"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat.
Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu.Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat.Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering."Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal.Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya."Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu."Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu."Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon."Pus, tolong ngertiin profesi aku."Aku terdiam beberapa saat, kemudian menghela napas. Dengan berat hati aku akhirnya mengangguk."Thanks, Pus." Reno menghela napas lega. Kemudian buru-buru memakai jaket dan celana panjang.Pria itu sangat tergesa-gesa ingin pergi."Sabar, ya, aku cuma sebentar, kok," pamit Reno sebelum menutup pintu kamar.Aku hanya bisa memanyunkan bibir saat Reno sudah menghilang dari pintu. Sayang sekali. Padahal aku sudah deg-degan bercampur penasaran. Seperti apa sih, rasanya malam pertama.Brakkk!!Aku terkejut saat Reno kembali masuk sambil membuka pintu dengan kasar. "Ada yang kelupaan."Buru-buru aku beranjak dari tidur. "Apa, Ren?"Reno tampak kebingungan. "Apa, ya, aku lupa? Pokoknya kayak ada yang ketinggalan."Pria itu berkacak pinggung. Kemudian memijat-mijat keningnya, pusing.Aku berdiri. Ikut berpikir, kira-kira apa yang ketinggalan. "Dompet, bukan?""Hmmm, bukan," jawab Reno sambil termenung. "Ah, iya!""Apa?"Reno tersenyum, kemudian mendekat ke arahku. "Aku lupa.""Belum dicium.""Ishh!" Aku mendengkus. Kirain apa.Reno mendekatkan pipinya."Beneran, ini yang kelupaan?""Cepet, gih."Aku menghela napas, kemudian mencium pipinya lembut."Yang sebelah kiri." Kemudian Reno menyodorkan pipi sebelah kiri."Makasih." Reno tersenyum, kemudian mencium keningku. Lalu berlari keluar dari kamar lagi.Hufft! Orang itu. Pandai sekali bikin orang jantungan.Beberapa detik kemudian aku senyum-senyum sendiri. Mengingat perlakuan manis Reno.Aku melangkah membuka gorden jendela. Mengintip Reno yang tergesa-gesa mengeluarkan motor besarnya. Kemudian melenggang pergi keluar dari rumah.Dia lama nggak, ya? Kalau lama aku tidak akan tidur. Lagipula aku juga belum mengantuk. Memang sudah berniat untuk lembur.Aku memutuskan ke dapur, untuk mengambil minum. Kudapati Pita di sana sedang duduk di depan dapur cantik sambil melahap makanan. Perempuan itu memang datang ke Jakarta menghadiri acara resepsi pernikahan bersama pakde dan bude. Perutnya semakin hari semakin terlihat membesar."Makan, Pit?""Ah, iya Mbak, tiba-tiba laper banget." Pita kembali melahap makanannya."Hati-hati lo, Pit. Ini rumah orang, jangan sembarangan nyelonong.""Iya, Mbak, tadi aku dianterin pembantu ke sininya.""Owh, begitu.""Mbak kenapa belum tidur?""Aku haus, Pit," ucapku sambil menuangkan air putih dari galon ke dalam gelas, kemudian meneguknya hingga tandas."Udah ngrasain Mbak, malam pertamanya?" goda Pita menaik-turunkan alisnya.Aku tersipu malu. "Apaan sih, kamu Pit. Kepo banget deh.""Ya, kan, penasaran.""Hmm, Renonya aja lagi keluar ada panggilan?""Seriusan, Mbak?"Aku manggut-manggut. "Iya. Tau deh, ke mana.""Ya nggak pa-pa, tugas negara. Tugas yang mulia. Di doain Mbak, suaminya biar dilindungi sama Allah. Pekerjaan kak Reno kan selalu berurusan dengan para kriminal.""Iya, Pit." Aku mengangguk, kemudian duduk di sebelah Pita."Besok, aku sama pakde bude mau langsung pulang, Mbak.""Lho, kok buru-buru amat?""Pakde ada banyak kerjaan soalnya.""Nggak jalan-jalan dulu?""Kapan-kapan aja deh, Mbak."Aku menghembuskan napas panjang. "Apa nggak sebaiknya kamu tinggal di sini aja, Pit?""Enggak lah, Mbak, orang di sini rame.""Daripada di rumah sendirian.""Nggak papa, gih, Mbak. Pita berani, kok."Aku menatap adik kesayanganku itu dengan tatapan iba. Kasihan dia, harus hidup sendiri di saat sedang mengandung."Nanti Mbak, minta Reno buat pindah rumah gimana? Biar kamu bisa tinggal di situ?""Ah, nggak usah, Mbak. Nggak enak juga. Nanti Pita ganggu mbak Puspa sama Kak Reno.""Nggak pa-pa lagi, Pit. Kamu kan, adek Mbak."Pita menggigit bibir bawahnya. "Enggak, deh, Mbak. Pita di rumah aja. Nanti sekalian mau cari kerjaan.""Pit, nggak usah kerja, kamu kan sedang hamil. Nanti mbak kirimin uang aja," larangku, walau aku tidak tahu dapat uang darimana. Aku benar-benar kasihan dengan Pita."Ish, Mbak, udahlah, nggak usah khawatirin aku. Aku bisa jaga diri baik-baik, kok.""Pita.""Mbak jangan terlalu mikirin aku, nanti jadi beban. Santuy aja, bahagia kan pengantin baru. Harus dinikmati."Mataku mulai berkaca-kaca. "Semoga dedek bayinya sehat selalu, ya, Pit.""Aamiin, Mbak, doain." Pita tersenyum kemudian kembali melahap makanannya."Mbak, tidur, gih, udah malam.""Iya, Pit, bentar lagi."Sebenarnya aku ingin menunda tidur sembari menunggu Reno pulang. Ingin ngobrol-ngobrol dengan Pita. Namun, aku sadar kalau Pita juga butuh istirahat. Apalagi besok dia mau pulang.Akhirnya aku pamit kembali ke kamar kepada Pita. "Mbak, ke kamar dulu, ya, Pit.""Iya, Mbak." Pita mengangguk.Aku melangkah menuju kamar. Sudah jam 12 malam, biasanya itu adalah waktu di mana orang-orang pulang beraktivitas. Reno pasti sebentar lagi pulang.Aku masih melamun, menanti kehadirannya. Walaupun kantuk ini mulai menyerang. Coba ditahan.Aku tidak ingin Reno kecewa di malam pertama karena ketiduran.Mataku terasa berat, beberapa kali aku terpejam. Namun, kubuka lagi dengan paksa sambil menggeleng-gelengkan kepala.Susah sekali. Akhirnya aku kalah dan tenggelam ke dalam dunia mimpi.***"Pus, Puspa."Suara lembut itu membangunkanku dari tidur.Reno membelai pipiku. Pria itu tersenyum saat aku membuka mata."Kamu udah pulang?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata."Hmm, maafin aku ya, udah bangunin kamu. Habis penasaran. Kan ini malam pertama kita.""Kamu pulangnya lama banget." Aku melirik jam dinding. "Tuh kan, udah jam 3.""Ayo ibadah.""Aku udah terlanjur ngantuk, Ren. Besok aja.""Pus, masak nolak sih.""Kamu pulang kemalaman, aku bener-bener ngantuk." Aku berbalik badan, memunggunginya.Namun, Reno menarik punggungku."Ayolah, Pus.""Ren, gimana ya, aku benar-benar ngantuk.""Santailah, kamu kan di bawah.""Ih, apaan sih." Geli rasanya ketika Reno mengucapkan itu."Ayo, Pus."Huft!! Akhirnya aku mengiyakan ucapan Reno."Mulai, ya, Bismillah." Reno mulai mendekatkan wajahnya, hendak menciumku dulu. Jantungku berdetak tak menentu.Namun, terhenti. "Ya ampun, aku kebelet BAB." Reno mendengkus, kemudian buru-buru masuk ke kamar mandi.Aku menepuk jidat. Orang itu kok aneh-aneh, sih?Aku mencoba mengontrol diri agar tetap terjaga. Tapi Reno lama sekali di dalam kamar mandi. Aduh, kesel deh lama-lama.Sampai beberapa menit kemudian pria itu keluar dari kamar mandi. "Mules banget."Aku mengerucutkan bibir. "Jadi, nggak?""Ayo." Kembali menaikki ranjang. Membuka kaos oblongnya hingga menampakkan perutnya yang sixpack. Ada enam kotak-kotak di perutnya.Aku merasakan hal yang aneh, tapi menyenangkan. Gairah. Aku benar-benar terbuai oleh ketampanan Reno.Aku ingin tenggelam pada lautan asmara bersamanya. Reno mendekat, sejengkal demi sejengkal.Dan..."Allahuakbar, allahuakbar."Terdengar bunyi adzan subuh.Kok, udah adzan subuh, sih?"Reno memejamkan mata sambil menggertakkan gigi, menahan napsu. "Subuh, Pus, solat dulu, yuk.""Solatnya nanti. Ini kita ayo, kapan? Nggak jadi-jadi, ish." Aku mendesis."Solat dulu, lah, biar seger sekalian. Nanti kalau ini dulu apa itu namanya. Hmm, mau solat harus mandi wajib dulu, masih dingin jam segini.""Sekalian ini, sekalian mandi wajib bareng.""Ha? Mandi bareng?" Reno membulatkan mata.Aku langsung menutup mulut. Keceplosan. Maaf-maaf."Enggak, lupain.""Gimana, sih? Jadi, kamu pengen mandi bareng?""Tau ah, terserah kamu, aku ngikut." Aku mendesis sebal."Yaudah solat dulu, aja." Reno menghela napas. "Biar agak tenang, kalau dah solat.""Iya-iya.""Ayo.""Hmm, gendong," pintaku manja.Reno menghela napas. "Yaudah sini."Pria itu menyerahkan punggungnya. Aku langsung melompat ke punggungnya. Biarin, aku kerjain sekalian.Reno menghantakkan tubuhku, membenarkan letak gendongan. Kemudiahan melangkah menuju kamar mandi. Untuk berwudhu.Setelah selesai berwudhu, kemudian kami melaksanakan solat subuh. Dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan wirid dan doa.Setelah doa aku melihat Reno menunduk. Khusuk sekali doanya. Aku tidak ingin menganggu.Aku akhirnya ikut berdoa, dalam hati. Meminta kepada Allah yang indah-indah. Pernikahan ini langgeng. Punya anak yang lucu-lucu. Penuh kasih sayang. Dan selalu bahagia selamanya. Tak lupa aku juga mendoakan Pita.Sampai aku selesai berdoa. Reno tetap duduk menunduk.Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Reno!"Dia terdiam.Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya agak kencang."Eh, ada apa, Pus?" Reno gelagapan dan langsung menoleh ke belakang. Matanya tampak sayu dan berat.Aku memutar bola mata malas. Rupanya dia tertidur.Reno mengusap-usap wajah. "Ah, aku ngantuk banget.""Yah," lirihku dengan nada kecewa. "Nggak jadi, dong?""Sorry, Pus. Aku ngantuk banget." Reno naik ke atas ranjang sambil membaringkan tubuh. Dengan sarung dan baju kokonya. Dia terlihat benar-benar kelelahan. Kopiahnya saja belum sempat di lepas."Ish, Reno!" dengusku kesal sambil melipat sajadah. Ada aja gangguannya.***Sarapan pagi kali ini cukup berwarna. Tidak hanya diisi oleh suara ketukan sendok yang beradu dengan piring. Namun, juga diisi suara obrolan seru dari mama-papa Reno dan pakde budeku. Pita juga asyik mengobrol dengan Olivia dan Rani.Nanti siang mereka akan kembali pulang ke Lampung. Ibu dan bapak mertuaku menyayangkan hal itu. Mereka belum jalan-jalan. Tapi mau bagaimana. Pekerjaan pakde tidak bisa ditinggalkan lama-lama.Reno berbisik ke arahku. "Pus, nanti pas tidur siang, yuk!""Apaan?""Yang tadi malam, belum jadi.""Telat, aku baru aja datang bulan. Lampu merah jadi nggak bisa.""Bangsat!" desis Reno pelan."Astaghfirullah, cangkemu!" Aku mencubit lengannya."Hayo, ngapain bisik-bisik!" selidik seluruh orang yang ada di meja makan penuh curiga.Hargai penulis dengan follow I*******m nurudin_fereira ☺️"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
KEBANGKITAN PASCA BERCERAI"Kenapa kamu menalakku, Mas?""Maaf, Pus, aku tidak kuat punya istri gendut dan jelek sepertimu." Mas Aldi menunduk, merasa bersalah. Namun, tetap saja. Kata-katanya terdengar begitu menyakitkan di telingaku. "Pulanglah, Pus, aku sudah bukan suamimu."Aku hanya bisa menitikan air mata. Walaupun di hati rasanya masih cinta. Tujuh bulan kami menikah, tapi mas Aldi tak pernah sedikitpun mau menyentuhku. Jangankan bermesraan, berbicara berdua saja hanya seperlunya. Sekarang, aku sudah tahu jawabannya. Kenapa mas Aldi tidak sudi menyentuhku. Kami memang menikah dari hasil perjodohan. Karena ibu mas Aldi tidak mampu membayar hutang, dan almarhumah ibuku juga sedang sakit-sakitan, akhirnya kami terpaksa dijodohkan. Untuk memenuruti permintaan almarhumah ibu, melihat anaknya menikah, juga untuk membayar hutang-hutang ibu mas Aldi yang belum sempat terbayar. Awalnya mas Aldi mengira bahwa yang akan menikah dengan dirinya adalah adik perempuanku yang bernama Pita
KEBANGKITAN PASCA BERCERAI#Si_Gendut_Berjerawat_Yang_Ingin_Bunuh_Diri"Jangan pernah nganggep gue sebagai tokoh penyelamat kayak di sinetron-sinetron ikan terbang, ya, Ndut."Ucap Reno yang sedang fokus mengemudikan mobilnya. "Siapa juga yang mikir kayak gitu." Aku mengerucutkan bibir. Aku baru saja menceritakan semua kejadian tragis yang telah aku alami kepada Reno. "Kali aja, lo berpikiran kayak gitu." "Enggak lah, lagian kenapa, sih, kamu nglarang aku bunuh diri?" Aku mendengkus sebal. "Gue cuma sayang banget sama itu lo.""Apa?" pekikku sebal. "Lemaknya." Reno terkekeh. "Daripada mubazir, kan. Lebih baik lo disembelih bareng-bareng aja di masjid. Warga satu kampung pasti kebagian semua makan daging lo.""Kamu pikir aku sapi yang mau dikorbanin!" Aku bergindik-gindik sebal. Menghentak-hentakkan kaki sangking geregetannya. Ada orang frustasi malah diledekkin. "Heh, jangan kenceng-kenceng!" tegur Reno sambil meringis. "Mobil gue jebol nanti, ini masih kredit.""Yaudah, turun
"Kamu itu kalau ngomong gimana, sih? Plin-plan banget."Reno hanya menahan tawa. Aku menghela napas lega melihat tawanya. Berarti dia cuma bercanda kalau selingkuh sama Pita. Hanya saja yang membuatku kesal adalah kami tidak jadi berhenti di salon kecantikan. "Udah, nggak usah punya niatan bunuh diri. Lo kerja aja di cafe gue, pumpung lagi butuh karyawan. Ntar bonusnya, gue ajak lo ke salon kecantikan rutin setiap weekend, kalau kerja lo bagus tapi."Aku terdiam. Reno menoleh ke arahku sambil menyeringai lebar. "Gue yakin, kalau jerawat lo hilang, mantan suami lo itu bakalan menyesal. Semua orang yang udah ngehina lo pasti bakalan gigit jari."Aku menatap Reno lamat-lamat. Bingung mengartikan apa motifnya menolongku. Karena kasihan, kah? Karena cinta dengan Pita, adikku? Karena butuh karyawan? Atau karena tertarik denganku? Ah, motif seseorang yang menolong kita itu memang tidak perlu diartikan niatnya, yang penting kita tetap harus mengucapkan terimakasih. "Ini rumahku, kamu bo
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Ma ... Mas Aldi? Sama Pita?"Mas Aldi selingkuh sama Pita? Aku langsung melangkah menghampiri mereka berdua dengan wajah geram. "Jadi begini kelakuanmu di belakang, Mbak, Pit?!"Pita dan mas Aldi langsung menoleh secara serempak dengan wajah kaget. "Mbak Puspa kenapa ada di sini?" tanya Pita shock."Parah kamu, Pit. Mbak nggak habis pikir dengan kalakuan kamu selama ini."Sevelyn dan mas Aldi menatapku dengan mulut menganga lebar. Begitu pula dengan karyawan yang lain. "Kamu ini lagi hamil, Pit. Bisa-bisanya sih jalan bareng sama dia." Aku menunjuk mas Aldi dengan tatapan benci. "Asal kamu tahu, ya, selingkuhan kamu ini b*j*ngan, aku kemarin lihat dia jalan sama perempuan lain." Tanganku mulai terkepal kuat. Ingin memberi pelajaran kepada Pita. "Mbak Puspa, maaf." Mata Pita mulai berkaca-kaca. "Kami nggak selingkuh kok.""Halah!" Aku hendak melayangkan pukulan ke arah Pita, tapi langsung dihentikan oleh mas Aldi. "Hey gendut, bisa jaga sika
"PITAAAAAA!!!""KAMU KOK KAYAK GINI, SIH?!!" teriakku kencang. Jam 12 malam. "Kayak gini gimana, sih, Mbak?"Aku menarik tangannya secara paksa, masuk ke kamar yang kemarin malam aku tiduri. "Ini beneran kamar yang biasanya kamu tiduri, kan?" Aku melotot ke arah Pita dengan rahang mengeras. Pita mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Kamu kalau kerja di sini tidur di sini, kan?" Gigiku bergemelutuk, menahan emosi. Pita melelehkan air mata. "Emang kenapa, Mbak?"Aku mengobrak-abrik isi di dalam tong sampah dengan kasar. Mencari benda menjijikan yang aku temukan kemarin malam. Kemudian memperlihatkannya kepada Pita. "Ini punya siapa, Pit?"Pita terduduk di tepi ranjang dengan wajah shock. "Kamu main ginian sama siapa, Pit, HAH? JAWAB?!" sentakku kasar. "Kamu lupa sudah punya suami?!"Pita menangis terisak-isak sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sebenci-bencinya aku sama suami kamu, aku tetap nggak pengen rumah tanggamu rusak, Pit.""Picik otakmu, Pit?! Almarhu
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa