Part 19

Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris.

"Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"

Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.

Satu langkah...

Dua langkah...

Tiga langkah...

Dan...

Plakkk!!!

Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!"

Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.

Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku.

"Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku.

"Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata.

"Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu."

"Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."

Mas Aldi menghimpit tubuhku ke tembok. "Puspa, kita bisa mulai lagi dari awal!" bentak mas Aldi terpancing emosi.

Aku hanya menangis sesegukan.

"Maafin kesalahan-kesalahanku yang dulu, Pus. Aku mohon ...," Mas Aldi menangkup kedua pipiku.

"Dan satu lagi, kita tidak sedang melakukan dosa!" Mas Aldi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat lalu meneguk ludahnya dengan susah payah.

Aku menatap nanar ke arahnya. "Rasa cintaku sama kamu udah pudar semenjak Reno datang ke kehidupanku. Sekarang kamu nggak bakalan bisa gantiin posisi dia, Mas."

Tangan mas Aldi mulai gemetar mendengar ucapan yang terlontar dari bibirku. Pandangannya tiba-tiba memburam. Mas Aldi memundurkan langkahnya sempoyongan.

"Jadi, please, Mas. Jangan ganggu aku lagi!" Aku menyeka air matanya kemudian berlari menghampiri motorku yang ada di parkiran

Mas Aldi masih tertunduk lesu dengan tatapan kosong. Mungkin, dia merasa malu.

Aku menangis sesenggukan di jalan.

Yang aku inginkan hanya Reno.

Hanya Reno seorang.

Tidak ada yang lain.

Besok aku harus pergi ke bandara untuk mengatakan sesuatu kepadanya.

***

Setiap detik, setiap menit, setiap jam aku berpikir keras. Tentang apa yang diinginkan hati ini. Sehebat apapun aku menyangkal, jawabannya pun masih tetap sama.

Reno yang aku inginkan. .

Reno yang aku mau.

Reno yang aku butuhkan.

Pita baru saja selesai mencuci baju. Perempuan yang perutnya sudah mulai buncit itu sepertinya mengerti kegelisahanku.

Dia menjatuhkan bokongnya ke sofa di sebelahku. Aku hanya menatapnya dengan wajah sendu.

Pita menghela napas. "Nggak mungkin ...."

"Kita akan bahagia, kalau kita mencintai seseorang atau sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah dan Rasulnya. Itu nggak mungkin."

Tenggorokanku langsung tersekat ketika mendengar ucapan Pita.

"Terlalu mencintai manusia itu nggak baik. Ujung-ujungnya kita pasti nyuekin Tuhan."

"Ibaratnya Tuhan lagi ngechatt kita, tapi nggak pernah di read, dicuekin terus dicuekin lagi. Kita malah sibuk chattan sama makhluk-Nya,  yang padahal tidak pernah bisa mengerti perasaan kita. Padahal Tuhan ngechatt kita setiap hari, setiap saat, setiap waktu. Perhatian banget sama kita sampai setiap gerak-gerik kita di awasin terus, tapi kita nggak pernah peduli."

Aku tertegun.

"Dan, ketika kita diterpa badai masalah. Ketika kita dilukai oleh harapan. Ketika kita kesulitan mendapatkan apa yang kita inginkan."

"Tuhan mungkin lagi rindu sama kita."

"Tuhan mungkin rindu, Mbak, ngliat kita berdo'a nangis-nangis meminta sesuatu. Tuhan mungkin rindu ...." Pita meneguk ludahnya dengan susah payah. Kata-katanya tertahan di kerongkongan. "Kalau Tuhan aja kangen sama kita. Kita kangen nggak, sih, sama Tuhan?"

Air mataku meleleh mendengar ucapan Pita yang menyentuh.

"Anak kecil aja juga tahu, Mbak, kalau mbak Puspa cinta sama kak Reno. Mbak Puspa aja bisa mencintai kak Reno sedahsyat itu, tapi kenapa sama Allah tidak?"

Aku memejamkan mata, menahan bulir-bulir bening yang terus menetes.

"Cintai kak Reno karena Allah Mbak. Kalau kita selalu melibatkan Allah dalam setiap urusan, semuanya pasti jadi gampang."

Aku benar-benar takjub dengan Pita. Adikku yang malang itu sekarang berubah menjadi sosok yang religius. Tentu saja itu semua berkat Reno.

"Allah lah yang maha membolak-balikkan hati. Mungkin kak Reno sudah salah langkah, karena membuat mbak Puspa cemburu. Sehingga mbak menolak kak Reno. Tapi aku saksinya, Mbak, kalau kak Reno benar-benar cinta sama Mbak." Ada jeda sejenak. Pita mengambil napas.

"Kak Reno mencintai mbak karena Allah. Walaupun tak terbalaskan. Setidaknya kak Reno sudah sangat luar biasa mencintai Mbak karena Allah. Tanpa berharap memiliki, tanpa berharap dicintai kembali. Melihat mbak bahagia saja sudah cukup."

"Kak Reno bangga dengan dirinya sendiri yang bisa membuat mbak Puspa menjadi cantik."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Lalu sekarang aku harus bagaimana, Pit?"

"Kejar dia, Mbak, kalau mbak suka sama kak Reno. Kalau mbak malu buat ngungkapin, doakan."

"Reno bilang kalau aku berubah pikiran. Aku disuruh datang ke bandara jam 2 siang."

"Cepetan susul dia, Mbak."

"Tapi, Pit?"

"Nggak pa-pa, Mbak."

"Hmmm ...."

"Sebelum mbak menyesal."

"Aku hubungi Ben dulu buat nganterin aku ke bandara."

"Iya, Mbak, semoga lancar."

Aku beranjak dari duduk, hendak menuju ke kamar berganti baju.

"Mbak Puspa," panggil Pita membuat langkahku terhenti. "Jangan lupa bilang ke kak Reno. Aku mencintaimu karena Allah."

***

Aku memutuskan menelpon Ben, meminta tolong agar dia mengantarku ke bandara. Dia bersedia. Meminta izin kepada anak-anak di kafe untuk pulang duluan.

Masih jam 12 siang, daripada ke bandara Ben langsung mengajakku ke rumah Reno. Mungkin Reno sedang siap-siap berangkat.

Di dalam rumah jauh lebih nyaman untuk membicarakan hal serius, daripada di keramaian seperti di bandara.

Ben menghentikan motornya di depan gerbang rumah Reno. Ada pak satpam yang baru saja membuka gerbang.

"Pak Renonya ada, Pak?" tanya Ben.

"Kayaknya dari kemarin belum pulang," jawab beliau.

"Lah, katanya hari ini mau balik ke Jakarta?" tanya Ben lagi.

"Iya, jadwalnya sih gitu, tapi dari kemarin malem belum pulang."

Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Apa sudah berangkat ke Jakarta, ya?"

"Kayaknya nggak mungkin. Barang-barangnya masih di sini."

Aku merasa khawatir.

"Ada yang nggak beres ini pasti." Pria berambut gondrong itu terlihat resah. "Ah, perasaan gue nggak enak. Ayo, Pus!"

Ben kembali menaikki motornya. Memberi isyarat agar aku agar ikut naik. Kemudian motor matic-nya melenggang pergi dari rumah Reno.

"Ben, sebenarnya Reno kerja apa, sih?" tanyaku sedikit tertelan oleh angin, karena Ben melajukan motornya sedikit kencang.

"Emangnya lo belum tahu bos Reno kerja apa?"

"Belum." Aku menggeleng.

"Dia itu anggota intelijen. Lo jangan bilang siapa-siapa. Nggak ada orang yang boleh tahu. Soalnya bahaya, kerjanya aja selalu dalam bahaya."

Aku terperangah kaget. "Benarkah?"

Ben mengangguk. "Lo tau kan maksud gue? Kalau bos Reno nggak ada kabar berarti dia sedang ada dalam bahaya saat menjalankan misi."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Perasaan ini mendadak tidak enak.

Ya Rabb,

Tolong lindungilah Reno dari segala marabahaya dan malapetaka. Lancarkanlah segala urusan-urusanya.

Aku mencintainya karena Engkau Ya Allah.

Ben sudah sampai di depan kafe. Pria itu langsung berlari menghampiri Melin yang ada di kasir. Aku mengikutinya dari belakang.

"Mel, bos Reno ngasih kabar ke lo nggak?" Ben menyangga kedua tangannya di meja kasir.

Melin yang sedang sibuk bermain ponsel langsung mendongak. "Nggak tuh, udah dua hari ini bos Reno nggak ngechatt gue."

Ben mendengkus sambil mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya ke meja. "Lo telepon ibunya dong, boss Reno udah sampai Jakarta apa belum."

Melin menurut, perempuan cantik yang rambutnya dikuncir ekor kuda itu langsung menelpon ibu Reno di Jakarta.

Aku dan Ben mengamati dengan wajah harap-harap cemas.

Melin mulai berbicara dengan ibu Reno di seberang sana. Gadis itu memang orang kepercayaan Reno sejak pertama merintis kafe ini. .

"Apa, Bu?!"

Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi.

Duh, Reno kamu kenapa?

Bersambung....