"Kamu itu kalau ngomong gimana, sih? Plin-plan banget."
Reno hanya menahan tawa.Aku menghela napas lega melihat tawanya. Berarti dia cuma bercanda kalau selingkuh sama Pita.Hanya saja yang membuatku kesal adalah kami tidak jadi berhenti di salon kecantikan."Udah, nggak usah punya niatan bunuh diri. Lo kerja aja di cafe gue, pumpung lagi butuh karyawan. Ntar bonusnya, gue ajak lo ke salon kecantikan rutin setiap weekend, kalau kerja lo bagus tapi."Aku terdiam.Reno menoleh ke arahku sambil menyeringai lebar. "Gue yakin, kalau jerawat lo hilang, mantan suami lo itu bakalan menyesal. Semua orang yang udah ngehina lo pasti bakalan gigit jari."Aku menatap Reno lamat-lamat. Bingung mengartikan apa motifnya menolongku. Karena kasihan, kah? Karena cinta dengan Pita, adikku? Karena butuh karyawan? Atau karena tertarik denganku?Ah, motif seseorang yang menolong kita itu memang tidak perlu diartikan niatnya, yang penting kita tetap harus mengucapkan terimakasih."Ini rumahku, kamu boleh tinggal di sini, bebas. Nggak usah bayar uang sewa." Reno memasuki gerbang rumah megah yang terdapat taman kecil di depan rumah."Tapi, syaratanya kamu harus kerja di cafeku. Terus kalau pulang kerja bantu bersih-bersih, nggak pa-pa, kan?""Ini rumahmu sendiri, apa rumah orangtuamu?"Reno memarkirkan mobilnya di garasi. "Rumah gue, dong.""Kamu udah nikah?""Udah, istri gue dua. Plus selingkuhan gue si Pita.""Seriusan, sih, kalau ngomong. Bikin orang bingung aja."Reno membuka pintu mobil, kemudian turun sambil menarik tas kantornya.Kupikir dia akan membukakan pintu. Ternyata dia malah melangkah lebih dulu memasuki rumah.Sambil menghela napas aku akhirnya turun dari mobil. Tak apalah tinggal di sini. Yang penting dapat pekerjaan dan juga bonus facial di salon setiap weekend.Kali aja hidupku bisa berubah, dan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari mas Aldi."Ayo gue anterin ke kamar lo.""Mana istri kamu?" tanyaku kepo."Hmm, gue nggak punya istri," jawab Reno ketus.Gendeng nih orang. Omongannya nggak jelas banget."Katanya istrimu dua?""Iya dua, tapi lagi nyari mereka ada di mana. Belum ketemu-ketemu.""Ngomong aja kalau nggak laku." Aku mengerucutkan bibir."Emangnya lo. Karena tersakiti mau bunuh diri.""Mending udah pernah nikah, lah kamu? Cuma halu.""Nikah kalau nggak pernah disentuh percuma. Kayak gue nih, belum nikah tapi udah pernah nyentuh si Pita.""Seriusan sih kalau ngomong! Ishh! Kamu itu pernah selingkuh beneran sama Pita enggak? Ngomong mencla-mencle kayak orang gila. Pusing sendiri dengerin omongan kamu.""Yaudah, sih, santai. Nih kamar lo." Reno membuka pintu sebuah kamar yang ada di belakang."Jawab dulu, kamu pernah selingkuh sama Pita enggak?""Enggak, ah, elah, khawatir amat.""Lah, terus ngapain ngomongnya gitu terus?""Sengaja bikin lo emosi. Orang kalau emosi pasti nggak jadi bunuh diri, pengennya bunuh orang.""Iya, rasanya pengen bunuh kamu."Reno menggindikan bahu sambil tersenyum miring. "Sana masuk. Bikin makanan sendiri kalau lapar."Aku akhirnya masuk ke dalam kamar yang sedikit berantakkan dan porak poranda itu.Menghempaskan ransel ke bawah lantai, kemudian mulai merapikan seprei yang berantakkan.Aku mengernyit melihat sebuah k**ndom tergletak di sana. "Punya siapa, nih?"Aku bergindik jijik saat cairan putih menetes di benda tersebut. Dengan cepat aku membuangnya ke tong sampah. Punya siapa, ya? Jorok banget nggak dibuang.Apa punya Reno? Ah, tidak mungkin. Ini kan rumah Reno, masak dia mau main gitu-gituan di kamar pembantu.Atau jangan-jangan dia sudah punya istri, dan selingkuh di sana?Gila! Pusing sendiri mikirin kehidupan pria koplak itu yang sebenarnya.Udahlah. Mungkin ini punya pembantunya yang sebelumnya tidur di sini.***Pagi-pagi sekali aku membantu Bi Surti memasak sarapan. Kami begitu cocok berkolaborasi dalam membuat makanan, padahal baru kenal beberapa jam yang lalu. Saat beliau membangunkanku tidur.Kata bi Surti, Reno memang belum menikah. Kutanya siapa yang sebelumnya tidur di kamarku, beliau bilang tidak tahu. Karena beliau hanya ART laju, yang pulang ke rumah jika pekerjaannya sudah beres.Aneh banget, lagian kalau mau nglakuin gitu-gituan Reno nggak perlu main di kamar pembantu. Di kamarnya saja sudah bebas. Bodo amatlah.Setelah memindahkan semua menu masakan ke meja makan. Bi Surti menyuruhku makan. Ada sebagian sisa makanan yang disisakan untuk kami. Nafsu makanku masih seperti sebelumnya. Hambar, tidak berselera.Teringat dengan mas Aldi yang selalu mengabaikanku selama 7 bulan. Andai saja, aku tahu jika dia jijik denganku. Pasti aku sudah pergi dari rumah itu sejak dulu.Sedihnya hidupku. Padahal aku sebenarnya sangat mencintai mas Aldi, tetapi dia tidak pernah membalas cintaku.Reno menuju ke dapur setelah sarapan. "Dihabisin makanannya. Siapa yang mau ngabisin kalau bukan lo yang ngabisin."Aku hanya memberengut. Mentang-mentang gendut emangnya bisa ngabisin semuanya apa."Nanti sore makanannya dipanasin lagi, ya, Bi. Biar kalau malam masih bisa dimakan," ucap Reno kepada bi Surti."Iya, Den.""Owh, iya, Pus, sehabis makan kamu langsung siap-siap kerja jadi pelayan di cafeku. Nanti bakalan dianterin dua bodyguardku di luar," ucap Reno kemudian melenggang pergi dari dapur. Setelah pamit mau berangkat ke kantor dulu."Makan yang banyak, Ndut, biar nambah gendut.""Bi Surti, udah dibilangin jangan panggil aku gendut."Bi Surti terkekeh.Setelah makan, aku langsung bergegas mandi kemudian berganti baju. Siap-siap berangkat ke cafe milik Reno.Ada dua bodyguard yang menunggu di teras rumah. Mereka juga baru saja sarapan di meja makan bersama Reno. Kupikir Reno itu memang gila, karena menyuruhku dan bi Surti mamasak makanan yang banyak. Ternyata makanan itu tidak Reno makan sendiri, melainkan untuk para pembantu-pembantunya yang bekerja di rumah ini."Sudah siap?" tanya salah satu bodyguard berbadan kekar. Memakai kaos hitam ketat, dan celana jeans biru.Aku mengangguk.Mereka bedua beranjak. Kemudian memberi isyarat agar aku mengikuti mereka."Nggak naik mobil, ya?" tanyaku bingung."Enggak, cuma dekat, kok."Okelah, nggak masalah. Sekalian olahraga.Mereka berdua terus malangkah dengan tenang. Akan tetapi sudah 30 menit berlalu kami tetap belum sampai ke kafe milik Reno."Ini namanya jauh, Mas. Besok naik mobil aja."Kedua bodyguard itu hanya terdiam, dengan wajah datar.Aku mendengkus, sambil menyeka peluh yang menetes di dahi. Kakiku sampai pegel berjalan jauh seperti ini. Menyebrangi jalan raya, menyusuri gang, melewati pasar."Pesen angkot kenapa, sih?" keluhku dengan tubuh dibanjiri oleh keringat."Boros!" jawab mereka serempak.Sampai satu jam kemudian kami telah sampai di sebuah cafe yang masih sepi. Mungkin sekitar 3 km kami berjalan kaki. Di atas plakatnya tertulis buka mulai jam 10.00 - 00.00.Aku duduk di salah satu anak tangga terbuat dari kayu yang ada di depan teras kafe megah milik Reno. Capek sekali rasanya. Kedua bodyguard ini mengerjaiku, awas aja nanti. Aku aduin ke Reno."Masih ada waktu 2 jam lagi sebelum kafenya buka, mari kita jalan-jalan lagi. Tuan Reno memerintahkan anda untuk banyak jalan-jalan, walaupun sejauh apapun tempat tujuan.""Emang nggak waras itu majikanmu. Ngomongnya asal ceplos, kelakuannya aneh, par ...." Aku menaikkan sebelah alis, melihat ekspresi Bodyguard itu yang hanya diam seperti kulkas. Kemudian menghela napas, lelah. Kalau majikannya dihina pura-pura tidak mendengar. Hebat banget settingannya Reno.Orang berlemak biasanya keringatnya lebih dobel dari orang kurus biasa. Aku mengibas-ngibaskan tangan."Mau beli pakaian baru di mall?""Kalian yang beliin."Bodyguard itu mengangguk."Ayo, nggak pa-pa. Pakaianku bau keringat.""Mall sekitar 2 km dari sini, mari kita jalan kaki."Aku membulatkan mata. "Whatt? Jalan kaki lagi? Kenapa nggak pesen ojek online aja, sih, naik angkot kek.""Tidak bisa, itu sudah peraturan dari tuan Reno.""Majikanmu itu memang sudah nggak waras!" Aku melotot sebal.Kedua bodyguard itu langsung buang muka ketika majikannya di hina.***2 Jam kemudian.Beberapa pelayan yang bekerja di kafe Reno sudah datang. Ada 4 pelayanan yang bekerja.Yang pertama, namanya Ben, si barista kopi. Kemudian ada Cindy dan Sevelyn yang bertugas membuat makanan dan cemilan yang disediakan. Ada pula Melin, yang bekerja sebagai kasir.Awalnya mereka mengejek dan menertawakanku. "Bisa kabur semua pelanggan kita, kalau pelayannya kayak gini.""Jerawatmu bikin orang ketakutan."Dan, berbagai cibiran yang lain."Aku yang bikin cemilan dan makanan aja." Aku menunduk."Gimana kalau lo jadi tukang bersihin toilet aja, cocok tuh sama wajahnya," ledek Sevelyn, yang diikuti gelak tawa dari yang lainnya.Aku hanya menunduk pasrah. Dari dulu selalu saja seperti ini. Selalu jadi bahan ledekan. Kebal-kebal.Hanya mas Aldi yang tidak pernah meledekku. Dia selalu diam saja, dan pernah beberapa kali tidur seranjang denganku, walaupun tanpa menyentuh. Selebihnya mas Aldi lebih suka tidur di sofa.Malu aku jika tahu mas Aldi ternyata jijik kepadaku. Tapi setidaknya, saat bersama dia aku tidak pernah dikata-katai lagi."Yaudah lah terserah nih gajah bengkak mau tugas jadi apa. Gue mau nyamperin pelanggan dulu." Sevelyn buru-buru menghampiri pelanggan pertama yang datang pada siang ini.Aku menoleh ke arah dua pelanggan yang datang itu. Seorang pria berahang tegas, memakai kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana formal. Bersama seorang wanita manis yang memakai gamis hitam dengan khimar berwarna kuning kecoklat-coklatan.Aku menelan ludah dengan susah payah. "Ma ... Mas Aldi? Sama Pita?"Mas Aldi selingkuh sama Pita?Bersambung ...Aku menelan ludah dengan susah payah. "Ma ... Mas Aldi? Sama Pita?"Mas Aldi selingkuh sama Pita? Aku langsung melangkah menghampiri mereka berdua dengan wajah geram. "Jadi begini kelakuanmu di belakang, Mbak, Pit?!"Pita dan mas Aldi langsung menoleh secara serempak dengan wajah kaget. "Mbak Puspa kenapa ada di sini?" tanya Pita shock."Parah kamu, Pit. Mbak nggak habis pikir dengan kalakuan kamu selama ini."Sevelyn dan mas Aldi menatapku dengan mulut menganga lebar. Begitu pula dengan karyawan yang lain. "Kamu ini lagi hamil, Pit. Bisa-bisanya sih jalan bareng sama dia." Aku menunjuk mas Aldi dengan tatapan benci. "Asal kamu tahu, ya, selingkuhan kamu ini b*j*ngan, aku kemarin lihat dia jalan sama perempuan lain." Tanganku mulai terkepal kuat. Ingin memberi pelajaran kepada Pita. "Mbak Puspa, maaf." Mata Pita mulai berkaca-kaca. "Kami nggak selingkuh kok.""Halah!" Aku hendak melayangkan pukulan ke arah Pita, tapi langsung dihentikan oleh mas Aldi. "Hey gendut, bisa jaga sika
"PITAAAAAA!!!""KAMU KOK KAYAK GINI, SIH?!!" teriakku kencang. Jam 12 malam. "Kayak gini gimana, sih, Mbak?"Aku menarik tangannya secara paksa, masuk ke kamar yang kemarin malam aku tiduri. "Ini beneran kamar yang biasanya kamu tiduri, kan?" Aku melotot ke arah Pita dengan rahang mengeras. Pita mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Kamu kalau kerja di sini tidur di sini, kan?" Gigiku bergemelutuk, menahan emosi. Pita melelehkan air mata. "Emang kenapa, Mbak?"Aku mengobrak-abrik isi di dalam tong sampah dengan kasar. Mencari benda menjijikan yang aku temukan kemarin malam. Kemudian memperlihatkannya kepada Pita. "Ini punya siapa, Pit?"Pita terduduk di tepi ranjang dengan wajah shock. "Kamu main ginian sama siapa, Pit, HAH? JAWAB?!" sentakku kasar. "Kamu lupa sudah punya suami?!"Pita menangis terisak-isak sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sebenci-bencinya aku sama suami kamu, aku tetap nggak pengen rumah tanggamu rusak, Pit.""Picik otakmu, Pit?! Almarhu
KEBANGKITAN PASCA BERCERAI Part 6"Ngrebut Pita dari Fano."Aku menelan ludah dengan susah payah. Emosiku kembali meledak. "Berarti benar kamu udah selingkuh sama Pita!!" Tanganku terkepal. Bersiap melayangkan tamparan. Namun, langsung ditahan oleh Reno dengan sangat mudah. "Selow, elah. Gue sama Pita nggak pernah selingkuh.""Buktinya kamu bilang pengen ngrebut dia dari Fano." Aku menghempaskan tangan Reno yang mencengkram lenganku. "Daripada direbut Aldi?" Reno mengerutkan dahi. "Isshhh! Kalian ini, orang udah punya suami masih aja jadi rebutan." Aku geregetan ingin mencakar-cakar wajah Reno. "Lo tenang aja, Pita bakalan aman kalau sama gue.""Halah, bullshit!!" dengkusku sebal. "Buktinya k*ndom di kamar itu apa? Siapa lagi kalau bukan kamu sama Pita? Pita bilang tidur di situ."Reno melotot. "Heh, lo tinggal di rumah Pita berapa hari?"Aku terdiam. Cukup lama. Bener juga, ya? Hampir dua minggu aku tinggal di rumah Pita. Dan, selama itu pula Pita tidak pernah keluar dari ruma
Yang belum subscribe jangan lupa subscribe, dulu ya. Biar cepet update. ***"Ada apa, Mbak?""Aku pengen membicarakan sesuatu yang penting sama kamu."Fano menaikkan sebelah alis. "Mau pinjem duit? Maaf gue lagi nggak punya duit Mbak."Aku mengerucutkan bibir. "Aku mau ngomongin sesuatu soal Pita."Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, terdengar suara teriakkan dari teman-teman kerja Fano yang saling bersahut-sahutan. "Ciee, Fano disamperin sama pacarnya.""Wah, Fano dihampiri Bude nasi uduk.""Cantik banget, pacar kamu Fano.""Uhuyy, gurih-gurih Nyoi!"Fano melotot tajam ke arah mereka. "Eh, ini kakak ipar gue, yang kemarin gue ceritain."Aku langsung menyela. "Kamu cerita apa ke mereka?"Fano kembali menoleh ke arahku setelah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam. "Kalau Mbak Puspa jelek."Hadeh. Serah ah. Aku langsung kembali ke topik pembicaraan. "Kamu sebenarnya sayang sama Pita nggak, sih?""Sayang, lah, kalau nggak sayang kenapa gue rela kerja banting tulang sa
"Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi. Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri. "Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin. Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar. Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya. "Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur. "
"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe. Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima. Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang." "Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama. "Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan. Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka. Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita? "Itu Pita, ya!" Aku menggeram. Plak!! Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus. "Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung. Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita
Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua. Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja. Ngapain? Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita. "Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya. Dia habis menangis? "Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget. Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap. Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung. "Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar. Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, pad
"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa