dia menciumku waktu itu. Kami berdua menjadi sedikit canggung.Reno juga tidak setengil dahulu. Ia lebih cenderung menjaga ucapan daripada bicara blak-blakan ngalor-ngidul tidak jelas.Aku duduk di sebelah Pita. Ingin menemani Reno sebentar.Pandangan kami sempat bertabrakan beberapa detik. Menciptakan debaran-debaran aneh di dalam dada.Buru-buru kualihkan pandangan ke arah lain. Sebelum tenggelam ke dalam sorot mata teduh itu."Mbak, Kak Reno mau nganterin aku cek kehamilan di klinik."Segala rasa keindahan yang tergambar musnah seketika setelah mendengar kata-kata itu. Aku cemburu. Pada adikku sendiri.Kujawab dengan anggukan samar. Dengan hati yang setengah patah. Serta, lidah yang terasa kelu untuk berucap.Dear Reno,Dirimu adalah laki-laki misterius yang datang dengan sejuta pertanyaan.Kemudian memberi jawaban dari segala luka yang telah aku rasakan.Entah sejak kapan kamu menancapkan perasaan ini kepadaku.Perasaan menyebalkan, yang terlahir dari sifatmu yang menjengkelkan.Bagai sebuah kepompong yang terbungkus daun pisang.Lalu, diberikan-Nya dunia untuk bermetamorfosa.Kepompong menjinjikkan itu kini sudah berubah menjadi kupu-kupu.Berkat tak-tik jitumu.Reno.Dirimu seperti penyihir, yang menyihir seseorang dengan kesakitan, tapi membuat orang itu sadar.Bahwa ....Dirimu adalah pahlawan yang sesungguhnya."Aku ganti baju dulu, Mbak." Pita menepuk pahaku, kemudian beranjak dari duduk.Aku sedikit tersentak. "Ah, iya, buruan."Reno menatapku sambil mengernyitkan dahi setelah kepergian Pita. "Rumah ini kelihatan suram. Ngeri, kayak di film-film horor."Biasanya aku akan kesal jika mendengar cibirannya. Sekarang justru sebaliknya, aku sangat rindu dengan suara itu."Nggak ada malaikat yang menjaga rumah ini." Reno mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Hmm, pasti kalian nggak pernah sholat," sindirnya.Aku menelan ludah dengan susah payah."Mengerikan. Malaikat aja kayaknya nggak mau masuk ke rumah ini. Apalagi jagain. Pantes lo sama Pita kelihatan sedih terus." Reno berani berkata panjang lebar ketika tidak ada Pita. Kalau ada Pita dia sok jaim."Lo sekarang udah cantik. Dan lo nggak tahu ujiannya orang cantik kayak gimana."Jerawat di wajahku memang sudah hilang. Tapi jiwaku tetaplah jiwa insecure, yang penuh trauma akan masa lalu. Aku masih merasa gendut dan berjerawat. Meskipun nyatanya sudah tidak lagi."Ujiannya orang yang cantik itu adalah serangan pria. Mirip kayak serangan setan. Dari kiri, kanan, belakang, sampai depan."Ya, benar.Akhir-akhir ini banyak sekali pria yang mendekatiku, termasuk mas Aldi. Sayangnya, bukan Reno, pria yang kusukai yang mendekat."Mereka akan melakukan apapun untuk menaklukan hatimu. Terpaksa menggunakan cara setan seperti pelet dan semacamnya."Aku bergindik ngeri. "Kamu nggak usah nakut-nakutin."Reno terkekeh. "Lo nggak punya benteng apa-apa buat menghindari hal itu.""Emang bentengnya apa?""Solatlah, banyak-banyakin dzikir. Baca surah-surah pendek. Selain sebuah kewajiban, itu semua sebenarnya adalah amalan-amalan tolak balak. InsyaAllah bakal dilindungi sama Allah."Aku terdiam mencerna setiap ucapan yang dikatakan Reno. Aku pernah mendengar berita teman-teman lekakiku di sekolah dulu yang sering berburu jimat ke orang-orang pintar. Jimat pengikat, jimat berkharisma, bahkan sampai jimat kebal. Mungkin, orang dewasa yang tidak berpegang teguh pada agama akan mencari barang ajaib yang lebih ekstrime lagi. Demi memuaskan hasrat mereka. Apalagi guna-guna dan pelet, pasti akan menjadi senjata terhebat mereka. Pasti ada orang yang melakukan hal-hal semacam itu."Makanya belajar sholat. Ikut-ikut pengajian atau gimana, kek.""Orang kerjanya nggak ada liburnya.""Alasan doang lo, kalau libur juga nggak pengajian. Seneng banget makai alasan sibuk hanya karena malas mengaji. Padahal kita itu dianjurkan untuk mencari ilmu sampai mati.""Iya, iya, nanti aku belajar sholat." Aku mengerucutkan bibir. "Kok, kamu bisa berubah religi banget, sih?"Belum sempat Reno menjawab, Pita sudah keluar dari kamarnya. Memakai baju muslimah yang membuatnya semakin terlihat anggun.Kulirik ke arah Reno yang tampak terkesima melihat Pita."Ngobrolin apa, sih, kok seru amat." Pita tersenyum. "Ayo kak berangkat.""Ayo." Reno dengan antusias berdiri dari duduknya. "Gue berangkat dulu Pus."Pita yang melangkah keluar, kehilangan keseimbangan. Kakinya keseleo. Perempuan itu hampir saja jatuh jika tidak segera ditangkap oleh Reno. Seperti adegan pada film India."Hati-hati, dong," ucap Reno lembut. Kemudian memapah Pita memasuki mobil. Mirip seperti sepasang suami-istri.Dadaku langsung terasa sesak melihat kemesraan mereka berdua. Aku beranjak dari duduk, mengamati mereka berdua."Reno, aku cuman pengen ngingetin kalau kalian bukan mahram!" teriakku di ambang pintu teras. "Katanya kamu paham sama agama."Reno yang baru saja membantu Pita memasuki mobil hanya nyengir kuda.Mampus! Ketahuan sekalian sana, kalau alimnya cuma settingan. Aku jadi curiga dengan Pita, kalau dia cuma caper. Ah, aku jadi gampang curiga.Setelah mobil mereka menghilang dari pelataran rumah. Aku langsung bersiap-siap berangkat bekerja. Mengeluarkan motor, kemudian mengunci pintu rumah.Tin ... Tin ....Sebuah mobil kijang Innova masuk ke pelataran rumah. Aku hafal betul dengan mobil itu.Turun seorang pria mengenakan kemeja, yang aku tebak sekarang adalah seorang pengangguran dengan senyum manisnya."Pus, aku anterin, ya."Aku menghela napas. Muak melihat wajah mas Aldi yang sok manis."Aku berangkat sendiri aja, Mas.""Udah nggak pa-pa, nanti pulangnya aku jemput lagi.""Udah terlanjur ngeluarin motor.""Dimasukkin lagi aja."Aku menggeleng."Ayolah, Pus.""Nggak usah repot-repot, Mas. Kenapa mas ke sini, sih, bukannya jam segini waktunya laki-laki kerja.""Aku ke sini mau ngambil jaket, sekalian pengen nganterin kamu. Ayolah Pus, bareng aja, motornya dimasukkin lagi ke rumah. Irit bensin."Aku menelan ludah dengan susah payah. Dia mau ngambil jaket?Aku melirik ke arah tong sampah di depan rumah. Ada jaket mas Aldi di sana.Mampus!Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.
Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men
"Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa