Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita.
Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas.Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah."Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku."Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu."Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini!Aku mencoba mengatur ritme detak jantung yang berdetak seperti genderang perang. Aku tidak boleh baper! Pokoknya tidak boleh baper!"Nanti malam kalau pulang, aku jemput. Kirim pesan WA saja." Mas Aldi memberikan ponselnya. "Catat nomer WA-mu di sini."Rasanya seperti orang baru PDKT lagi. Maklum, setelah perceraian itu nomor WA-nya langsung aku blokir.Aku ragu-ragu untuk menyimpan kontak nomorku ke ponsel mas Aldi.Lagipula untuk apa? Bisa-bisa dia akan semakin gencar mendekatiku. Kalau tahu nomor WA-ku yang baru.Aku takut takluk dengan perlakuannya yang manis. Seumur-umur aku jarang sekali dibaperi oleh laki-laki, bahkan dulu ketika menikah dengan mas Aldi aku tidak pernah diperlakukan manis. Jadi, jangan salahkan aku jika sekarang pertahanan ini runtuh.Kebencian besar terhadap mantan suamiku terkalahkan oleh keromantisan yang jarang sekali aku dapatkan. Bagaimana? Ketika seorang yang kamu benci menyuguhkan sebuah sensasi kesenangan yang belum pernah kamu dapatkan dalam hidup. Sebuah hal yang selama ini kamu damba-dambakan direalisasikan oleh orang yang kamu benci.Semoga kalian tidak menyebutku bodoh, karena kelemahanku.Jarang sekali aku dimodusi oleh cowok. Meski yang melakukannya adalah laki-laki bajingan seperti mas Aldi."Apakah kamu sudah terbebas dari rasa kesepian?"Aku melirik ke arahnya sekilas, kemudian kembali menatap ke depan. Sekujur tubuh ini masih terasa kaku. "Kesepian?""Ya, aku tahu kamu selama ini kesepian. Bahkan aku sudah menyadarinya saat kamu masih menjadi istriku.""Entahlah, sepertinya rasa sakit hati dan kesepian ini sudah menjadi teman sehari-hari. Jadi, tidak perlu ditanyakan apakah masih dirasakan atau belum. Karena mereka sudah melekat dalam hidup.""Sama, aku juga. Aku juga kesepian semenjak menceraikanmu. Tidak ada orang yang biasa dilihat saat tidur di kamar."Aku mengepalkan tangan. Kesepian mbahmu! Dipikir aku nggak tahu apa, kalau kamu sering jalan sama cewek seksi. Bahkan, mungkin kamu sudah sering menjalankan aktivitas bejatmu itu ketika kita masih tinggal satu rumah."Aku sering mengamati tidurmu, Pus. Dulu saat kamu terlelap." Mas Aldi tersenyum.Bulshit! Menyentuhku saja dia tidak sudi, apalagi melihat. Ngobrol denganku saja dia jijik."Aku sekarang rindu, dan kesepian."Cangkul mana cangkul!Ada cangkul nggak?!Ambilin wey!Mulutmu yang manis itu benar-benar minta diledakkin pakai bom atom.***Aku menggoreng kentang sambil melamun. Menjengkelkan sekali rasanya. Mendengar perkataan mas Aldi di mobil tadi membuatku dongkol setengah mati. Rupanya selama ini dia tidak pernah merasa bersalah sedikitpun. Atas perlakuannya kepadaku.Sevelyn di sebelahku sedang memblender jus jeruk. Sementara Cindy masih mondar-mandir mengantar makanan, dan mendatangi pelanggan yang baru masuk untuk dilayani."Puspa, kayaknya Ben sekarang suka sama lo.""Apa iya?" Aku meniriskan kentang goreng itu, dan meletakkannya di atas mangkuk cantik yang sudah diberi semangkuk kecil saos tomat."Seriusan. Dia sering ngomongin lo pas lo nggak ada."Aku melirik ke arah lekaki gondrong dengan tatto kalajengking di leher itu di mini bar. Melayani pelanggan yang memesan kopi unggulan."Ngomongin aku tentang apa?""Katanya lo sekarang cantik banget. Dia bilang suka ngayal jadi suami lo." Sevelyn terkikik sembari menuangkan jus jeruk itu ke dalam gelas kaca.Cindy masuk ke dapur sambil membawa nampan. "Udah siap kentang goreng sama jus jeruknya?"Sevelyn memindahkan kentang goreng buatanku dan jus jeruknya ke nampan yang dibawa Cindy.Aku kemudian duduk di kursi. Setelah Cindy pergi. Diam-diam mengamati Ben yang sibuk meracik kopi untuk pelanggan di mini bar yang tepat berada di depan ruang dapur. Hanya dibatasi oleh Etalase. Si barista itu begitu lihai meracik kopi.Benarkah dia juga naksir sama aku? Memang aku sekarang cantik banget, ya? Sampai-sampai cowok bertatto sekelas Ben yang dulu suka membullyku itu jatuh cinta kepadaku.Tiba-tiba sebuah ide terlintas dibenakku. Ben bisa dijadikan alat untuk menghindarkan aku dari kejaran mas Aldi.Nanti malam sebelum mas Aldi datang menjemput. Aku akan meminta Ben untuk mengantarkanku pulang.Sebuah senyuman merekah di bibirku.Cindy kembali datang ke dapur. Aku dan Sevelyn langsung sigap untuk membuatkan menu yang dipesan. "Bos Reno datang, dia minta dibuatkan roti bakar sama jus alpukat dua.""Topping coklat, keju, stroberi, apa ice cream?" tanyaku."Bos Reno sukanya coklat. Dua ya, Pus." Cindy kembali ke depan untuk melayani pelanggan yang baru datang.Aku mulai membakar beberapa roti tawar menggunakan teflon yang sudah diolesi dengan margarin. Teringat dengan ucapan Cindy tadi bahwa Reno memesan dua porsi.Dua porsi?Jangan-jangan?Reno datang bersama Pita.Setelah pulang check Up ke dokter kandungan?Entah kenapa hatiku mendadak ngilu mengingat hal itu. Harusnya, semua biasa-biasa saja. Harusnya aku senang melihat adik kandungku memiliki kedekatan spesial dengan bosku sendiri. Harusnya aku bahagia karena adikku yang diterpa badai cobaan bisa bahagia dengan lelaki tampan yang kaya raya.Tapi kenapa perasaan suka ini malah membuatku tersiksa? Kenapa aku harus mencintai Reno? Padahal aku ingin hidup tenang. Ah, menyebalkan sekali. Cinta memang suka sekali membuat seseorang tersiksa.Setelah selesai, aku mencoba mengintip Reno yang duduk di meja paling pojok. Benar sekali. Dia bersama Pita. Sedang bersanda gurau seolah dunia milik berdua. Tanpa sadar sedang menyakiti perasaan seseorang yang mengamati dari kejauhan. Yaitu aku.Dadaku mendadak sesak. Reno, kalau bukan tanpa bantuanmu, aku tidak akan berubah menjadi secantik ini."Pus, bos Reno minta lo yang nganterin makanannya." Cindy melongok dibalik pintu."Kenapa aku?" tanyaku bingung."Udah anterin aja. Daripada kena marah sama si boss."Aku merapatkan bibir, terpaksa mengantarkan makanan kepada mereka.Reno tersenyum saat melihatku datang. Begitu pula dengan Pita yang tampak semringah."Pus, ikut ngobrol-ngobrol sini dulu. Kami mau ngasih tahu kabar bahagia," ucap Reno sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Mengisyaratkan agar aku ikut duduk. Aku dan Reno duduk berhadapan denga Pita yang tersenyum ke arahku."Mbak, tadi waktu di USG anakku laki-laki." Pita memamerkan deretan gigi putihnya."Wah." Aku ikut bahagia mendengarnya. "Calon keponakanku laki-laki."Reno ternyata sudah memesan secangkir cappucino kepada Ben. Pria tampan berhidung mancung itu menyesap kopinya dengan nikmat. Kemudian menoleh ke arah Pita. "Dimakan roti bakarnya."Pita mengangguk-angguk sambil tersenyum. Belum sempat dia meraih roti bakarnya. Reno sudah menyodorkan sepotong roti ke mulut Pita.Pita tampak terkejut. Dengan sedikit ragu dia membuka mulutnya menerima suapan dari Reno."Roti bakar dengan topping coklat. Enak, kan?" tanya Reno.Pita mengangguk-angguk lucu sambil mengunyah makanannya.Reno kembali menyuapi Pita dengan penuh perhatian. Kulihat jari-jari Reno sedikit masuk ke mulut Pita. Bahkan sampai menyentuh lidah perempuan itu. Ah, manis sekali kelihatannya. Membuat hatiku terasa teriris-iris pisau tajam. Aku benar-benar cemburu."Ihh, sengaja banget, sih. Coklatnya nempel di pipiku," teriak Pita manja."Apa gih, orang nggak sengaja." Reno terkekeh, kemudian membersihkan coklat yang menempel di pipi Pita.Api cemburu ini semakin membakar hatiku. Aku tidak sanggup melihat kemesraan mereka berdua. Kemudian memutuskan kembali ke dapur membantu Sevelyn yang kerepotan membuat pesanan.Rupanya mereka berdua bukan berniat memberikan kabar baik soal hasil USG. Tetapi memamerkan kemesraan.****"Ben anterin aku pulang, ya, aku nggak mau dijemput mantan suamiku," ucapku saat sedang bersih-bersih setelah kafe ditutup.Ben yang sedang mengelapi alat-alatnya langsung menoleh ke arahku. "Lo lagi dideketin lagi sama mantan suami lo?""Mungkin.""Kenapa lo malah menjauh?" Si barista itu mengikat rambut panjangnya."Aku nggak mau lagi sama dia.""Kenapa?""Nggak pa-pa, aku sudah tahu semua tabiat buruknya.""Lo trauma?""Ish ... Ben, kok tanya mulu, sih?" Aku mendengkus, sambil menghentakkan pengki yang kupegang.Ben terkekeh. "Iya sayang, nanti kuanterin."Aku mengerucutkan bibir karena dipanggil sayang. Tapi ah sudahlah, yang penting dia mau membantuku.Sevelyn sudah pulang naik ojek, Melin baru saja dijemput kakaknya, sementara Cindy sudah dari tadi dijemput sang pacar.Tinggal aku dan Ben yang piket bersih-bersih hari ini. Setelah mengunci pintu dan memberikannya kepada satpam yang berjaga. Kami berdua langsung buru-buru mengeluarkan motor matic modif milik Ben di parkiran."Ayo cepetan, Ben." Aku khawatir mas Aldi keburu datang.Ben terkekeh. Mengenakan helm kemudian menyerahkan satu helm kepadaku."Cepet, Ben!" Aku menepuk-nepuk pria gondrong yang memakai jaket jeans telur bebek itu dengan resah. Takut mas Aldi keburu datang."Iya, sabar dong sayang. Hotel jam segini belum tutup.""Ishh!" Aku menghentakkan kaki."Kita mau main berapa ronde emang?""Mesum!" Aku menggetok helmnya. "Buruan, ah!""Dasar nggak sabaran!"Jantungku berdetak kencang seperti baru saja melihat setan yang mengerikan. Kala melihat sorot lampu mobil milik mas Aldi muncul dari ujung jalan raya. Kami sudah berada di depan gerbang kafe. Ben buru-buru menyalakan motornya. Aku pun langsung naik.Sial!Motor maticnya tidak mau menyala."Montor gue mogok, Pus. Anjir!" Ben mendengkus sambil menggebrak-gebrak dashboard motornya.Kulirik mobil mas Aldi yang mulai mendekat. Aku menelan ludah dengan susah payah."Buruan Ben!""Ah, nggak mau nyala."Ben turun dari motor. Aku langsung menghentikkan Ben saat pria itu hendak menstandar motornya. "Dorong dulu, Ben! Itu mobil mas Aldi udah deket."Ben dengan tergopoh-gopoh langsung mendorongnya menjauh dari kafe. Mencari tempat aman untuk membenarkan motor.Ben tampak kelelahan, karena saat mendorong motor, aku masih naik di atasnya."Lo ikut turun sih, Pus. Berat tahu!""Iya-iya." Aku langsung ikut turun kemudian membantu Ben mendorong motornya dengan tergesa-gesa.Sandal jepitku sampai putus sebelah, aku buru-buru menenteng sendal itu sambil berlari mengekori Ben yang mendorong motornya.Sayang banget kalau sendalnya dibuang, masih bisa dilem untuk dipakai lagi.Di belakang kami, suara mobil mas Aldi mulai terdengar semakin dekat. Apakah dia mengejar kami? Semoga dia berhenti di depan kafe dulu dan bertanya kepada pak satpam. Sehingga kami punya waktu untuk kabur.Tapi sepertinya mobil itu mengikuti kami.Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat!Berarti dia sudah sangat dekat dengan kami. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami.Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.
Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men
"Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa