Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan.
Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana."Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki.Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak."Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti.Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran."Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya."Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu. Nggak tau deh sekarang hampir berbulan-bulan ada di sini." Melin yang tadinya duduk di kasir ikut nimbrung bersama kami."Apa gara-gara bos Reno deket sama Puspa, ya?" tebak Sevelyn."Mybe," jawab Cindy dan Melin serempak."Bos Reno pas awal-awal buka kafe ini. Dijodohin sama Sevelyn nggak mau, sama Cindy nggak mau." Melin terkikik membuat Sevelyn dan Cindy langsung melotot."Gue pikir bos Reno gay, karena sama cewek manapun nggak tertarik. Mau secantik apapun, kualitasnya sama aja katanya," jelas Melin lagi. "Menurut dia cewek yang sempurna bagi dia itu cewek yang tegar menghadapi berbagai macam masalah. Dia pengen cari pasangan yang kayak gitu. Bukan cewek seksi plus cantik seperti selera cowok kebanyakan."Aku langsung terbelalak ketika mereka berempat menatapku secara serempak. Apakah mereka sadar kalau yang dimaksud Reno itu aku?"Dan, bos Reno sekarang mau balik ke Jakarta.""Kami curiga kalau lo udah nolak bos Reno, Pus." Mereka semua melotot."Yakin, gue kalau bos Reno udah lo tolak."***Aku memutuskan pulang cepat dengan alasan sakit. Rasanya tidak kuat terus-terusan berada di dalam keramaian, dengan perasaan gelisah ingin menangis.Aku ingin menyendiri dan meluapkan tangis. Aku benar-benar seperti orang bingung.Apakah Reno benar-benar mencintaiku? Atau cuma mempermainkanku?Aku bingung mencari jawaban itu di mana. Kuputuskan untuk berhenti di taman. Mencari kursi kayu panjang di dekat lampu bulat yang temaram.Aku terisak di sana. Sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Udara malam tak mampu mendinginkan suasana hati yang memanas.Reno. Dirimu benar-benar sudah membuatku gila.Apakah besok aku harus menyusulmu ke bandara? Aku takut kehilangan, tapi juga sangat takut kamu permainkan.Kamu itu orang seperti apa aku juga tidak tahu.Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyodorkan tisue. Aku sedikit terbelalak. Kemudian menatap seorang pria yang rambut gondrongnya diikat ekor kuda. Mengenakan kemeja telur bebek lengan panjang yang digulung sampai siku memperlihatkan tatto-nya yang entah berbentuk apa."Ben?""Hapus air matamu," ucapnya dengan wajah datar.Aku masih mendongak, menatap wajahnya yang tidak terlalu jelas karena hanya disinari lampu taman yang remang-remang."Come on, baby. Jadi, cewek nggak boleh cengeng, nanti gampang diinjek-injek." Ben menggoyang-goyangkan tisue yang sedari tadi ia sodorkan.Akhirnya aku mengambilnya untuk mengelapi air mata yang menggenangi pipi.Pria urakan itu duduk di sebelahku sambil menghela napas. Mengambil sebungkus rokok kemudian menyulutnya sebatang. "Sepertinya lo butuh telinga untuk mendengar."Aku hanya merapatkan bibir. "Kenapa kamu ada di sini? Bukannya sekarang belum waktunya pulang?""Gelagat lo aneh hari ini. Sepertinya lo sedang lagi ada masalah. Anak-anak nyuruh gue buat ngikutin lo.""Nggak pa-pa, kok." Aku masih mengelapi air mata dengan tisue yang diberikan Ben."Lo nggak bisa bohongin gue, Pus." Ben menghembuskan asap rokok yang baru saja ia hisap.Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Tangis ini rasanya ingin kembali meledak."Soal bos Reno, kan?" .Aku akhirnya mengangguk."Lo suka sama dia?" tanya Ben, kedua sudut matanya melirik ke arahku.Aku menggeleng."Lalu?"Mata ini kembali memburam. Dipenuhi oleh air mata. Aku kembali terisak. Menutupi wajahku dengan telapak tangan. "Hiks ... hiks ... hiks ... hiks ... aku nggak tahu Ben, aku suka sama Reno apa tidak. Aku tidak tahu perasaanku ini bagaimana. Aku takut kehilangan, tapi juga takut dipermainkan."Ben menatapku sambil menaikkan sebelah alis. "Aku harus bagaimana, Ben? Aku bingung dengan perasaanku sendiri.""Ya, lo cinta sama dia nggak?" tanya Ben sedikit meninggikan nada suara."Cinta, Ben.""Kalau cinta ya dikejar. Lo nggak bakalan dapat apa-apa kalau cuma nunggu. Satu-satunya cara agar lo dapat jawabannya ya temuin dia.""Aku takut.""Takut kenapa? Bukannya urusan lo itu mencintainya? Nggak usah mikirin dia mau nerima lo apa enggak. Nggak usah mikirin dia mau serius apa cuma mau mempermainkan, yang penting dia udah tau kalau lo cinta sama dia. Heran gue sama cewek, sukanya nunggu tindakkan dari laki-laki, nggak mau bertindak duluan.""Kamu nggak tahu betapa malunya perempuan melakukan itu, Ben. Perempuan cuma tidak ingin merendahkan harga dirinya di depan laki-laki.""Dengan nunggu kayak gini, hati lo bisa tenang, nggak? Nggak usah mikirin gengsi Pus, kalau mau bahagia!"Moodku langsung memburuk.Sebenarnya ketika curhat begini, perempuan tidak butuh dikasih solusi. Hanya didengarkan dan dimengerti saja sudah cukup.Apalagi Ben memberi solusi sambil marah-marah. Membuatku semakin ingin membentur-benturkan kepala ke tanah."Lalu aku harus gimana?" teriakku sambil menghentak-hentakkan kaki. Pikiran semakin kacau."Besok samperin lah, ke bandara. Ungkapin semua isi hati lo sama dia."Aku masih menangis sesenggukan.Ben berhenti berceloteh. Cowok itu menginjak putung rokoknya hingga mati. Kemudian mengangkat ponselnya yang berdering sedari tadi."Hallo?" ucapnya setelah mengangkat telepon."....""Iya, ini lagi sama Puspa.""....""Kenapa?""....""Dia nggak dianterin pulang?""....""Ha?""....""Hmm, ikut ke sana dulu.""....""Owh, rame iya-iya.""....""Oke-oke.""....""Iya, ah, sabar."Aku mengernyitkan dahi mendengar percakapan Ben dengan seseorang di seberang telepon.Ben mematikan teleponnya. Kemudian menoleh ke arahku. "Kafe rame Pus, mereka kualahan ngelayanin pelanggan. Kita suruh bantu-bantu."Aku mengelapi wajahku yang sembab."Tapi, lo kalau mau pulang, pulang aja. Daripada nggak maksimal kerjanya. Nanti gue jelasin ke anak-anak.""Aku ikut aja.""Beneran?"Aku mengangguk."Oke." Ben menggindikkan bahu. "Besok kalau nyusul bos Reno di bandara. Bilang gue aja. Ntar gue anterin.""Lo tenang aja, bos Reno kayaknya beneran cinta sama lo."***Aku dan Ben akhirnya memutuskan kembali ke kafe. Ada yang tidak beres. Kata Sevelyn, kafe sangat ramai sehingga butuh bantuan kami berdua untuk kembali datang.Ternyata hanya ada beberapa pelanggan. Tidak seramai yang aku bayangkan. Parkiran penuh hingga terpaksa parkir di pinggir jalan. Ternyata cuma beberapa mobil dan beberapa motor.Aku menoleh ke arah Ben, meminta penjelasan."Kita ditipu apa, ya?" Ben melangkah lebih dulu dengan tatapan curiga.Suasana mendadak hening ketika aku dan Ben melangkah memasuki kafe. Para pelanggan terdiam, kemudian langsung terdengar suara petikkan gitar.Semua pelanggan bersorak. Termasuk Sevelyn, Cindy, dan Melin."Saya ingin menyanyikan lagu yang spesial pada malam hari ini," ucap seorang pria yang duduk di panggung acoustic di depan kafe. Dengan gitar yang ada di pangkuannya."Perempuan spesial yang menjadi penguasa di hati. Aku harap dia tahu bahwa aku di sini sangat mencintainya sepenuh hati.""Lagu ini untuk Mbak cantik yang pakai gamis sabrina di ujung sana. Percayalah bahwa dirimu sudah membuatku jatuh cinta," tunjuk pria yang memakai kemeja kotak-kotak dengan celana jeans hitam itu sambil membenarkan letak microfone-nya. Seluruh pelanggan yang ada di kafe berteriak heboh sambil menatap ke arahku. Ben geleng-geleng kepala kemudian berlalu meninggalkanku yang masih membeku di ambang pintu masuk.Jreng... Jreng... Jreng..."Waktu pertama kali..., kulihat dirimu hadir..., resah hati ini inginkan dirimu...."Kakiku mulai gemetar, mendengar merdunya suara lagu yang dinyanyikan oleh pria itu."Hati indah mendengar ..., suara indah menyapa ..., geloranya hati ini tak kusangka ....""Rasa ini tak tertahan ..., hati ini selalu untukmu ...."Jantung berdebar-debar kencang, tubuh mulai panas-dingin. Aneh, tapi terasa menyenangkan. Suara tepuk tangan mulai terdengar riuh, diiringi suara siulan yang menggodaku saling bersaut-sautan."Terimalah lagu ini..., dari orang biasa..., tapi cintaku padamu luar biasa...."Aku sedikit terpana, dengan keromantisan pria yang tidak kuduga-duga ada di sini itu."Aku tak punya bunga..., aku tak punya harta...,"Kaki ini perlahan mulai melangkah menghampiri pria itu. Membuat penonton berteriak histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh. Pria itu tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe hanya terperangah tak bisa berkata apa-apa ketika aku menampar wajah pria itu.Bersambung...Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men
"Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa