Brak Brak Brak
"Ma, tolong buka pintunya!" Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel. Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai. "Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?" "Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu." Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya. Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke arah pembantu yang berdiri tidak jauh dari mobil. "Bi." "Ya, Nyonya," sahut sang pembantu perempuan sambil sedikit membungkukan badan. "Pokoknya Alisha harus ada di dalam gudang sampai pesta selesai. Aku nggak sudi kalau wanita itu gabung di acara keluarga kami," ucap Elin memberi peringatan pada sang pembantu dengan melayangkan tatapan mengancam. "Kalau sampai dia kabur, gaji kamu bulan ini saya potong." Seketika sang pembantu menelan ludah dan matanya pun melotot saking takutnya akan ancaman Elin itu. Tak ada pilihan, sang pembantu pun menganggukkan kepala dengan mantap. "Baik, Nyonya. Saya akan pastikan Nona Alisha tidak akan kabur." "Bagus," ucap Elin sesaat sebelum masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke hotel tempat acara ulang tahun suaminya berlangsung. Sementara itu, Alisha yang masih di dalam gudang, mulai merasakan lelah dan tenggorokan kering. Dia tidak bisa terus menerus berteriak. Dia harus mencari jalan lain. Alisha berbalik badan dan mulai menyisir pandangan, mengamati ke sekeliling gudang yang dipenuhi oleh banyak barang tak terpakai. Alisha mulai memutar otak agar dia dapat keluar. Lalu pandangan Alisha terpaku pada sebuah jendela kecil dengan daun jendela berbahan kayu. Senyum mengembang di bibir Alisha kala dia menyadari jika engsel jendela sudah karatan dan hanya perlu dobrakan yang keras, jendela itu bisa terbuka. Tanpa pikir panjang, Alisha mengobrak-abrik kotak perkakas yang ada di salah satu sudut gudang. Dia mengambil sebuah linggis lalu naik ke atas sebuah meja agar dapat mendobrak jendela. "Bingo," celetuk Alisha kala akhirnya berhasil membuka jendela. Terlebih dahulu dia menyembulkan kepala keluar untuk memeriksa keadaan. Merasa aman dari pantauan Bi Sari, Alisha pun melompat dari jendela. Ketika Alisha berjalan mengendap menuju halaman depan, tiba-tiba saja terdengar suara yang sangat dikenal Alisha. "Nona Alisha?" Sejenak Alisha berdiam sambil menghela nafas lalu memutar badan untuk menatap Bi Sari yang kini juga sedang memandangnya dengan raut muka cemas. "Nona, mau kemana? Jangan pergi, Non! Kalau Nona pergi, gaji Bibi bisa dipotong," Bi Sari memohon memelas pada Alisha dengan kedua tangan bertaut erat. Namun, Alisha hanya menanggapi santai. Dia justru melirik jam arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu berjalan santai ke garasi mobil. "Nona," Bi Sari berteriak memanggil Alisha yang pergi. Tak berhenti di situ, Bi Sari juga berlari menyusul Alisha dan mencegah wanita itu masuk ke dalam mobil. "Nona, tolong kasihani Bibi! Kalau Nona Alisha Dateng ke pesta, Bibi yang kena marah sama Nyonya," Bi Sari mencengkram kuat lengan Alisha menggunakan tangannya yang sudah kedinginan. "Bi," Alisha melepas cengkraman tangan Bi Sari. "Bibi tenang aja. Oke? Kalau gaji Bi Sari dipotong, aku yang bakal ganti. Kalau Mama mertua aku ngomel ke Bi Sari juga jangan didengerin, anggap aja kaset rusak." Tak membuang waktu lama, Alisha langsung masuk ke dalam mobil dan langsung menancapkan gas. Sementara Bi Sari yang tak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya bisa pasrah. Dia membukakan pintu gerbang sambil berdoa dalam hati agar tak mendapatkan amukan dari sang nyonya besar. Di jalanan, Alisha menaikan kecepatan mobil. Dia berpacu dengan waktu karena pesta sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Dalam waktu sepuluh menit, Alisha pun sampai dan segera dia berlari menuju ballroom. Namun, saat beberapa meter lagi menuju pintu, tiba-tiba... Gubrak... "Aw." Alisha merintih kesakitan akibat kakinya yang keseleo. Sekilas dia mengusap penggelangan kaki kiri lalu bangkit berdiri sembari menahan rasa sakit. "Are you oke?" Alisha mendengar suara seorang pria yang melihatnya jatuh dan berlari hendak membantu. Akan tetapi Alisha memberi isyarat tangan bahwa dia tidak apa-apa dan dia pun berjalan dengan sedikit tertatih. Masuk ke dalam ballroom yang riuh akan tamu undangan, Alisha berdiam diri sejenak mencari keberadaan Heru, sang ayah mertuanya. Namun, yang Alisha lihat justru adalah Elin. Ibu mertuanya itu juga tak sengaja menoleh pada Alisha. Kedua matanya membulat tampak terkejut akan kehadiran Alisha di pesta. Lantas Elin pun berjalan mendekati Alisha sambil tengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat ke arahnya. "Kamu kok bisa keluar, sih? Kamu mau ngapain di sini? Nggak ada yang peduli sama kamu di sini. Pulang sana!" "Nggak, Ma. Aku juga bagian dari keluarga Hermawan. Aku berhak ada di sini." "Ck. Ngeyel banget kamu ya!" Tepat saat itu, Elin melihat Bara tak jauh darinya. Sehingga Elin pun memanggil anak semata wayangnya itu untuk mendekat. "Ada apa, Ma?" Bara bertanya kala telah sampai di hadapan sang ibu. "Nih, istri kamu! Ngapain dia di sini? Kamu bawa pergi aja gih. Malu-maluin aja." Bara melirik sekilas pada Alisha dengan raut datar. Seolah jika Alisha bukan sesuatu yang harus dia perdulikan. Lalu Bara pun menghela nafas pendek dan memutar bola mata. "Ya, biarin aja lah, Ma. Dia kan sudah biasa cari muka di depan Papa," ucap Bara yang detik selanjutnya hendak melangkah meninggalkan Alisha. "Mas Bara, tadi aku keseleo," tutur Alisha berharap jika pria yang berstatus suaminya itu akan menunjukan setitik kepedulian. Namun, Bara sama sekali tidak menoleh sedikit pun pada Alisha. Dia terus melanjutkan langkah kakinya menjauh darinya. Berpura-pura tidak mendengar, padahal Alisha sangat yakin jika suaranya cukup lantang. "Awas kamu ya! Jangan bertingkah memalukan di pesta ini! Banyak tamu-tamu penting di sini," Elin memperingatkan Alisha sebelum dia akhirnya pun pergi bergabung dengan geng arisannya. Meski tak mendapatkan penerimaan dari suami dan ibu mertua, Alisha berusaha untuk tidak peduli dan kembali pada tujuan utama dia datang ke pesta. Dia menyapu pandangan ke sekeliling, mencari sosok pria lima puluh tahunan dengan berewok yang tebal dan badan yang tegap. Tak perlu waktu lama, Alisha berhasil menemukan Heru, sang ayah mertua, yang tengah mengobrol dengan beberapa tamu. Dia pun berjalan mendekat, berniat memberikan kado ulang tahun yang sudah dia siapkan di saku gaunnya. Dan ketika sudah berada beberapa langkah di belakang Heru, Alisha dapat mendengar sang ayah mertua bercerita, "Saya pengin banget dapet cucu tahun ini. Bahkan saya sudah janji sama diri saya sendiri, kalau misalnya menantu saya hamil, saya akan naikan gaji semua karyawan." Kemudian Heru tertawa lepas. Tampak sekali jika Heru belum menyadari keberadaan Alisha yang berada tepat di belakangnya. Ucapan Heru tadi membuat Alisha seketika membeku. Mendadak dia menjadi canggung dan seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati. "Pa," Alisha berusaha memberanikan diri menyapa. Membuat Heru seketika membalikkan badan. "Alisha? Kamu dari mana saja? Kenapa baru datang?" Sederet pertanyaan meluncur dari mulut Heru denggan tatapan mata cemas. Sudah sangat jelas di mata Alisha jika sang ayah mertuanya itu sangat menantikan kehadirannya. Setitik sikap perhatian itu, menjadikan Alisha melengkungkan senyum manis. Meski dia tidak disenangi oleh suami dan ibu mertua, setidaknya ada Heru yang membuat Alisha merasa dihargai. "Happy birthday, Pa. Ini kado dari aku," Alisha mengulurkan kotak hitam yang langsung diterima oleh Heru. Tak hanya itu, Heru juga langsung memeluk Alisha dan memperkenalkannya pada beberapa tamu yang sejak tadi mengobrol dengan Heru. Alisha menundukkan kepala sambil tersenyum sebagai salam perkenalan. Namun, respon yang dia dapatkan adalah sorot mata sinis. Mereka menatap Alisha dari bawah hingga ke atas, seolah sedang meneliti setiap detail tubuh Alisha. Merasa tak nyaman, Alisha memilih untuk menarik diri. Dia beralasan pada Heru jika dirinya ingin mencari udara segar. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, sebuah suara tak mengenakan terdengar di telinganya. "Oh jadi dia istrinya Pak Bara. Biasa aja ya?" "Iya. Mana nggak hamil-hamil. Terpaksa deh kita nggak naik gaji," canda salah seorang. "Kayaknya dia mandul. Kalau aku jadi Pak Bara sih mending cari istri baru." Kedua tangan Alisha mengepal kuat. Kalau bukan sedang di acara pesta, Alisha pasti sudah menonjok muka dua orang pria yang tengah membicarakannya itu. Sehingga Alisha pun tetap melangkah dengan wajah menahan amarah.Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke