Share

Part 16

Author: Nurudin Fereira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita.

Haduh, gimana, ya?

Jantungku rasanya sudah ingin loncat.

"Pus."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?"

"Ngeprank gimana maksudnya?"

"Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda.

Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku.

Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!"

"Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan.

"Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius.

Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya.

"Aku serius, Pus."

Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?"

"Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?"

"Kamu yang bilang sendiri akan menikah dengan Pita. Kalian berdua juga kelihatan mesra."

"Itu semua aku lakukan hanya untuk membuatmu cemburu. Aku dan Pita sudah berkerjasama."

"Bo ... bohong."

Reno menghela napas kasar. "Pus, bahkan aku tidak peduli siapa dirimu. Mau gendut, jelek, jerawatan kalau itu Puspa aku tetap bakalan cinta. Bahkan sejak dari zaman sekolah dulu. Ketika kamu dibully teman-teman satu kelas aku satu-satunya orang yang cuma diam karena mengagumi ketegaranmu."

Aku merapatkan bibir.

"Pita mau membantu membuatmu cemburu karena Pita ingin balas budi sama aku." Reno melepaskan genggamannya di tanganku.

"Kamu jangan mempermainkanku Reno."

"Aku tidak main-main."

Aku meringis. "Lagipula Pita lebih membutuhkanmu. Dia sedang hamil, anak dalam kandungannya pasti sangat membutuhkan sosok seorang ayah."

"Aku bisa saja menikahi Pita, tapi hatimu?" Ekspresi Reno berubah memelas. "Mana mungkin aku melakukan itu. Aku bisa mempermainkanmu dengan kata-kataku, tapi aku tidak mungkin menyakiti hatimu, Pus. Karena di dalam hatimu itu ada aku."

Deg.

Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Coba bayangkan perjuanganku selama ini. Menunggumu yang sudah jadi milik Aldi. Sampai kalian cerai, kemudian menolongmu yang ingin bunuh diri. Aku juga mati-matian membuat berat badanmu turun. Mengatur banyak strategi agar kamu stress, terbiasa jalan kaki, nafsu makan menurun. Semua itu aku lakukan agar kamu lebih percaya diri, Pus. Aku cinta sama kamu. Kurang apa cintaku?"

Aku cuma terdiam dengan tatapan nanar.

"Okelah emang aku kayak gini, sering ceplas-ceplos. Itu hobi dan kebiasaan. Tapi, aku berharap kamu selalu bisa merasakan ketulusanku. Bukan lewat kata-kata, tapi lewat hati,  Pus." Reno menunjuk dadaku.

Hati kecilku mengatakan ingin percaya, tapi ada rasa lain yang menyangkal bahwa apa yang dikatakan Reno hanya bercanda.

Aku bingung. Dilema. Resah.

"Jadi, gimana Pus, kamu mau nerima aku apa enggak?"

Aku menahan napas cukup lama. Bimbang akan menjawab. Walaupun pada akhirnya aku menggeleng pelan karena demi kebahagiaan ..., "Pita lebih cocok untukmu Ren."

"Sorry, aku nggak bisa. Pita lebih membutuhkanmu daripada aku."

Reno membeku beberapa saat. Menghela napas. Kemudian memijat-mijat keningnya. Dia tampak kecewa.

"Jadi itu jawabanmu?" tanyanya.

Aku mengangguk samar. Merasa menyesal sudah mengatakan itu. Dengan artian lain jika Reno jujur, berati aku sudah melukai diriku sendiri.

"Baik, kalau itu maumu." Reno beranjak dari duduk. "Aku pastikan kamu akan menyesal Puspa," ucapnya kemudian melenggang pergi dari hadapanku.

***

Jam 11 malam, aku baru pulang dari bekerja. Di antar oleh Ben.

"Thanks, ya, Ben."

"Sip." Ben mengacungkan jempolnya. "Gue duluan, ya."

Aku mengangguk. "Hati-hati."

Ben melajukan motornya meninggalkan pelataran rumah.

Menghela napas. Sambil memegangi dadaku yang terasa resah. Aku masih bertanya-tanya apakah yang diucapkan Reno tadi benar-benar serius? Mungkinkah, dia benar-benar mencintaiku?

Sungguh, laki-laki itu sangat sulit dimengerti.

Aku melangkah memasuki rumah. Menatap sepatu pantopel yang teronggok di depan teras. Punya siapa?

Buru-buru membuka pintu, lalu terdengar suara aneh dari kamar Pita.

Suara menjijikan.

Di dalam kamar?

Apa?

Aku langsung menggedor-gedor pintu kamar Pita. "Pit! Pita!!" teriakku khawatir.

"Kamu lagi ngapain?"

Suara aneh itu berhenti. Aku mendadak was-was. Ketika pintu terbuka, muncul Reno keluar dari sana dengan rambut berantakan.

Mataku langsung membulat. "Kalian kenapa di dalam?"

Reno menatapku datar. "Bukan urusan lo!"

"Hey, kalian berdua ngapain!"

Pita juga muncul di belakang Reno dengan wajah gugup. Reno menghela napas, merapikan baju, kemudian berlalu meninggalkanku. "Ganggu aja lo. Gue mau pulang dulu, Pit."

Aku masih menganga lebar. "Kalian berdua sudah gila!"

Reno tak menggubris. Keluar dari rumahku kemudian menutup pintu. Tanpa merasa bersalah.

Aku kembali menoleh ke arah Pita dengan tubuh membeku di ambang pintu. "Mbak nggak habis pikir sama kamu, Pit."

"Nggak habis pikir gimana, Mbak?"

Sesak sekali rasanya. "Kalian berdua ngapain?"

"Kak Reno cuma mau benerin jendela kamarku yang tidak bisa ditutup."

"Halah, kenapa harus dikunci kamarnya?"

"Ngg ...."

"Ingat, ya, Pit. Kalian belum sah. Jangan aneh-aneh lah. Dosa Pit, kalau berzinah."

"Mbak Puspa kok gitu, sih, pikirannya selalu negatif."

"Kalian mencurigakan!" Aku masuk ke dalam kamar Pita. Tidak ada yang aneh. Hanya ada palu dan paku bekas membenarkan jendela.

"Mbak Puspa kenapa sih suka nuduh-nuduh sembarangan."

Aku hanya terdiam, keluar dari kamar Pita kemudian menuju ke kamarku.

Membenamkan wajah pada bantal kemudian menangis terisak-isak. Kupikir mereka baru saja melakukan hal yang tidak-tidak, padahal hanya membenarkan jendela.

Lalu, kenapa hatiku merasa sakit hahya dengan mengingat hal itu. Padahal itu hanya kecurigaan semata. Bagaimana jadinya jika mereka nanti jadi menikah. Akan sehancur apa perasaanku?

Padahal Reno tadi memilihku. Dan aku yang menginginkan mereka bersama, tapi kenapa aku merasakan sakit?

Apa ini adalah pembalasanmu Reno?

Kalau memang benar. Kamu sudah berhasil membuatku menyesal.

***

Keesokan harinya, saat aku pulang jam 11 malam seperti biasa. Pita justru tidak ada di kamar. Entah ke mana dia sekarang.

Aku memasukkan motor bebek Pita ke dalam rumah. Kemudian membuat teh hangat.

Pita tidak mengangkat teleponnya saat di telpon. Ke mana sih itu anak?

Apa dia ngambek karena terus aku desak supaya mengaku telah melakukan hal yang tidak-tidak bersama Reno?

Nginep di mana? Apa di rumah Reno?

Aku mondar-mandir resah memikirkan Pita. Sudah malam, dan aku tidak tahu dia di mana?

Memutuskan menelpon, bukannya diangkat malah langsung dimatikan. Aku mendengkus, melemparkan ponsel itu ke sofa.

Hingga jam 1 malam, Pita tetap tidak pulang-pulang.

Dengan setengah menahan kantuk aku menunggu Pita di teras, setelah lelah mengelilingi komplek yang pintu rumahnya sudah tutup semua.

Jam 2 dini hari. Mataku mulai terasa berat untuk dibuka. Hingga akhirnya aku terjaga ketika mendengar deru mesin mobil memasuki pelataran rumah.

Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari?

Rasa kantukku langsung hilang.

Bersambung...

Related chapters

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 17

    Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 18

    Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 19

    Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 20

    "Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 24

    Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk

Latest chapter

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28 B

    "Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28

    Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 27

    "Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 26

    "Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 25

    Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 24

    Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

DMCA.com Protection Status