"PITAAAAAA!!!"
"KAMU KOK KAYAK GINI, SIH?!!" teriakku kencang.Jam 12 malam."Kayak gini gimana, sih, Mbak?"Aku menarik tangannya secara paksa, masuk ke kamar yang kemarin malam aku tiduri."Ini beneran kamar yang biasanya kamu tiduri, kan?" Aku melotot ke arah Pita dengan rahang mengeras.Pita mengangguk dengan mata berkaca-kaca."Kamu kalau kerja di sini tidur di sini, kan?" Gigiku bergemelutuk, menahan emosi.Pita melelehkan air mata. "Emang kenapa, Mbak?"Aku mengobrak-abrik isi di dalam tong sampah dengan kasar. Mencari benda menjijikan yang aku temukan kemarin malam. Kemudian memperlihatkannya kepada Pita. "Ini punya siapa, Pit?"Pita terduduk di tepi ranjang dengan wajah shock."Kamu main ginian sama siapa, Pit, HAH? JAWAB?!" sentakku kasar. "Kamu lupa sudah punya suami?!"Pita menangis terisak-isak sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan."Sebenci-bencinya aku sama suami kamu, aku tetap nggak pengen rumah tanggamu rusak, Pit.""Picik otakmu, Pit?! Almarhumah ibu nggak pernah ngajarin kamu kayak gini!" Aku menghempaskan k*ndom itu ke sembarang arah."Bukan aku Mbak, yang ngelakuin itu." Pita mengencangkan tangisnya. Selayaknya anak kecil yang sedang dimarahi orangtuanya. Dia tidak pernah menjadi dewasa di depanku."Kasihan bapak-ibumu di alam sana, Pit. Mereka tersiksa karena kelakuanmu." Aku menunjuk-nunjuk wajahnya."Mas Aldi kamu lahap, sekarang Reno juga kamu layani. Wanita macam apa kamu, Pit!""A ... aku nggak nglakuin itu, Mbak, hiks ... hiks ... hiks ....""Tadi siang apa buktinya, kamu jalan berdua sama mas Aldi?" Ingin sekali aku menampar wajahnya. Wajah polos yang ternyata hanya dipakai untuk mendapat simpati dari orang-orang terdekatnya."Kelakuanmu benar-benar seperti binatang!" Aku menyeka air mata yang membasahi sudut mataku dengan kasar."Udah-udah, ini sudah malam," sahut seorang pria yang menyenderkan tubuhnya di ambang pintu sambil bersedekap santai. "Pertengkarannya bisa dilanjutin besok nggak?"Aku melotot ke arah Reno. "Gila kamu, Ren. Rupanya benar kamu selingkuh dengan adikku!!"Reno menanggapinya dengan santai. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit."Heran aku sama kalian berdua.""Puspa, ini sudah malam," ucap Reno dengan nada malas."Ini masalah serius tau nggak!""Bilang aja kalau lo iri sama adek lo.""Iri matamu picek!" Aku mengumpat kasar."Ssttt!" Reno mengacak-ngacak rambutnya. "Pita, sini kamu tidur sama aku aja."Pria itu dengan santainya menarik tangan Pita untuk keluar dari kamar ini. Dan, hebatnya Pita hanya menurut."Kalian berdua benar-benar, ya?!" Kemarahanku sudah sampai ke ubun-ubun.Reno berdecak. Menghempaskan tangan Pita yang ia genggam. "Dasar, suka iri lo sama adik sendiri!"Reno melangkah dan meraih tanganku. Mengganti tangan Pita dengan tanganku. Menarikku keluar dari kamar, meninggalkan Pita yang terdiam dengan wajah sembabnya.Bukan Pita yang diajak keluar, tapi aku."Kamu mau bawa aku kemana?" protesku. Tangan ini sama sekali tidak bisa digerakkan saat Reno menariknya menaikki tangga.Memasuki kamar. Kemudian menguncinya. Dan membuang kunci itu ke kolong ranjang.Aku membeku seketika."Gila kamu, Reno!""Bilang aja lo mau." Reno berujar santai."Sinting!""Kalau nggak mau, kenapa lo nggak nolak waktu gue tarik ke sini?""Ya, karena, hmm ...."Entahlah, Reno terlihat tampan dengan wajah berantakkan seperti itu.Pria itu mendorongku hingga duduk di atas ranjang."Kamu apa-apaan sih, Reno!" Aku sempat memberontak. Tapi entahlah. Sudah lama aku mendambakkan hal seperti ini dari seorang laki-laki. Mas Aldi, mantan suamiku tidak pernah menyentuhku."Berbaringlah!" bisik Reno terlihat menggoda. Mungkin, aku sudah terhipnotis sehingga menuruti perintah Reno.Reno mendekatkan wajahnya. Lebih dekat lagi. Aku menyipitkan mata. Ciuman pertamaku ....Plak!!"Jerawat lo mau meletus.""Reno!" pekikku dengan suara manja, dilembut-lembutkan. Lihatlah! Aku tidak berdaya dengan nafsuku. Bahkan sudah pasrah jika Reno akan melakukan sesuatu."Lihat jerawat dan badan lo aja gue udah nggak nafsu." Reno menutupi tubuhku dengan selimut."Good sleep, Puspa," ujar pria itu kemudian memundurkan langkah. Dan, membaringkan tubuhnya di sofa yang ada di belakangnya.Pria itu terlihat sangat kelelahan.Aku menghela napas. Tidak berdaya dengan nafsuku sendiri setelah marah-marah."Sebelum lo menyeramahi orang. Lihat dulu, apakah lo mampu untuk tidak melakukan kesalahan, ketika berada di posisi orang itu."Kata-kata itu benar-benar menusuk ulu hatiku. Reno memang benar. Tapi, aku tetap tidak terima adikku dilecehkan. Atau adikku merendahkan harga dirinya sendiri."Sudah berapa kali kamu melakukan itu sama Pita?""Itu nggak penting," jawab Reno di seberang sana. "Sudah, sana tidur!""Gila kamu!""Iya gue gila. Udah berulang-ulang kali juga kan lo nyebut gue gila."Aku mendengkus. Ingin keluar, tapi kuncinya ada di kolong ranjang. Tubuhku tidak akan muat untuk masuk ke dalam kolong mengambil kunci tersebut.Tidak ada sapu atau apapun yang bisa meraih kunci di kolong tersebut. Aku mendengkus.Terdengar suara dengkuran keras Reno saat tidur.Aku tidak bisa tidur. Tentu saja karena masih sangat kesal dengan apa yang dilakukan Pita. Rasanya tidak iklhas. Pita benar-benar keterlaluan.Sudah main dengan Reno, main dengan mas Aldi pula. Argghhh! Rasanya aku sama sekali tidak terima adikku melakukan itu.Selingkuh! Itu hal keji.Teringat dengan ucapan Reno.Mungkin jika aku secantik Pita, aku juga akan selingkuh. Karena kita tidak tahu bagaimana berada di posisi orang yang kita salahkan.Sampailah pada jam 3, akhirnya aku mulai terlelap dengan sendirinya. Dengan beban berat yang ada dalam pikiran.***Aku mengucek-ngucek mata setelah terbangun. Tidur saja rasanya tidak nyenyak karena meratapi nasib Pita, memikirkan harga diri Pita yang diobral oleh laki-laki mana saja. Ya ampun adikku kenapa kamu sehina itu.Aku langsung terbelalak ketika menoleh ke arah Reno yang sedang melaksanakan solat. Mengenakan kemeja koko dengan bawahan sarung tenun, beserta kopiah hitam di atas kepalanya.Pria itu terlihat sangat khusyuk saat bersujud. Aku tidak menyangka, jika orang seperti Reno melaksanakan solat.Aku saja yang merasa sebagai orang baik-baik saja jarang melaksanakan solat. Apalagi Reno yang hobi berzinah.Dengan adikku sendiri.Arghh! Aku menjambak rambutku sendiri karena mengingat hal itu. Emosiku kembali muncul.Tak beberapa lama kemudian, amarah ini meluntur. Saat mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan Reno.Begitu merdu dan menusuk khalbu. Api kebencian yang berkobar di dalam dadaku musnah seperti baru saja disirami oleh air yang sangat sejuk.Reno, kamu kah itu?Aku masih menatapnya lekat-lekat. Tanpa berkedip. Sampai beberapa menit kemudian, Reno berhenti membaca Mushaf."Tidak tertarikah dirimu melakukan kegiatan yang menyenangkan ini?" sindir Reno tajam.Aku langsung terkesiap. "Nggak malu sama Tuhan dengan dosa-dosamu?""Allah maha pengampun, tidak seperti manusia seperti lo yang hatinya sekeras batu," jawab Reno santai tanpa menoleh ke arahku."Orang yang suka zinah solatnya tidak akan diterima.""Tuduhan lo sama sekali tidak berdasar.""Hey, kamu yang ngaku sendiri selingkuh dengan Pita. Aku juga menemukan benda menjijikan itu di kamar yang biasa ditempati Pita tidur saat menginap. Berarti kamu sudah melakukan hal yang tidak-tidak bersama Pita.""Terserah lo, mau bilang apa. Asal lo tahu, ya, kamar itu di tempati oleh siapa aja yang kerja di rumah ini. Termasuk satpam-satpam dan bodyguard yang ngikutin lo. Lo aja baru datang udah gue suruh tidur di situ. Berarti itu kamar free, bukan kamar khusus buat Pita.""Gue kasih tahu lagi, Pita kerja di rumah gue belum lama-lama ini. Itupun dia nggak betah, dan akhirnya nggak pernah berangkat lagi sudah beberapa minggu. Emang sih, dulu dia pernah nginep karena selesai menyetrika terlalu malam. Tapi cuma dua atau tiga hari. Pas gue ngasih kabar kalau lo tinggal di sini, dia mau balik lagi ke sini. Demi lo, Puspa. Pita kerja di sini lagi demi lo."Aku terdiam. Mencerna ucapan Reno.Tapi, rasanya masih sulit dipercaya. Aku yakin Reno hanya mencoba berdalih. Buktinya k*ndom itu?Kalaupun mereka bilang tidak melakukan apa-apa. Aku tetap tidak percaya. Pita saja pernah jalan dengan mas Aldi. Berarti di belakangku Pita bukan anak baik-baik. Apalagi dengan Reno yang orangnya slengean seperti ini."Berada dalam satu kamar seperti ini juga terhitung zinah."Reno menoleh ke arahku dengan wajah malas. "Bilang aja kalau pengen dihalalin?"Aku merapatkan bibir. Kikuk.Reno menghela napas. "Lo nggak pernah tau apa niat seseorang melakukan sesuatu. Makanya manusia itu tidak boleh suudzon.""Niatmu pasti buruk.""Orang yang selalu berprasangka buruk, pasti pikirannya buruk.""Hufft, selain menyebalkan ternyata dirimu suka ceramah, ya?"Reno beranjak sambil melipat sajadah. "Percuma ngomong sama orang yang hatinya udah keras."***Aku membuka kamar Pita. Dia sudah tidak ada. Kata bi Surti, Pita sudah pulang subuh tadi. Aku masih kecewa dengan anak itu.Aku ingin ke rumah anak itu untuk menginterogasinya lagi. Sampai rasa penasaran ini sembuh.Reno sepertinya tahu aku hendak kemana. Pria yang susah dimengerti itu langsung menghadang langkahku."Lo nanti harus kerja.""Iya, kan, jam 10 nanti.""Kalau lo ke rumah Pita, lo nggak bakal balik ke sini lagi.""Aku janji bakalan sampai ke kafemu tepat waktu."Reno memutar bola matanya malas. "Yaudah, jalan kaki.""Nggak jelas aturanmu. Masak apa-apa disuruh jalan kaki. Gila apa, ke sini ke kafemu aja hampir satu jam. Apalagi ke rumah Pita.""Yaudah kalau mau naik mobil. Emangnya lo punya duit?"Aku mendengkus. "Dasar pelit.""Heh, kalau majikan lo bukan gue, udah dipecat kali ya. Nggak sopan banget ngomongnya.""Yaudah pecat aja!""Nanti kalau lo udah bikin rencana gue berhasil.""Rencana apa?" Aku menaikkan sebelah alis."Ngerebut Pita dari Fano."Aku menelan ludah dengan susah payah.Bersambung...KEBANGKITAN PASCA BERCERAI Part 6"Ngrebut Pita dari Fano."Aku menelan ludah dengan susah payah. Emosiku kembali meledak. "Berarti benar kamu udah selingkuh sama Pita!!" Tanganku terkepal. Bersiap melayangkan tamparan. Namun, langsung ditahan oleh Reno dengan sangat mudah. "Selow, elah. Gue sama Pita nggak pernah selingkuh.""Buktinya kamu bilang pengen ngrebut dia dari Fano." Aku menghempaskan tangan Reno yang mencengkram lenganku. "Daripada direbut Aldi?" Reno mengerutkan dahi. "Isshhh! Kalian ini, orang udah punya suami masih aja jadi rebutan." Aku geregetan ingin mencakar-cakar wajah Reno. "Lo tenang aja, Pita bakalan aman kalau sama gue.""Halah, bullshit!!" dengkusku sebal. "Buktinya k*ndom di kamar itu apa? Siapa lagi kalau bukan kamu sama Pita? Pita bilang tidur di situ."Reno melotot. "Heh, lo tinggal di rumah Pita berapa hari?"Aku terdiam. Cukup lama. Bener juga, ya? Hampir dua minggu aku tinggal di rumah Pita. Dan, selama itu pula Pita tidak pernah keluar dari ruma
Yang belum subscribe jangan lupa subscribe, dulu ya. Biar cepet update. ***"Ada apa, Mbak?""Aku pengen membicarakan sesuatu yang penting sama kamu."Fano menaikkan sebelah alis. "Mau pinjem duit? Maaf gue lagi nggak punya duit Mbak."Aku mengerucutkan bibir. "Aku mau ngomongin sesuatu soal Pita."Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, terdengar suara teriakkan dari teman-teman kerja Fano yang saling bersahut-sahutan. "Ciee, Fano disamperin sama pacarnya.""Wah, Fano dihampiri Bude nasi uduk.""Cantik banget, pacar kamu Fano.""Uhuyy, gurih-gurih Nyoi!"Fano melotot tajam ke arah mereka. "Eh, ini kakak ipar gue, yang kemarin gue ceritain."Aku langsung menyela. "Kamu cerita apa ke mereka?"Fano kembali menoleh ke arahku setelah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam. "Kalau Mbak Puspa jelek."Hadeh. Serah ah. Aku langsung kembali ke topik pembicaraan. "Kamu sebenarnya sayang sama Pita nggak, sih?""Sayang, lah, kalau nggak sayang kenapa gue rela kerja banting tulang sa
"Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi. Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri. "Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin. Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar. Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya. "Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur. "
"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe. Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima. Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang." "Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama. "Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan. Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka. Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita? "Itu Pita, ya!" Aku menggeram. Plak!! Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus. "Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung. Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita
Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua. Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja. Ngapain? Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita. "Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya. Dia habis menangis? "Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget. Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap. Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung. "Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar. Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, pad
"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
"Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra
Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k
"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman
"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro
Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku
Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk
Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa