Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.
Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu. Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya. "Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang. "Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini." Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar. Tak mau kalah, Alisha juga menarik lengan Bara. "Ayo, Mas! Kita pulang." Akan tetapi, tiba-tiba Bara menepis tangan Alisha yang membuat Alisha membulatkan mata karena terkejut. Seakan tak percaya, Alisha pun mulai kehilangan kendali. "Mas!" teriak Alisha yang otomatis menjadikan dirinya pusat perhatian di restoran itu. Alisha tampak tidak peduli akan tatapan belasan orang yang mengarah padanya. Namun, sepertinya Bara sangat tidak nyaman dengan hal itu. Segera Bara menarik tangan Alisha untuk keluar dari restoran. Di sudut halaman depan yang aman dari pandangan manusia, Bara melepaskan cengkraman tangannya. Bara melemparkan tatapan dingin. Begitu pula Alisha yang sama tajamnya. "Kamu apa-apaan sih? Bikin malu aja!" "Kamu yang apa-apaan, Mas. Ngapain coba kamu sok deket sama wanita itu," Alisha berkata sambil berteriak menumpahkan kekesalannya yang sejak tadi dipendam. "Kita tuh liburan di sini supaya hubungan kita makin deket, Mas. Bukannya malah kamu bernostalgia sama mantan kamu." Dengan cepat, Bara mengacungkan jari telunjuknya sebagai isyarat untuk mengancam Alisha. "Hei, denger ya, Al! Aku sama Vee emang deket sekalipun dia udah jadi mantan aku dan kamu nggak berhak untuk ngatur-ngatur aku." "Kamu inget nggak, Mas? Selama ini, aku nggak pernah ngatur hidup kamu. Tapi minta satu dari kamu, jangan deketin wanita itu! Aku nggak suka." Bara berdecih sambil berkacak pinggang. "Terserah kamu deh. Yang penting sekarang kamu pulang, aku mau nganter Vee dulu." "Apa?" Alisha mendengus tak percaya akan pilihan Bara. "Kamu lebih milih nganter wanita lain dan ngebiarin istri kamu sendiri jalan kaki? Tega kamu ya, Mas!" Bara sama sekali tak menggubris ucapan Alisha. Dia melangkah pergi begitu saja, menghampiri Vee yang sudah menunggunya di samping sebuah mobil. Alisha menggeram kesal melihat Bara masuk ke dalam mobil milik Vee dan kemudian pergi meninggalkan halaman restoran. Tak mau pasrah dengan keadaan, secepat mungkin Alisha menghentikan sebuah taksi yang ada di seberang jalan. Dia naik taksi itu dan menyuruh sang supir untuk membuntuti mobil Vee. Pandangan Alisha tak pernah berpaling sedetik pun dari mobil hitam yang tepat beberapa meter di depannya. Tak lama, Alisha baru menyadari jika sejak tadi mobil Vee hanya memutari jalan. Setelah itu, mobil milik Vee berhenti di depan sebuah hotel yang sebenarnya tidak jauh dari hotel tempat Alisha menginap. Menyadari jika Vee berbohong hanya untuk mendapatkan perhatian Bara, membuat amarah Alisha semakin bergejolak. Dia membayar tarif taksi dan segera turun dari mobil. Dengan langkah secepat kilat, Alisha berjalan hendak menghampiri Bara yang masih ada di dalam mobil. Tampak dari kaca jendela, Bara tengah berbicara dengan Vee membahas sesuatu yang serius. Ingin rasanya, Alisha menarik tangan Bara dan menjauhkannya dari wanita pengganggu itu. Namun, mendadak ayunan langkah Alisha terhenti kala melihat Bara dan Vee berciuman di dalam sana. Detak jantung Alisha seolah berhenti dan seakan ada sesuatu yang menemukan hatinya. Kedua bola mata Alisha seketika berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saking kuatnya menahan marah. Lalu dia kembali berjalan dan membuka pintu mobil. Ditariknya kerah kemeja Bara yang membuat pria itu terpaksa keluar dari mobil dan kemudian... Plak! Alisha menampar pipi kiri Bara dengan sekuat tenaga hingga meninggalkan bekas merah. Kini air mata Alisha sudah berderai membasahi pipi. Sedangkan Bara hanya memegangi pipinya sambil menatap Alisha penuh rasa tak percaya. "Aku benci sama kamu, Bara Hermawan!" teriak Alisha yang kemudian berbalik badan dan berlari. Masih membeku di tempat, Bara hanya memandang Alisha pergi tanpa ada satu pun langkah untuk menyusul. Sementara itu, Vee yang menjadi saksi atas penamparan Bara, langsung keluar dari mobil dan menghampiri Bara. Vee menunjukan raut wajah penuh khawatir sambil mengusap pipi Bara. "Bara kamu nggak apa-apa?" Hanya itu ucapan yang bisa didengar Alisha sebelum dia berlari semakin kencang. Dia terisak sepanjang jalan sampai dia pun menyadari jika beberapa orang menoleh ke arahnya. Maka dengan cepat, Alisha mengusap kedua pipinya. Dia tak mau menjadi pusat perhatian banyak orang karena menangis sambil berlari layaknya adegan drama di televisi. Tepat saat itu, Alisha menjumpai sebuah kedai minum kecil namun cukup terang dengan lampu-lampu yang menggantung di atasnya. Tak perlu pikir panjang, Alisha pun memutuskan untuk masuk ke sebuah kedai minum itu. Dia duduk di salah satu kursi dan beberapa detik kemudian seorang pelayan pria menghampirinya. "Permisi, mau pesan apa, Kak?" "Apa aja yang penting bisa bikin aku tenang," ucap Alisha seraya menunduk memijat kening kepalanya yang mulai terasa pening. "Baik, Kak. Ditunggu sebentar," pelayan itu pergi hanya dalam beberapa menit. Lalu kembali lagi sambil membawa sebuah botol minuman kaca beserta dengan gelasnya. "Silahkan, Kak." Alisha tidak melihat tulisan yang tertera di botol itu. Dia bahkan menenggak langsung ke mulut, tanpa menuangkannya ke dalam gelas terlebih dahulu. Alisha minum layaknya orang yang sedang kehausan di tengah padang pasir. Begitu minuman di dalam botol habis, dia mengangkat tangan, memanggil pelayan. "Aku mau satu botol lagi," teriak Alisha dengan mata sayu dan kedua pipi yang memerah. Minuman kedua datang dan baru akan Alisha minum ketika tiga pemuda datang ke mejanya. Pria itu duduk mengelilingi Alisha yang kini pandangannya mulai kabur sehingga dia perlu mengernyitkan mata agar dapat melihat wajah mereka dengan jelas. "Hai, cantik, boleh kenalan, nggak?" ucap salah satu pemuda yang berada tepat di hadapan Alisha. "Siapa kalian?" tanya Alisha masih belum bisa mengenali orang yang ada di depannya. "Kita berniat baik, kok. Cuma mau nemenin kamu," ucap pria kedua. "Nggak perlu! Pergi sana!" Alisha mengibaskan tangan meminta agar ketiga pria itu pergi. "Jangan gitu dong, cantik! Kita lihat kamu kayak lagi ada masalah. Kenapa? Cerita dong sama kita," pria ketiga tak hanya mendekatkan diri pada Alisha tetapi juga mencolek dagunya. Secara reflek, Alisha menepis dan mendorong pria itu. Dia ingin sekali menghajar tapi apa daya, tubuhnya sangat lemah dan lagi kepalanya terasa sangat pusing seolah sedang berada di komedi putar. "Jangan macam-macam, kalian ya! Atau aku akan teriak!" Alisha mengucapkan kalimat ancaman dengan jari yang menunjuk entah kemana. Menjadikan ketiga pria itu saling memandang satu sama lain sambil menyunggingkan senyum licik. Mereka tahu jika Alisha sedang mabuk berat dan tidak akan sadar jika dirinya dibawa ke suatu tempat. Ketika salah salah seorang pemuda ingin memapah Alisha, tiba-tiba ada sebuah tangan menarik kaosnya dari belakang dan tanpa dielakan sebuah tinju mendarat tepat di hidungnya. Sontak kedua pria lain pun terkejut akan kedatangan pria asing yang memukul temannya. Mereka langsung berdiri untuk membalas perbuatan pria itu. Sedangkan Alisha mengerjakan mata beberapa kali agar dapat melihat dengan jelas. Di tengah penglihatannya yang berkunang-kunang, dia menyadari jika pria yang baru saja datang adalah Bara. Alisha menyaksikan Bara, suami yang dingin dan cuek itu, berkelahi agar dirinya tidak diganggu oleh segerombolan pria hidung belang. Merasa tak percaya, Alisha hanya tertawa dingin lalu meletakan kepala yang sudah sangat berat ke atas meja. "Pasti ini cuma mimpi. Mana mungkin Bara begitu," gumam Alisha seraya menonton perkelahian tiga lawan satu dengan raut muka santai. Beberapa orang pelayan kedai berdatangan untuk memisahkan Bara yang sudah duduk di atas tubuh pemuda yang terkapar di lantai. Dia hendak melayangkan tinju, namun seorang pelayan lebih dulu menarik tubuh Bara. "Berhenti! Kalau ingin berantem jangan di sini!" teriak seseorang yang sepertinya adalah bos kedai minum. "Mereka dulu yang ganggu istri saya!" Bara berteriak menunjuk ketiga pria yang kini berwajah benjol dengan warna ungu kebiruan. "Salah siapa, istri sendiri dibiarin minum di tempat seperti ini." Merasa tak terima, Bara maju satu langkah, ingin kembali menonjok pria itu. Akan tetapi sekali lagi pelayan kedai menahan badannya. "Sudah. Sudah. Sekarang bubar! Jangan bikin ribut di sini!" Alisha melihat dengan samar-samar Bara berbalik badan dan mendekati dirinya. Dia mengulurkan tangannya pada Alisha sambil berkata, "Ayo kita pulang."Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
"Aaaa Gina. Kenapa aku bodoh banget? Aku malu banget sumpah," Alisha meraung sambil memukul meja cafe.Sementara itu, Gina menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat keadaan sekitar. Dilihatnya riuh orang yang berbicara di dalam cafe membuat tak ada yang mendengarkan cerita Alisha.Lalu dia mencondongkan badan dan berbisik, "Jangan keras-keras ngomongnya! Nanti kedengeran. Salah sendiri kenapa kamu mabuk malam itu?""Aku nggak tahu kalau yang dikasih sama pelayan itu ternyata bir, Na," Alisha mengeluh dan menepuk jidatnya mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat dia berlibur dengan Bara."Terus, reaksi Bara waktu kalian bangun pagi harinya gimana?" "Dia marah besar, Na. Bara malah nyalahin aku. Ngomel-ngomelin aku yang mabuk sampai lupa diri dan ya... Sekarang kita diem-dieman lagi kayak biasa."Alisha menyeruput minumannya untuk menenangkan diri. Kemudian dia menyadari gelagat Gina yang membungkukkan badan serta menutup wajah dengan buku menu.Merasa heran akan tingkah Gina yang
Bara memasuki ruangan kerja setelah selesai melakukan rapat dengan jajaran direksi. Perhatian Bara langsung tertuju pada beberapa berkas yang ada di meja, sehingga dia tak menyadari ada seseorang yang telah duduk di sofa, tengah memperhatikannya.Seseorang itu sengaja berdeham yang memancing perhatian Bara. Begitu menoleh, Bara tampak terkejut melihat Vee yang sudah duduk di sudut ruangan.Dia sempat melirik ke arah pintu dan menerawang sudah sejak kapan Vee berada di ruangannya."Hai, Bara. Lagi sibuk ya?" Sapa Vee sambil berjalan mendekat."Kenapa kamu bisa ada di sini?"Vee tersenyum seraya menarik nafas. "Ya, tadi aku lihat sekertaris kamu lagi sibuk. Jadi aku menyelinap masuk ke sini. Oh ya, ini kan sudah jam istirahat. Kita makan di luar yuk."Bara menggelengkan kepala, duduk di kursi kerjanya, lalu membuka laptop, "Nggak bisa. Aku lagi sibuk.""Kamu masih marah ya sama aku? Soal tempo hari aku meluk kamu. Aku minta maaf, Ra. Kemarin itu aku kelepasan. Aku sadar harusnya aku ngg
Sepulang kerja, Alisha tertegun begitu melihat mobil Bara sudah terparkir di halaman depan rumah. Dia merasa heran sebab sangat jarang bahkan hampir tidak pernah Bara pulang secepat itu.Perlahan Alisha berjalan memasuki rumah. Sayup-sayup dia mendengar suara orang berbicara. Rupanya Elin dan Bara sedang mengobrol di ruang tengah.Alisha sengaja tidak menghampiri mereka dan lebih memilih tetap diam di ambang pintu. Dia penasaran akan apa yang sedang dibicarakan oleh suami dan juga mertuanya."Bara, Sayang. Kamu pengin bahagia kan? Dan kamu cuma bahagia kalau sama Vee. Jadi Mama bakal dukung kamu supaya kamu balik lagi sama Vee. Soal Papa biar Mama yang tangani. Mama lakuin ini supaya kamu bahagia, Ra."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Alisha terdiam seribu bahasa. Dadanya terasa sesak untuk bernafas dan seperti ada yang mengiris dari dalam."Tuh lihat diri kamu sendiri. Sejak menikah, Mama lihat kamu itu kayak orang depresi, tahu nggak? Udah deh. Mama bakal atur makan malam b
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
"Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru