Share

Part 14

Author: Nurudin Fereira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 Tin ... Tin ... Tin ...!!!

Mobil itu membunyikan klakson  

Gawat! 

Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. 

Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. 

Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. 

Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. 

"Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. 

Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri."

"Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?"

"Mogok hehe..."

"Kok, lari?"

"Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. 

"Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?"

"Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."

Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini."

Aku langsung menginjak kaki Ben, kemudian berbisik. "Ben, keluarin kartu STNK motor kamu."

Ben berbisik ke arahku. "Nggak ada, namanya juga motor modif."

Gawat, dengusku sebal. 

"Kenapa kalian bisik-bisik?" tegur bapak itu sambil mengeluarkan ponsel yang ada di saku celananya. "Saya akan menelpon polisi untuk menyelidiki kalian."

"Eh, bapak jangan asal nuduh kami, dong!" Ben mulai terlihat kesal. 

"Saya tidak akan curiga kalau kalian tidak lari-larian sambil dorong motor. Gerak-gerik kalian patut diselidiki."

Bakal runyam ini urusannya. Aku menepuk jidat.

"Kami lari-larian karena menghindari seseorang, Pak." Ben memutar bola matanya malas. Pria berambut gonderong itu sekarang sedikit berani karena membela diri. 

"Menghindari seseorang karena takut ketahuan maling motor?"

"Ini motor saya!" Ben meninggikan nada suaranya. 

"Oke, kamu bisa menjelaskannya ke polisi, bahwa itu motor kamu." Bapak itu mulai menelpon polisi. Menyuruh mereka untuk datang kemari. 

"Pak, saya ini serius! Saya cuma kerja di kafe ujung sana. Tanya aja sama satpam kafenya kalau ini motor saya." Ben terlihat mencak-mencak setelah bapak itu menelpon polisi. 

"Jelaskan saja ke polisi."

"Bapak jangan seenaknya aja main bawa-bawa polisi, dong!"

"Saya hanya ingin membantu aparat keamanan untuk menangkap maling yang meresahkan kawasan ini." Bapak itu berujar santai. 

"Tapi, kenapa kami yang harus dicurigai?" Ben sudah terlihat emosi. 

"Karena gerak-gerik kalian mencurigakan." Bapak itu melotot. "Siapa namamu?" tanyanya itu. 

"Al." Ben menjawab asal. "Aliando Syerief."

"Jangan main-main kamu?" Bapak itu tampak tidak puas dengan jawaban Ben, lantas menoleh ke arahku. "Siapa namamu?"

Aku langsung gelagapan saat sorot mata tajam milik bapak itu mengarah kepadaku. "Nama sa ... saya Jeniffer Lopez. Hmm, panggil aja Prilly biar gampang."

Bapak itu menggeram. "Kalian jangan main-main sama saya!"

"Kami tidak perlu berkenalan dengan bapak, karena belum kenal saja bapak sudah menambah masalah. Apalagi kalau kenal, bisa-bisa kami didatangi banyak masalah."

Bapak itu langsung mengeraskan rahangnya. 

Aku pun mulai gemetar ketakutan. Datang sebuah mobil lagi, yang kuyakini dia benar-benar mas Aldi. Karena ada gambar minion di kaca depan sebelah kiri. Pria itu turun dengan tergesa-gesa. Lalu menghampiriku. 

"Ada apa, Pus?"

Lengkap sudah. Orang yang aku hindari datang, dan sekarang harus berurusan dengan polisi pula. 

"Mereka diduga telah mencuri motor," sahut bapak itu dengan entengnya. 

"Kok bisa, Pak?"

"Saat saya lewat di depan sana, mereka berdua tiba-tiba langsung ketakutan dan mendorong motor ini. Mungkin takut ketahuan."

"Puspa,  kamu?" Mas Aldi menatapku tidak percaya. 

Aku hanya menanggapinya malas. "Motornya mogok, Mas."

"Kalau mogok kenapa harus lari-larian?" sahut bapak tadi. 

Hadeh. Angel wes angel. 

Tak lama kemudian mobil polisi akhirnya datang. Aku menelan ludah dengan susah payah. Pasti sebentar lagi mereka akan menginterogasi kami berdua. 

Jantungku berdebar tak keruan. Melirik ke arah Ben, yang duduk menyalakan rokoknya dengan pematik. Santai sekali. 

"Mereka, ya!" tunjuk salah satu di antara dua polisi setelah turun dari mobil. 

Bapak berkepala botak tadi begitu antusias. 

"Bapak ini memfitnah kami, Pak," jawab Ben dengan santainya. Bersender pada motor, sambil menyemburkan asap dari rokok yang ia hisap. 

Polisi itu menatap tajam ke arah Ben. Tentu dia lebih condong ke bapak yang melapor.

Ben dengan santai mengambil ponselnya kemudian menyerahkannya pada polisi. "Silakan bapak bicara sendiri kepada bos saya si pemilik Kafe, perihal kelanjutan kasus ini. Apakah saya benar-benar bersalah apa tidak. Apakah ini benar-benar motor saya apa bukan. Apakah saya adalah maling atau bukan. Silahkan   bapak negosiasi sendiri dengan bos saya. Karena saya adalah karyawannya, dan biarkan masalah hukum ini diurus oleh bos saya."

Polisi itu mengernyit, ragu untuk menerima ponsel Ben. "Siapa bosmu?"

"Reno Alaska." 

Polisi tersebut termenung sejenak. 

Aku sampai deg-degan menunggu responnya. Suasana mendadak hening. 

"Reno Alaska?"

Ben mengangguk. 

Lama polisi terdiam, kemudian membuka suaranya dengan suara serak. "Ya, saya percaya dengan anda."

Aku menghela napas lega. Melirik ke arah Ben yang masih menghisap rokoknya dengan santai. Kemudian beralih ke arah mas Aldi yang menggenggam tanganku. Kemudian menarikku menjauh dari mereka. 

"Ayo pulang," ucapnya lembut. 

Aku melirik ke arah Ben dengan tatapan tidak enak. Ben menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan aku agar ikut mas Aldi saja. 

Akhirnya terpaksa menurut, karena hari sudah malam. Terbesit pertanyaan terlintas dipikiranku. Tentang bagaimana segannya polisi tadi setelah mendengar nama Reno Alaska. Lalu, siapa Reno sebenarnya? 

Pria tengil mesterius yang membuat polisi pun segan dengan dirinya.

Aku mengabaikan mas Aldi yang mengemudikan mobilnya. Pikiranku melayang-layang ke arah lain. Walaupun aku sadar keberadaanku di mobil ini membuatku mendapatkan masalah baru ketika besok mas Aldi mengajakku .... 

***

"Pit, hari ini mbak libur, dan mas Aldi mengajakku jalan-jalan."

Pita yang sedang mencuci piring menoleh ke arahku. "Ikut aja, Mbak."

"Kok, gitu?"

Apa maksudnya biar aku balikkan dengan mas Aldi, dan dia bisa bersenang-senang dengan Reno. Lagi-lagi rasa cemburu ini terus menggerogoti hatiku. 

Pita membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku langsung membulat, dan terpaksa menyetujui idenya yang konyol itu. 

"Baiklah."

***

Mas Aldi membukakan pintu mobilnya untukku. Aku hanya memasang wajah datar, kemudian masuk ke dalam mobil. 

Mas Aldi mengitari mobilnya kemudian duduk di kursi kemudi. 

"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah mas Aldi melajukkan mobilnya. 

"Aku ingin menebus kesalahan-kesalahanku." Mas Aldi tersenyum. "Maafkan aku yang dulu belum sempat membahagiakanmu."

Pintar sekali caranya mencoba meluluhkan hati. Apakah seorang perempuan harus berubah cantik dulu agar laki-laki yang telah menyakitinya bisa menyesal dan merasa bersalah. 

Kalau bukan karena ide dari Pita, aku tidak akan sudi mengiyakan ajakkan mas Aldi. 

Kami berhenti di sebuah mall besar yang ada di pusat kota. 

Mas Aldi mencoba menggandeng tanganku. Namun, buru-buru aku tepis dengan sedikit kasar. 

"Kenapa?"

"Kita bukan mahram," jawabku ketus. 

"Hmm, rujuk?"

Aku menggeleng. "Lebih baik kita pulang saja, kalau tujuannya cuma itu."

Mas Aldi tertawa. "Tidak, aku di sini cuma ingin menebus kesalahan-kesalahanku."

Menebus kesalahan-kesalahannya. Baiklah. Akan kuladeni permainanmu. 

"Mau nonton bioskop?"

"Oke." Aku mengangguk. 

"Tunggu sebentar, aku akan memesan tiketnya. Kita akan nonton Film romance."

"No!" sergahku. "Horor, Mas."

Mas Aldi membulatkan mata. Itulah kelemahannya. Dia takut film horor. 

Aku melipat kedua tangan di depan dada. "Kalau nggak mau ya sudah, aku nonton sendiri aja. Kamu nonton film romance sendiri."

Aku tidak pernah suka menonton film romance. Karena sejak dulu, itu bukan duniaku. Perempuan gendut berjerawat sepertiku tidak pernah punya tempat di dunia asmara yang penuh dengan pahit dan manisnya kehidupan. 

Mas Aldi menghembuskan napas kasar. Dengan ragu-ragu dia mengangguk. "Baiklah kita nonton film horor."

Rasakan! 

Aku tahu mas Aldi sangat takut dengan film horor sejak kecil dari ibu mertua. Apabila dia keluar malam, kemudian salah satu temannya menceritakan soal hantu-hantu, dia langsung tidak berani pulang. 

Mas Aldi kembali dengan membawa tiket film horor. Kami harus menunggu beberapa menit lagi. Dia membeli popcorn untuk cemilan saat menonton.

Gelagatnya tampak aneh. Sepertinya dia sangat ketakutan. Padahal belum masuk ke dalam bioskop. Setelah beberapa menit kemudian, kami memasuki bioskop. 

Mas Aldi belum tahu kalau sebenarnya aku tahu kelemahannya. Yakni fobia dengan film horor.

Aku di sini pura-pura tidak tahu, dan mungkin dia akan gengsi untuk berkata jujur. Demi menaklukan hatiku. Wanita incarannya. 

Tangannya terlihat gemetar saat kami duduk. Bulir-bulir keringat sebiji jagung menetes di dahinya. Padahal filmnya baru sampai pada opening. 

Aku tersenyum sambil mengunyah popcorn yang dibeli mas Aldi. 

Tangannya merayap ke kursi, mungkin mencari tanganku. Aku langsung menggeser tubuh agak menjauh. 

Enak aja, mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. 

Semua penonton menjerit saat melihat tokoh utamanya dikejar hantu yang mengerikan. 

Mas Aldi tidak menjerit. Namun, jelas sekali sekujur tubuhnya gemetaran. Laki-laki itu meringis, kemudian menunduk, tidak berani melihat layar lebar yang menakutkan itu. 

Aku menahan tawa. 

Mampus kamu mas Aldi. 

"Pit, celanaku basah."

Jorok! 

***

Mas Aldi terpaksa membeli pakaian baru karena celananya basah. Sungguh menjijikan, seorang pria dewasa pipis di celana hanya karena nonton film horor. Tidak malu apa sama perempuan-perempuan yang sering ia gauli? 

Pria itu sudah kembali dengan memakai kaos oblong hitam dengan bawahan celana jeans berwarna biru yang baru saja dia beli. Awalnya dia memakai celana formal dengan atasan kemeja panjang berwarna maroon. 

Permainan yang sebenarnya akan dimulai Mas Aldi.

Yang tadi masih pemanasan.

"Mas, dulu kamu belum pernah beliin aku baju-baju." 

"Mau beli?" tanya mas Aldi antusias. "Ayo, kamu mau yang mana?" 

Pria itu menarikku menaiki lantai atas, di mana terdapat pakaian-pakaian wanita dari yang branded hingga yang biasa. Aku sengaja tidak menuju ke tempat penjual yang ramai pengunjung, karena terdapat diskon besar-besaran. 

Aku menuju ke stand penjual baju muslimah, yang harganya lumayan mahal. Juga sangat menarik karena dijamin berkualitas. 

"Pus, itu di sana ada diskon."

"Di sini aja mas, cantik-cantik bajunya."

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari baju muslimah yang sekiranya cocok untukku, dan sekiranya menarik di mata Reno. Huftt, kenapa aku jadi mikirin Reno terus, sih?

"Mas beli dua, ya?" tanyaku. 

Mas Aldi terlihat gusar, entah karena tidak membawa uang atau karena eman-eman. Pelit. 

"Mas?"

"Eh, iya, Pus. Ambil aja sesukamu," jawab mas Aldi dengan nada tidak ikhlas, seperti keberatan. 

"Wah, sesukaku?"

Mas Aldi mengangguk sambil memaksakan seulas senyum. Jelas sekali dari raut wajahnya yang sangat terpaksa. 

"Kalau begitu aku beliin Pita sekalian."

Kemudian aku mengambil beberapa gaun muslimah berbagai merk ternama yang harganya lumayan mahal. Pita kubelikan tiga.

Nominal ini masih belum seberapa dibanding uang yang kamu habiskan dari hasil warisan ibu waktu itu, Mas. Ngakunya buat modal usaha, ternyata buat main dengan perempuan lain, batinku. 

Aku meletakkan 8 potong gaun muslimah ke kasir. Kemudian membiarkan mas Aldi membayarnya. Wajahnya tidak secerah tadi. Mungkin, dia menyesal sudah mengajakku. 

Kami kemudian melenggang pergi dari tempat itu dengan kedua tangan yang menenteng bahan belanjaan. Sekitar 2 setengah juta mas Aldi merogoh koceknya. Dan, aku belum puas. 

"Eh, mas, beli sandal, ya?" Aku melangkah menuju counter penjual sandal. Mengambil beberapa sendal berbagai merk, hingga high heels yang sejujurnya tidak pernah aku coba pakai. Yang penting dibeli aja. 

"Nggak papa kan, Mas. Pumpung ada diskon."

Mas Aldi melotot beberapa saat karena aku mengambil 7 sandal dan 2 high heels. Pria itu menelan ludah dengan susah payah. 

"Pokoknya ini, Mas." Aku merengek seperti anak kecil. "Aku pengen."

Mas Aldi menghela napas kasar. Kemudian mengeluarkan kartu debitnya dan menyerahkannya kepada mbak kasir. Kulirik sekilas, tampak dia mengacak-acak rambutnya. 

Bangkrut-bangkrut sana kamu! 

Kami berdua kembali melanjutkan langkah dengan menenteng beberapa plastik bahan belanjaan. Aku membawa baju-baju muslimah, sementara mas Aldi menenteng plastik berisi sandal-sandal perempuan. 

Aku menghentikkan langkah mas Aldi kala melintasi toko emas. "Mas Aldi, aku pengen kalung. Dulu kamu nggak pernah beliin."

"Pus, maaf, ya, anu ..."

Aku bergindik-gindik kesal dengan nada manja. "Ayolah, Mas. Pengen ...."

Wajah mas Aldi terlihat sangat pucat. Aku meminta kalung emas 8 gram. 

"Nggak pa-pa, kan, Mas? Demi menebus kesalahan-kesalahanmu."

Delapan juta dia gelontorkan untuk membelikan kalung itu untukku. Dia terlihat lemas, seperti ingin pingsan. 

Satu hal yang membuatku heran, kenapa uang di rekeningnya tidak habis-habis? Dia kerja apa? 

Teringat dengan ucapan Fano waktu itu. Bahwa mas Aldi itu jahat, dan sebentar lagi akan menjadi kaya karena kejahatannya. 

Dia bekerja sebagai kriminal dibidang apa sehingga uangnya tidak habis-habis? 

"Kenapa jadi lemes gitu, Mas?" tanyaku. 

Mas Aldi langsung terbangun dari lamunannya dengan wajah kikuk. "Enggak, Pus. Cuma keinget sama film tadi. Aku takut banget sama film horor dari kecil."

"Kenapa maksain nonton?"

"Demi nemenin kamu."

Aku memutar bola mata malas. "Yaelah, aku nonton sendiri aja berani, Mas."

Tiba-tiba ada seorang perempuan  yang datang menghadang langkah kami. Tatapannya tajam, wajahnya memperlihatkan ekspresi murka. 

"Jadi begini kekakuan kamu di belakangku, Mas?!"

Mas Aldi tampak kikuk. "Santi, kok kamu ada di sini?"

"Bajingan kamu, Mas?!"

Aku menaikkan sebelah alis. Melihat wanita itu. Istrinya kah? Atau pacar? Ah, aku jadi punya ide briliant. 

"Eh, Mbak jangan salah paham dulu. Aku cuma sepupunya kok."

Wajah murka wanita berparas cantik itu tampak meluntur. 

"Mbak pacarnya apa istrinya?"

Wanita itu terdiam. Pun dengan mas Aldi yang terdiam kaku. 

"Hmm, pumpung ketemu, yuk, Mas, ajak dia jalan-jalan sekalian. Tenang Mbak, semua mas Aldi yang tanggung. Barangkali pengen beli baju-baju diskon." Aku memamerkan bahan belanjaanku. "Ini dibeliin mas Aldi semua. Mbak pasti dibayarin kalau mau shopping-shopping di sini. Kan, mbak orang yang lebih spesial. Ya, kan, Mas Aldi." Aku menyenggol lengan mas Aldi.

Related chapters

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 15

    Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 16

    "Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 17

    Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 18

    Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 19

    Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 20

    "Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

Latest chapter

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28 B

    "Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28

    Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 27

    "Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 26

    "Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 25

    Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 24

    Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

DMCA.com Protection Status