Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.
Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu. Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya. "Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang. "Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini." Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar. Tak mau kalah, Alisha juga menarik lengan Bara. "Ayo, Mas! Kita pulang." Akan tetapi, tiba-tiba Bara menepis tangan Alisha yang membuat Alisha membulatkan mata karena terkejut. Seakan tak percaya, Alisha pun mulai kehilangan kendali. "Mas!" teriak Alisha yang otomatis menjadikan dirinya pusat perhatian di restoran itu. Alisha tampak tidak peduli akan tatapan belasan orang yang mengarah padanya. Namun, sepertinya Bara sangat tidak nyaman dengan hal itu. Segera Bara menarik tangan Alisha untuk keluar dari restoran. Di sudut halaman depan yang aman dari pandangan manusia, Bara melepaskan cengkraman tangannya. Bara melemparkan tatapan dingin. Begitu pula Alisha yang sama tajamnya. "Kamu apa-apaan sih? Bikin malu aja!" "Kamu yang apa-apaan, Mas. Ngapain coba kamu sok deket sama wanita itu," Alisha berkata sambil berteriak menumpahkan kekesalannya yang sejak tadi dipendam. "Kita tuh liburan di sini supaya hubungan kita makin deket, Mas. Bukannya malah kamu bernostalgia sama mantan kamu." Dengan cepat, Bara mengacungkan jari telunjuknya sebagai isyarat untuk mengancam Alisha. "Hei, denger ya, Al! Aku sama Vee emang deket sekalipun dia udah jadi mantan aku dan kamu nggak berhak untuk ngatur-ngatur aku." "Kamu inget nggak, Mas? Selama ini, aku nggak pernah ngatur hidup kamu. Tapi minta satu dari kamu, jangan deketin wanita itu! Aku nggak suka." Bara berdecih sambil berkacak pinggang. "Terserah kamu deh. Yang penting sekarang kamu pulang, aku mau nganter Vee dulu." "Apa?" Alisha mendengus tak percaya akan pilihan Bara. "Kamu lebih milih nganter wanita lain dan ngebiarin istri kamu sendiri jalan kaki? Tega kamu ya, Mas!" Bara sama sekali tak menggubris ucapan Alisha. Dia melangkah pergi begitu saja, menghampiri Vee yang sudah menunggunya di samping sebuah mobil. Alisha menggeram kesal melihat Bara masuk ke dalam mobil milik Vee dan kemudian pergi meninggalkan halaman restoran. Tak mau pasrah dengan keadaan, secepat mungkin Alisha menghentikan sebuah taksi yang ada di seberang jalan. Dia naik taksi itu dan menyuruh sang supir untuk membuntuti mobil Vee. Pandangan Alisha tak pernah berpaling sedetik pun dari mobil hitam yang tepat beberapa meter di depannya. Tak lama, Alisha baru menyadari jika sejak tadi mobil Vee hanya memutari jalan. Setelah itu, mobil milik Vee berhenti di depan sebuah hotel yang sebenarnya tidak jauh dari hotel tempat Alisha menginap. Menyadari jika Vee berbohong hanya untuk mendapatkan perhatian Bara, membuat amarah Alisha semakin bergejolak. Dia membayar tarif taksi dan segera turun dari mobil. Dengan langkah secepat kilat, Alisha berjalan hendak menghampiri Bara yang masih ada di dalam mobil. Tampak dari kaca jendela, Bara tengah berbicara dengan Vee membahas sesuatu yang serius. Ingin rasanya, Alisha menarik tangan Bara dan menjauhkannya dari wanita pengganggu itu. Namun, mendadak ayunan langkah Alisha terhenti kala melihat Bara dan Vee berciuman di dalam sana. Detak jantung Alisha seolah berhenti dan seakan ada sesuatu yang menemukan hatinya. Kedua bola mata Alisha seketika berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saking kuatnya menahan marah. Lalu dia kembali berjalan dan membuka pintu mobil. Ditariknya kerah kemeja Bara yang membuat pria itu terpaksa keluar dari mobil dan kemudian... Plak! Alisha menampar pipi kiri Bara dengan sekuat tenaga hingga meninggalkan bekas merah. Kini air mata Alisha sudah berderai membasahi pipi. Sedangkan Bara hanya memegangi pipinya sambil menatap Alisha penuh rasa tak percaya. "Aku benci sama kamu, Bara Hermawan!" teriak Alisha yang kemudian berbalik badan dan berlari. Masih membeku di tempat, Bara hanya memandang Alisha pergi tanpa ada satu pun langkah untuk menyusul. Sementara itu, Vee yang menjadi saksi atas penamparan Bara, langsung keluar dari mobil dan menghampiri Bara. Vee menunjukan raut wajah penuh khawatir sambil mengusap pipi Bara. "Bara kamu nggak apa-apa?" Hanya itu ucapan yang bisa didengar Alisha sebelum dia berlari semakin kencang. Dia terisak sepanjang jalan sampai dia pun menyadari jika beberapa orang menoleh ke arahnya. Maka dengan cepat, Alisha mengusap kedua pipinya. Dia tak mau menjadi pusat perhatian banyak orang karena menangis sambil berlari layaknya adegan drama di televisi. Tepat saat itu, Alisha menjumpai sebuah kedai minum kecil namun cukup terang dengan lampu-lampu yang menggantung di atasnya. Tak perlu pikir panjang, Alisha pun memutuskan untuk masuk ke sebuah kedai minum itu. Dia duduk di salah satu kursi dan beberapa detik kemudian seorang pelayan pria menghampirinya. "Permisi, mau pesan apa, Kak?" "Apa aja yang penting bisa bikin aku tenang," ucap Alisha seraya menunduk memijat kening kepalanya yang mulai terasa pening. "Baik, Kak. Ditunggu sebentar," pelayan itu pergi hanya dalam beberapa menit. Lalu kembali lagi sambil membawa sebuah botol minuman kaca beserta dengan gelasnya. "Silahkan, Kak." Alisha tidak melihat tulisan yang tertera di botol itu. Dia bahkan menenggak langsung ke mulut, tanpa menuangkannya ke dalam gelas terlebih dahulu. Alisha minum layaknya orang yang sedang kehausan di tengah padang pasir. Begitu minuman di dalam botol habis, dia mengangkat tangan, memanggil pelayan. "Aku mau satu botol lagi," teriak Alisha dengan mata sayu dan kedua pipi yang memerah. Minuman kedua datang dan baru akan Alisha minum ketika tiga pemuda datang ke mejanya. Pria itu duduk mengelilingi Alisha yang kini pandangannya mulai kabur sehingga dia perlu mengernyitkan mata agar dapat melihat wajah mereka dengan jelas. "Hai, cantik, boleh kenalan, nggak?" ucap salah satu pemuda yang berada tepat di hadapan Alisha. "Siapa kalian?" tanya Alisha masih belum bisa mengenali orang yang ada di depannya. "Kita berniat baik, kok. Cuma mau nemenin kamu," ucap pria kedua. "Nggak perlu! Pergi sana!" Alisha mengibaskan tangan meminta agar ketiga pria itu pergi. "Jangan gitu dong, cantik! Kita lihat kamu kayak lagi ada masalah. Kenapa? Cerita dong sama kita," pria ketiga tak hanya mendekatkan diri pada Alisha tetapi juga mencolek dagunya. Secara reflek, Alisha menepis dan mendorong pria itu. Dia ingin sekali menghajar tapi apa daya, tubuhnya sangat lemah dan lagi kepalanya terasa sangat pusing seolah sedang berada di komedi putar. "Jangan macam-macam, kalian ya! Atau aku akan teriak!" Alisha mengucapkan kalimat ancaman dengan jari yang menunjuk entah kemana. Menjadikan ketiga pria itu saling memandang satu sama lain sambil menyunggingkan senyum licik. Mereka tahu jika Alisha sedang mabuk berat dan tidak akan sadar jika dirinya dibawa ke suatu tempat. Ketika salah salah seorang pemuda ingin memapah Alisha, tiba-tiba ada sebuah tangan menarik kaosnya dari belakang dan tanpa dielakan sebuah tinju mendarat tepat di hidungnya. Sontak kedua pria lain pun terkejut akan kedatangan pria asing yang memukul temannya. Mereka langsung berdiri untuk membalas perbuatan pria itu. Sedangkan Alisha mengerjakan mata beberapa kali agar dapat melihat dengan jelas. Di tengah penglihatannya yang berkunang-kunang, dia menyadari jika pria yang baru saja datang adalah Bara. Alisha menyaksikan Bara, suami yang dingin dan cuek itu, berkelahi agar dirinya tidak diganggu oleh segerombolan pria hidung belang. Merasa tak percaya, Alisha hanya tertawa dingin lalu meletakan kepala yang sudah sangat berat ke atas meja. "Pasti ini cuma mimpi. Mana mungkin Bara begitu," gumam Alisha seraya menonton perkelahian tiga lawan satu dengan raut muka santai. Beberapa orang pelayan kedai berdatangan untuk memisahkan Bara yang sudah duduk di atas tubuh pemuda yang terkapar di lantai. Dia hendak melayangkan tinju, namun seorang pelayan lebih dulu menarik tubuh Bara. "Berhenti! Kalau ingin berantem jangan di sini!" teriak seseorang yang sepertinya adalah bos kedai minum. "Mereka dulu yang ganggu istri saya!" Bara berteriak menunjuk ketiga pria yang kini berwajah benjol dengan warna ungu kebiruan. "Salah siapa, istri sendiri dibiarin minum di tempat seperti ini." Merasa tak terima, Bara maju satu langkah, ingin kembali menonjok pria itu. Akan tetapi sekali lagi pelayan kedai menahan badannya. "Sudah. Sudah. Sekarang bubar! Jangan bikin ribut di sini!" Alisha melihat dengan samar-samar Bara berbalik badan dan mendekati dirinya. Dia mengulurkan tangannya pada Alisha sambil berkata, "Ayo kita pulang."Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke