Share

Part 15

Author: Nurudin Fereira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.

Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi.

Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus."

"Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.

"Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum.

Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall.

"Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi.

"Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai.

"Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir.

Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tahu kelakuan aslimu, Mas.

Pelayan datang menyodorkan kertas berisi menu makanan.

"Udang goreng saus tiram, Mbak," ucap mas Aldi, "Kamu mau apa, Pus?"

"Aku nasi goreng seafood aja."

"Minumnya mocktail rainbow, ya," tambah mas Aldi.

Pelayan itu mengangguk sambil mencatat menu makanan yang kami pesan.

"Kamu sekarang emangnya kerja apa, Mas?" tanyaku penasaran.

"Aku kembali kerja di perusahaan yang dulu, Pus."

"Owh." Aku mengangguk. Merasa ada yang janggal karena aku tahu bahwa gaji di perusahaan mas Aldi tidak sebesar harga kalung yang dia belikan padaku perbulannya.

Seorang pelayan datang sambil membawa makanan yang kami pesan. Aku dan mas Aldi kemudian melahap makanan tersebut, tanpa mengeluarkan suara.

"Hmm, aku boleh tanya nggak, Mas?" Aku menyeruput mocktail hingga habis setengah.

Entah, kenapa aku jadi seberani ini berinteraksi dengan orang. Lagi-lagi karena jasa-jasa dari Reno yang membuatku terbiasa bergaul dengan orang-orang keren di kafenya. Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Berat badanku turun, dan percaya diriku naik.

"Mau tanya apa, Pus?"

"Kamu memang suka ya, sama Pita?"

Mas Aldi tersedak makanannya. Pria itu buru-buru meneguk mocktail-nya. Aku mengerutkan dahi.

"Kenapa, Mas?"

Mas Aldi memegangi dadanya. "Kenapa kamu tanya begitu, Pus?"

"Hmm, pengen tahu aja," jawabku sambil mengelapi mulutku dengan tissue.

"Hubunganku dengan dia tak lebih dari hubungan kakak dengan adik iparnya."

Bulshit! Kupikir dia akan berkata jujur. Awalnya aku juga ingin menyelidiki bagaimana Fano bisa memiliki hutang kepadanya. Namun, kupikir mas Aldi tidak akan berkata jujur. Jadi, percuma saja kalau hal itu dibahas.

"Ayo pulang, Mas."

"Tunggu, Pus," sergah mas Aldi, pria itu langsung menunduk ketika aku menoleh ke arahnya. Ingin mengatakan sesuatu tapi malu.

"Apa, Mas?"

Mas Aldi menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Tampak ragu-ragu untuk mengucapkan.

"Maafin kesalahan-kesalahanku yang dulu, Pus." Ada jeda sejenak.

Aku terdiam.

"Maukah kamu kembali padaku?"

Aku menatapnya nanar, menghembuskan napas berat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Ingin marah-marah tapi tidak tega. Ingin menolaknya mentah-mentah tapi masih ragu untuk berucap.

"Pus?"

Aku kembali menoleh ke arah mas Aldi dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak bisa jawab sekarang, Mas."

Aku merutuki diriku sendiri yang selemah ini. Padahal masih memendam kebencian, atas perilakuannya di masa lalu. Tapi, hati kecil ini terus membisikkan kata kembali.

***

'Gimana jawabannya, Pus.'

Satu pesan baru saja masuk. Dari mas Aldi. Aku hanya meread pesan tersebut. Kemudian menghempaskannya ke meja.

Semoga dirimu merasakan sakit yang selama ini aku rasakan, Mas.

Aku sekarang sedang berada di kafe. Tumben sekali hari ini pelanggan sedikit sepi.

Gelagat teman-teman kerjaku juga sedikit aneh. Tak sedikitpun mereka menoleh atau bahkan bertanya sesuatu kepadaku.

Apa gara-gara aku meninggalkan Ben kemarin?

Aku hanya memanyunkan bibir sambil menopang dagu di meja bar yang ada di sebelah Sevelyn yang sibuk bermain dengan ponselnya.

Melin dan Cindy tampak berbincang-bincang di kasir. Sementara Ben duduk di depan teras untuk merokok.

Jenuh. Membosankan.

Tak lama kemudian kami langsung mendongak ketika melihat seorang pria berjas rapi masuk ke dalam kafe. Bersama dengan Ben yang mengekor dari belakang.

"Tumben hari ini sepi?"

"Iya, Pak, tadi hanya beberapa anak kampus yang datang ke sini numpang diskusi," jawab Melin di meja kasir.

"Mungkin kalah saing sama kafe Lestari yang sekarang baru di renovasi menjadi lebih wah buat ditongkrongi. Pembukaannya mereka ngundang artis." Cindy ikut menjawab.

"Owh begitu. Mungkin, besok pasti pelanggan-pelanggan kita pada balik. Mereka cuma pengen nonton artis aja itu." Reno mengangguk. Sambil menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Sorot matanya beralih ke arahku. Langsung terasa debar-debaran aneh di dalam sini.

Wajahku berubah sendu saat pria tampan itu menaikkan sebelah alis. Seperti terkena percikkan air dari perasaan aneh bernama rindu.

Setelah pindah dari rumah Reno, kami berdua memang jarang berinteraksi. Aku rindu dengan suara tawanya, dan cengiran yang sering muncul di sudut bibirnya.

Hatiku langsung menghangat saat Reno tersenyum. "Pumpung sepi bantuin saya, ya, Pus."

"Bantuin apa, Pak?" tanyaku kikuk.

"Udah ayo." Reno berbalik badan kemudian melenggang pergi dari kafe. Aku menoleh ke arah Sevelyn sekilas. Kemudian mengekori Reno dari belakang.

Kami berdua begitu canggung. Tentu saja, karena dia adalah calon suami Pita dan aku hanya sekedar kakak iparnya.

Ada rasa tidak iklash. Kalau tidak bersama Reno, aku sama siapa?

Kami berdua masih terdiam dalam keheningan. Reno sepertinya juga tidak tertarik membuka suara.

Beberapa menit kemudian, aku mengekori Reno memasuki sebuah mall. Aku yang memakai baju terusan dengan hijab kuning buluk bekas lap Ingus merasa tidak PD ketika melangkah bersama pria berwibawa seperti Reno.

Reno melirik ke arahku sekilas. Menyadari ketidak nyamananku. "Laki-laki akan semakin terlihat sukses dunia-akhirat kalau di sebelahnya ada seorang perempuan memakai baju muslimah."

Aku terperangah. Sedikit baper. Ah, indahnya jika posisiku sekarang adalah istrinya.

"Jangan GR, bukan lo yang gue maksud, tapi Pita."

Aku mengerucutkan bibir. Kok dia bisa baca pikiranku, sih?

"Eh, kalau lo jadi istri gue juga boleh, sih, gue mau kok."

Wajah ini berubah memerah. Reno benar-benar seperti roller coaster yang kata-katanya selalu berhasil memacu adrenalinku. Menyebalkan, tapi bikin ...

Kangen.

"Kita mau ke mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak boleh baper. Karena akan semakin menyakitkan jika terus berharap.

"Kepo lo kayak Dora." Reno terkekeh.

Tuh kan, ingin sekali kugetok kepalanya dengan palu karena geregetan.

"Kamu monyetnya," cibirku sedikit pelan.

"Monyet yang ngangenin, ya."

"Apaan, sih." Aku tersipu malu.

"Ciee baper."

"Ishh, Reno!" Aku mencubit lengannya karena malu sedang berada di keramaian.

Rupanya Reno mengajakku ke toko perhiasan. Dadaku mendadak sesak, setelah sadar bahwa aku ternyata cuma dimintai tolong untuk memilihkan perhiasan untuk Pita. Bukankah begitu?

"Kira-kira yang bagus untuk Pita cincin yang mana?" Reno menunjuk tiga cincin yang ada di dalam counter.

Cincin yang pertama adalah Bergenia. Bergenia adalah cincin emas putih dengan satu berlian yang ada di tengah desain bunga mawar.

Berat cincin ini sekitar 1,3 gram dan murni terbuat dari emas putih 0,19 karat. Harganya mulai dari Rp 14 juta. Kira-kira begitu penjelasan dari penjaga toko.

Kemudian, cincin yang kedua namanya Berlian YAWM. Ini bisa jadi cincin tunangan couple. Desain cincin laki-laki dan perempuannya sama persis, hanya berbeda di beratnya saja.

Untuk cincin laki-laki beratnya 4,8 gram dengan kadar 0,098 karat. Sedangkan untuk cincin perempuan beratnya 4,56 gram dengan kadar 0,096 karat.

Supaya lebih berkesan, pemesan bisa ukir nama masing-masing pasangan di bagian dalam cincin.

Terakhir, cincin Deep Blue Sapphire Butterfly. Cincin tunangan ini cukup unik dan imut. Hiasan cincin di bagian tengahnya adalah berlian dengan bingkai kupu-kupu.

Berlian biru yang membentuk kupu-kupu menjadi sentral dari cincin tunangan ini.

Ada 16 batu sapphire kecil di dalamnya dengan kadar masing-masing 0,15 karat, sedangkan empat berlian di dalamnya memiliki kadar 0,025 karat.

Aku terpukau mendengarnya. Benar-benar beruntung adikku sebentar lagi akan mendapatkan salah satu dari cincin ini.

"Gimana, Pus, bagusan yang mana buat Pita? Yang sekiranya dia sangat menyukainya."

Aku masih terdiam. Bingung memilih satu di antara ketiga cincin indah itu.

"Aku takut dia tidak menyukai cincinya." Reno tampak lesu.

Ada rasa ngilu di dalam sini. Entah apa namanya. Aku menghela napas panjang. Kemudian dengan tangan gemetar menunjuk cincin Deep Blue Sapphire Butterfly yang terlihat paling imut di antara yang lain. Aku yakin pasti Pita menyukainya.

"Thanks." Reno tersenyum, kemudian melakukan transaksi pembayaran.

Aku menarik napas, sambil memejamkan mata. Mencoba menepis kepedihan yang ada di dalam dada.

Setelah melakukan transaksi pembayaran, Reno mengajakku pergi.

"Sekarang tinggal beliin lo."

"Belian apa?"

"Perhiasan lah, itung-itung hadiah buat lo karena udah bantu gue."

"Eh, enggak usah!" sergahku.

"Udah nggak pa-pa, gue bakalan marah kalau lo nggak menerimanya."

Kami berhenti di counter penjual jam tangan. Di depannya ada berbagai macam bentuk gelang seharga 5 ribuan. Sial! Reno mengambil satu, kemudian menyerahkannya kepadaku. Sialan!

"Nih, hadiah buat lo."

Aku hanya melongo seperti orang bodoh ketika memegang gelang tali hitam yang biasa digunakan anak laki-laki yang masih SMP.

Reno tertawa. "Makan dulu, yuk!"

Aku mengerucutkan bibir sambil mengekor di belakangnya. Kami berdua masuk ke dalam McDonald. Memesan dua porsi Chicken Muffin dan dua gelas Raspberry McFloat Blass.

Reno mengeluarkan kotak cincin yang ia beli tadi, kemudian membukanya di depanku. Indah sekali. Mungkin, Reno masih ingin berlama-lama memandanginya sebelum berpindah ke jari Pita.

"Pus."

"Ha?" Aku langsung merasa kikuk saat Reno memanggilku.

"You will marry me?" ucapnya dengan tatapan penuh keseriusan.

Deg.

Aku menelan ludah dengan susah payah, dengan tubuh yang terasa kaku.

"Puspa, you will marry me?" Reno mengulurkan kotak cincinnya yang sudah terbuka semakin dekat.

Aku dibuat susah bernapas karenanya. "Pi ... Pita?"

"You will marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita.

Haduh, gimana, ya?

Jantungku rasanya sudah ingin loncat.

Bersambung...

Gimana nih komentar kalian tentang Reno hihihi

Related chapters

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 16

    "Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 17

    Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 18

    Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 19

    Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 20

    "Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

Latest chapter

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28 B

    "Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28

    Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 27

    "Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 26

    "Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 25

    Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 24

    Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

DMCA.com Protection Status