Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.
Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya. Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas. "Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan. "Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet." Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri. Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. Tampak jelas jika Bara udah sangat lelah, sehingga tak butuh waktu lama dia tertidur begitu wajahnya menyentuh bantal. Melihat sang suami tidur dengan sangat pulas, Alisha berjalan memutar ranjang untuk melepaskan sepatu beserta kaos kaki Bara. Tak lupa dia juga menarik selimut hingga menutupi seluruh badan. Sejenak, Alisha menatap wajah Bara yang telah tenang dibuai alam mimpi. Lalu ujung jemari Alisha menyentuh penuh lembut pada rambut yang menghalangi dahi Bara. "Udah tiga tahun kita menikah, Mas. Kamu masih belum juga membuka hati buat aku," gumam Alisha pelan. Dia menarik nafas panjang lalu melanjutkan perkataannya, "Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku akan selalu menunggu cinta darimu, Mas Bara." Satu kecupan Alisha layangkan tepat di pipi kiri Bara. Lantas dia pun mengambil bantal dan selimut untuk tidur di atas karpet. Malam berganti pagi, suara alarm berdering nyaring yang menjadikan Alisha langsung membuka mata. Dia bangkit dari karpet bulu tempat dia tidur setiap malam lalu mulai sibuk mempersiapkan pakaian untuk Bara bekerja. Tak lama, Bara pun ikut terbangun. Dia segera menuju kamar mandi, bersiap untuk bekerja. Selama Bara dan Alisha berada di dalam kamar, sama sekali tak ada satu pun sapaan apalagi percakapan. Mereka berdua sudah mulai terbiasa akan kondisi yang saling acuh setelah menjalaninya selama tiga tahun. Namun, kali ini Alisha mencoba memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang dia pendam sejak semalam. Dia mulai mendekat pada Bara yang sedang merapikan dasi. "Mas." "Hm," sahut Bara tanpa menoleh pada Alisha. "Hari ini kamu sibuk, nggak? Kita ke rumah sakit yuk!" "Kenapa? Kamu sakit? Panggil aja dokter ke rumah. Nggak perlu minta aku buat nganterin kamu. Nggak usah manja, deh." Seketika ucapan Bara itu membuat Alisha menggigit bibir bawah. Meski merasakan perih di hati, sebisa mungkin Alisha tetap menunjukan senyum manisnya. "Bukan, Mas. Bukan aku yang sakit. Tapi aku pengin kita mulai ikut program kehamilan. Gimana, Mas?" Alisha meraih lengan Bara dan menyandarkan kepala di bahu yang tegap itu. "Papa sudah pengin banget punya cucu lho, Mas." "Ck, apaan sih? Progam kehamilan?" Sinis Bara sambil melepaskan ikatan tangan Alisha. "Buang-buang waktu aja!" Tak ingin mendengarkan Alisha yang mulai berbicara tentang kehamilan, Bara pun sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Dia segera meraih tas kantor dan berjalan menuju halaman depan. Dia mengabaikan seruan Alisha yang terus memanggilnya untuk sarapan sejenak. Tepat saat dia sampai di halaman depan, sebuah mobil hitam baru saja melewati gerbang. Dengan senyum sumringah, asisten baru Bara yang bernama Bobi keluar dari mobil dan membungkukan badan memberi hormat. "Selamat pagi, Bos." "Ayo, cepat! Kita berangkat sekarang," ucap Bara seraya membuka pintu mobil hendak masuk ke dalam. "Ngapain buru-buru sih, Bos. Hari ini agenda kita santai, Bos." Seketika Bara melayangkan mata melotot dan raut menahan marah pada Bobi yang masih bisa tersenyum. Alhasil, Bara pun berteriak membentak, "Cepet! Nggak usah cengengesan kayak gitu!" Akibat sikap Bobi yang lelet dalam menanggapi perintah, Alisha pun dapat menyusul ke halaman depan sambil membawa sekotak makanan. Dia menahan mobil yang ditumpangi Bara, lalu membungkukan badan di samping jendela mobil. "Mas, kalau nggak sempet sarapan, ini aku bekelin makanan. Nanti di kantor, dimakan ya!" Alisha menyodorkan kotak makanan berwarna hijau pada Bara. Namun, suaminya itu hanya melirik sekilas tanpa ada minat sedikit pun. "Aku juga udah sediain multivitamin buat kamu, Mas. Supaya kamu nggak gampang sakit." Bara masih terdiam membisu. Menatap penuh kebencian pada Alisha yang masih menggenggam kotak makan. Sementara itu, Bobi yang belum mengerti akan ketidakharmonisan antara Alisha dan Bara hanya bisa menatap bergantian. Lalu dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu tiba-tiba... Plak. Bara memukul tangan Alisha yang seketika membuat kotak makan jatuh dan isinya pun berceceran di lantai batu. Baik Alisha dan Bobi membuka mulut sama-sama terkejut dengan tindakan spontan Bara itu. Apalagi Bobi yang semakin bingung dengan bos barunya. "Nggak usah bikin bekel kayak gitu lagi! Norak! Aku bukan anak kecil!" Bara melempar pandangan pada Bobi yang duduk di kursi pengemudi. "Bobi, cepat jalan!" Dengan gelagapan, Bobi menyalakan mesin mobil. Sedangkan Bara langsung menaikan kaca mobil, berusaha mengabaikan Alisha yang masih setia berdiri menatapnya dengan sorot mata yang layu. Sepanjang jalan, Bobi sesekali melirik pada Bara untuk memastikan jika amarah bosnya sudah agak reda. Setelah melihat raut muka Bara yang sudah tenang, Bobi pun memberanikan diri untuk bertanya. "Bos, maaf sebelumnya," kata Bobi sedikit melirik pada Bara yang duduk di sampingnya. "Kok Bos bisa sekasar itu sama istri Bos sendiri? Apa Bos nggak takut gimana reaksi ayah mertua kalau tahu anaknya diperlakukan seperti tadi?" Sejenak Bara terdiam. Lalu dia berdecih seraya menyeringai. Dia melemparkan pandangan keluar jendela dan berkata, "Ayah mertuaku nggak akan bisa berbuat apa-apa. Dia sudah terkubur di dalam tanah." "Tapi, kalau Bos nggak cinta sama Bu Alisha, kenapa nggak cerai aja dengan cara baik-baik?" Bara menghela nafas, "Nggak semudah itu, Bobi." Kemudian pandangan mata Bara perlahan kosong. Pikirannya melayang akan kejadian tiga tahun yang lalu, ketika Heru tiba-tiba saja memintanya untuk menikahi Alisha yang pada saat itu baru saja kehilangan kedua orang tua. Ketika itu, Bara yang tak tahu apa-apa diminta oleh Heru untuk menemaninya ke rumah sakit menengok salah seorang sahabat yang baru saja mengalami kecelakaan. Sesampainya di rumah sakit, Bara melihat Alisha tengah duduk di bangku lorong sambil menangis. Dan itulah pertemuan pertama Bara dengan Alisha. Di detik-detik akhir hidupnya, ayah Alisha menitipkan Alisha pada Heru. Dari situlah tercetus ide di benak Heru untuk menikahkan Bara dengan Alisha. Agar Alisha menjadi bagian keluarga Heru. "Padahal Bu Alisha itu cantik lho, Bos. Kenapa Bos nggak belajar untuk menerima Bu Alisha aja? Kalau kata Mbok saya, belajar legowo gitu." "Ck, nggak usah sok guruin saya! Dan nggak usah banyak tanya!" Sentak Bara yang mulai merasa tak nyaman dengan arah pembicaraannya dengan Bobi. " Mau kamu dipecat sekarang juga?" "Enggak, Bos. Enggak," Bobi seketika gelagapan, takut akan sorot mata Bara yang kini menatap tajam padanya. "Maaf, Bos. Saya cuma ngasih saran aja, Bos. Kalau Bos nggak suka sama saran saya, ya udah lupain aja." Bobi menelan saliva sambil menatap lurus ke arah jalanan. Mendadak keringat dingin membasahi dahinya bersamaan dengan detak jantung yang berdebar kencang. Sedangkan Bara hanya menyeringai melirik sinis pada sang asisten baru yang sepertinya akan menguras kesabarannya.'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke