"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe.
Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima.Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang.""Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama."Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan. Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka.Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita?"Itu Pita, ya!" Aku menggeram.Plak!!Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus."Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung.Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita itu.Hatiku langsung terasa terbakar oleh api cemburu. Melihat mantan suami yang dulu begitu dingin itu ternyata begitu manis di depan wanita lain."Begitulah tabiat mantan suami lo di luar," ucap Reno lagi.Aku masih belum memalingkan pandanganku dari mereka berdua yang melangkah hingga masuk ke dalam lobby hotel."Kira-kira mau ngapain, hayo?" ledek Reno sambil terkekeh.Aku mengerucutkan bibir. "Apa maksud kamu nunjukin itu ke aku.""Hmm, intinya mau sedekat apapun hubungan Pita dan Aldi, jangan biarkan mereka bersatu.""Apa sih tujuan kamu ngurusin hidup orang?""Orang gendut itu pasti nyebelin, ya?" Reno menghela napas. "Ditolong bukannya terimakasih malah nyalahin. Lagian, nih, ya, Pita itu pembantu gue. Jadi, gue berhak nolongin dia."Benar juga, sih."Gue nolong lo juga karena lo adalah kakak dari pembantu gue.""Yaudah makasih.""Belum saatnya lo bilang makasih." Reno kembali melanjutkan mobilnya."Lah, kenapa?""Nanti, setelah gue berhasil dapetin Pita dari Fano. Lo baru boleh bilang makasih." Reno tersenyum miring.Aku meremas-remas kepala yang mulai memanas. Sebenarnya siapa, sih, yang jahat di sini?"Adikku lagi hamil, jangan direbut-rebut, gih!""Siapa yang mau ngerebut?" Reno kini sedang fokus menyetir."Lah itu?""Fano yang mau ngrelain dia sama Aldi. Nah, tugas kita adalah menghentikan itu."Ya ampun, betapa kasihannya adikku.Ibu, kenapa anak-anakmu nasibnya begini semua?Teringat perkataan Fano yang mengatakan bahwa Pita sudah beberapa kali meminta cerai. Fano juga menduga bahwa anak Pita adalah anaknya mas Aldi. Dan, Fano juga sudah hampir menyerah dengan kelakuan Pita.Tapi Reno di sini? Dia sangat sok baik, dan sok peduli. Aku malah mencurigai dia punya niat jelek. Memanfaatkan situasi untuk mendapatkan Pita.Tiba-tiba mobil yang dikendarai Reno terhenti. Pria tampan itu mendengkus. "Yah, mogok, Ndut."Hadeh."Tolong dorongin bentar, dong," pintanya santai."Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri."Iyalah siapa lagi?""Bodyguard kamu mana? Telpon dong.""Hp gue lowbat."Ampun!"Cepetan dorong, bentar aja. Didorong baru nyala lagi ini.""Aku nggak kuat lah.""Badan segede gitu masak nggak kuat?""Nggak pernah dorong mobil.""Mau diajak ke salon nggak? Sampai wajah lo mulus lagi?"Aku menggigit bibir. Tawaran Reno terlalu menarik untuk ditolak. Terpaksa, akhirnya memilih mengalah saja. Demi beasiswa perawatan wajah di salon kecantikan.Aku turun dari mobil dengan setengah kesal. Kemudian mendorong mobil Reno. Dia tidak ikut keluar.Terpaksa aku mendorongnya sendiri. Sedikit berat, tapi perlahan mobilnya mulai berjalan."Terus, dorong, terus!" teriak Reno dari depan.Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mendorong mobil itu. Sampai beberapa meter, tapi tidak kunjung menyala."Terus, Ndut, dikit lagi."Yah, capek. Tubuhku sudah dibanjiri oleh keringat. Aku menyeka peluh yang ada di dahi kemudian mendorongnya sambil meringis.Sepertinya Reno sedang mengerjaiku. Sampai beberapa meter lagi akhirnya mobilnya menyala.Aku membungkuk dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran di wajah.Sialnya pria itu terus melajukan mobilnya sampai 200 meter. Kemudian berhenti diujung perempatan.Aku mendengkus. Jauh amat, sih? Kaki ini mulai pegal-pegal untuk menyusul mobil itu. Harusnya nggak usah jauh-jauh juga, biar aku langsung naik dan tidak perlu berjalan jauh untuk menghampiri mobil itu.Sesampainya di sana aku menghela napas lega. Ingin cepat-cepat duduk dan beristirahat. Energi sudah mulai terkuras. Saat hendak memasuki mobil, Reno tampak memasang wajah muram. "Dorong lagi, Ndut. Mobilnya masih mogok."Aku menepuk jidat.Rasanya pengen pinsan.****Pagi ini tumben bi Surti tidak datang. Aku bingung mau memasak apa."Nggak usah masak, kita sarapan pakai roti tawar aja.""Seriusan?" tanyaku."Ya," jawab Reno sembari mengambil minuman di dalam kulkas. "Bi Surti lagi keluar kota, menghadiri acara pernikahan keponakannya. Mungkin sekitar semingguan beliau ke sana."Aku mengangguk. Oke, tidak masalah. Lagipula nafsu makanku belum juga membaik akibat terlalu banyak pikiran.Setelah Reno pergi, aku mengambil roti tawar di dalam kulkas dan beberapa kaleng selai dengan berbagai macam rasa seperti selai kacang, strowberry, coklat, dan lain-lain.Buah-buahan segar seperti apel, pisang, mangga, dan jeruk juga aku taruh ke atas meja makan. Serta pisau-pisau kecil kupersiapkan di sebelah piring-piring yang berjajar rapi di depan kursi-kursi."Banyak banget piringnya.""Biasanya bodyguard-bodyguardmu ikut makan bersama.""Mereka gue suruh cuti semua. Tinggal kita berdua."Tiba-tiba ada rasa yang menghangat di dalam dada. Ah, aku baper."Kayak suami istri dong?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.Reno menggindikkan bahu. "Iya mungkin."Deg.Parah. Reno hampir saja membuatuku jantungan. Kata-katanya berhasil menciptakan debaran-debaran aneh di dalam dada.Pria itu menarik kursi dan menyuruhku duduk. "Ayo kita sarapan."Tubuhku terasa kaku untuk digerakkan ketika mendapat perhatian itu."Santai aja, gih, cuma ada kita berdua di rumah ini."Perlahan aku mendaratkan bokong ke kursi. Membenarkan hijab yang acak-acakan kemudian mengolesi roti tawar dengan selai kacang.Terkadang heran dengan tingkah Reno. Kadang baik, kadang ngeselin, kadang perhatian, kadang seperti orang jahat, kadang alim banget. Apa dia punya kepribadian ganda?"Nanti lo berangkat kerja ke kafe pakai mobil, ya," ucap Reno sambil melahap makanannya."Aku nggak bisa bawa mobil.""Yaudah berarti jalan kaki.""Yah, kasih uang saku lah, mau naik angkot atau ojek online gitu.""Gue nggak punya uang receh." Reno meneguk air putih hingga habis seperempat."Sengaja banget, sih, kayak tadi malam suruh dorong-dorong mobil." Aku mengerucutkan bibir."Mukanya nggak usah diimut-imutin, lo tetep kayak mak Lampir.""Iya, iya, aku percaya," dengusku pasrah.Reno kembali melahap sepotong roti tawarnya."Kapan aku diajak ke salon?""Emangnya gue suami lo?" tanya Reno dengan mulut yang dipenuhi dengan makanan."Kan, janjinya gitu. Mau diajak ke salon.""Bahasa yang lo ucapin salah. Harusnya nggak gitu ngucapnya ke majikan.""Terus gimana?""Kapan saya dapat bonus tiket facial ke salon kecantikannya. Nah gitu baru pantes.""Umm, gitu, ya." Aku hanya mengangguk malas. Kebanyakan peraturan dia."Besok gue anterin. Siap, kan, dilaser itu jerawat lo, biar musnah semua."Aku mengangguk. Pasti ujung-ujungnya hanya becanda. Omongannya sangat tidak bisa dipercaya.***Saat hendak berangkat ke kafe, aku kepikiran dengan Pita. Semenjak kejadian malam itu, kami tidak pernah kembali bertemu.Biar bagaimanapun dia adalah adikku. Sebanyak apapun orang yang mencibirnya, aku seharusnya lebih percaya kepada Pita.Aku ingin ke rumahnya untuk meminta maaf, dan menanyakan baik-baik kepada Pita.Mungkin, dia sedang berada dalam keadaan terpuruk. Aku harus menemaninya. Barangkali yang dikatakan Reno benar. Bahwa Fano yang jahat.Atau barangkali yang dikatakan Fano benar. Bahwa Pita dan mas Aldi yang jahat. Aku harus tahu kebenarannya lewat Pita sendiri. Berusaha mengajaknya bicara dari hati ke hati.Aku putar balik, tidak jadi menuju ke kafe, tapi ke rumah Pita. Berjalan kaki, walaupun sedikit agak jauh. Mau bagaimana lagi. Reno tidak memberi sepeser pun uang. Dia juga menyita ponselku.Tak apalah, aku absen bekerja. Semoga Reno memakluminya. Keresahan hati ini harus segera disembuhkan.Ada yang berbeda saat aku menyusuri trotoar demi trotoar. Kemudian masuk ke gang berpaving melewati jalan tikus. Tidak ada yang sudi melihatku. Itu sebuah perubahan.Biasanya banyak ibu-ibu komplek yang mengawasi setiap langkahku. Dengan tatapan merendahkan. Lebih tepatnya mencibir berat badan dan jerawatku. Gamis yang aku gunakan juga terasa sedikit longgar.Hampir dua jam aku berjalan kaki. Sudah hal biasa, walaupun disertai oleh keringat, tapi tidak terlalu melelahkan.Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua.Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja.Ngapain?Bersambung...Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua. Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja. Ngapain? Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita. "Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya. Dia habis menangis? "Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget. Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap. Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung. "Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar. Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, pad
"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa