Beberapa saat sebelumnya.
"Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap. Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman. Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee. "Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?" Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan." "Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna. "Terus?" Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri. Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu mobil terbuka dan Bara merasakan ada seseorang yang menariknya keluar. Bara melihat Alisha yang sudah dengan mata memerah dan berkaca-kaca, berdiri di depannya menampilkan raut muka garang. Lalu satu tamparan mengenai pipinya. Wanita itu menangis histeris sambil meneriaki Bara. Hingga akhirnya dia berlari pergi. Bara yang masih kaget dengan apa yang telah terjadi, hanya bisa berdiri mematung. Dia mengusap pipi kirinya yang memerah dan terasa perih. Kemudian Vee keluar dari dalam mobil, berjalan menghampiri Bara untuk memastikan kondisi Bara baik-baik saja. "Kamu nggak apa-apa, Ra?" tanya Vee seraya memperhatikan bekas tamparan di pipi Bara. Vee menoleh ke arah perginya Alisha, lalu kembali memandang Bara dengan muka masam. "Istri kamu kurang ajar banget sih, Ra. Udah deh, mending kamu ceraikan aja Alisha. Toh, lagian kamu nggak cinta sama dia, kan?" Bara terdiam, tak mau menanggapi ucapan Vee. Dia memutuskan untuk mengejar Alisha. Akan tetapi lagi-lagi Vee berhasil menahan pergelangan tangan Bara. "Kamu mau kemana, Ra? Kamu mau ngejar Alisha? Buat apa?" Nada bicara Vee mulai terdengar kesal begitu melihat raut khawatir di wajah Bara. "Vee, please, lepasin tangan aku!" Bara menarik tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Vee. "Ra, aku tuh masih sayang sama kamu," ungkap Vee lantang dan berhasil membuat Bara yang semula sudah melangkahkan kaki, tiba-tiba menjadi diam membisu. Vee berjalan mendekat lalu memeluk Bara dari arah belakang. Dia memeluknya erat sambil berbisik, "Aku sayang sama kamu, Ra. Andai dulu kamu berjuang sedikit saja buat hubungan kita pasti sekarang kita sudah menikah. Aku kangen peluk kamu kayak gini." Akan tetapi Bara bergeming selama beberapa saat dan tanpa diduga oleh Vee, Bara melepaskan pelukan tangan. Dia melanjutkan berjalan untuk menyusul Alisha. Berusaha menghiraukan Vee yang terisak di belakang sana. Bara mencoba untuk membuang semua pikiran yang mengganggu benaknya sambil mempercepat langkah kaki. Dia sudah kehilangan jejak Alisha tapi dia yakin jika Alisha tidak akan pergi jauh dari area itu. Bara terus berjalan setengah berlari dengan kepala yang menoleh ke kanan dan kiri. Nafasnya terengah ketika dia hampir saja menyerah. Hingga akhirnya, Bara melihat ada sebuah kedai minum. Melalui jendela kaca kedai itu, dia dapat melihat Alisha yang tengah duduk bersama tiga orang pria dan dua botol minuman berakohol ada di atas meja. Seketika Bara mengepalkan tangan karena geram melihat Alisha yang mabuk dengan dikerubungi oleh pria hidung belang. Tanpa pikir panjang, dia menerobos masuk ke dalam kedai minum. Benaknya yang sudah tidak mampu berpikir jernih langsung menarik laki-laki yang hendak menyentuh Alisha. Lalu satu bogem mentah dilayangkan pada pria itu. Salah satu temannya tidak terima dan berniat memukul Bara dari arah samping. Untung saja insting Bara sangat kuat, dia menggeserkan sedikit badannya dan berhasil menangkap serta memelintir tangan pria kedua. Si pria ke dua menjerit kesakitan lalu Bara mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Pria ketiga tampak ketakutan melihat kedua temannya namun dia memberanikan diri melayangkan tangan untuk meninju perut Bara. "Kamu pikir kamu bisa mengalahkan aku?" tanya Bara ketika berhasil menangkis serangan dari pria ketiga dan dengan gerakan yang cepat dia berhasil membanting badan si pria ketiga. Perkelahian tiga lawan satu pun tak dapat dielakan, hingga akhirnya salah seorang pria yang tampaknya adalah pemilik kedai datang melerai. Dengan gaya yang angkuh, sang pemilik kedai mengusir ketiga pria dan juga Bara agar segera angkat kaki dari kedainya. Bara pun menghampiri Alisha yang sudah berpenampilan tak karuan. Rambut acak-acakan, pipi yang memerah, mata sayu dan yang paling parah adalah bau alkohol yang menyerukan dari nafas Alisha. "Ayo, kita pulang!" ucap Bara yang kemudian memapah Alisha keluar dari kedai. Tak punya pilihan lain, Bara harus memesan taksi menuju hotel. Di dalam taksi Alisha menempelkan dagu di bahu Bara yang tetap lurus memandang ke depan. Tangan Alisha bergerak memainkan rambut halus yang tumbuh rapi di sekitar rahang Bara. Lalu Alisha terkikik geli yang membuat Bara mengerutkan alis heran. "Hai, kamu, kenapa mirip banget sama suami aku?" gumam Alisha memandang wajah Bara dengan mata setengah terpejam. Bara menghela nafas. Menggelangkan kepala mendapati tingkah konyol Alisha saat mabuk berat. "Kamu tampan juga ya? Tapi lebih tampan suami aku sih?" Plak. Alisha memukul pipi Bara untuk kedua kalinya. Namun, bukan merasa bersalah, Alisha justru tertawa lepas melihat Bara mengaduh. "Hehe sakit ya? Tadi aku habis nampar suami aku kayak gitu?" "Pak, tolong lebih cepat, Pak!" titah Bara pada sang supir taksi yang sudah tak tahan berada di dekat Alisha. Sampai di depan hotel, Bara segera menarik Alisha menuju kamar. Namun, di sepanjang jalan Alisha melambaikan tangan dan menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. "Hai, kakak resepsionis. Hai, pak security. Halo, pak..." "Alisha, diam!" Bara membentak dengan mata yang melotot hampir keluar dari tempatnya. "Kamu itu bikin malu aja." Seketika Alisha menekankan jari telunjuk ke bibir Bara agar pria itu diam. "Psst! Kamu tahu nama aku dari siapa, hah? Kamu paranormal ya?" Bara menarik nafas dalam. Mencoba untuk tidak meluapkan emosi di depan lobby hotel. Segera dia memapah Alisha dan mempercepat langkah kakinya menuju lift. Dan begitu berhasil masuk ke dalam kamar, Bara langsung mengunci pintu dan membanting Alisha ke atas ranjang. Kini saatnya Bara dapat melampiaskan semua amarah pada wanita yang sangat menguji kesabarannya itu. "Heh, Alisha, kamu itu ya? Malu-maluin aja. Gimana kalau tadi ada rekan kerja Papa yang lihat kamu mabuk? Kamu mau nama baik Papa tercemar?" Bukannya mencerna ucapan Bara, Alisha justru berdecak kesal sambil mengibaskan tangannya ke udara bagaikan seseorang yang sedang mengusir lalat. "Udah deh. Jangan banyak omong! Aku mau tidur tapi kok di sini gerah banget ya? Aku buka baju aja deh." Tanpa rasa malu, Alisha membuka gaunnya hanya dalam satu tarikan ke atas. Seketika semua lekuk tubuhnya terlihat tanpa sekat, membuat Bara menelan salivanya. "Alisha, pakai baju kamu lagi!" teriak Bara dengan muka yang semerah buah tomat saking marahnya dia. "Kenapa aku nggak boleh pakai baju? Terserah aku dong." Alisha berjalan mendekat dan Bara pun memundurkan tubuhnya. Raut muka Bara yang gugup tampaknya terbaca oleh Alisha yang kini menyeringai. "Oh, jadi gini kelakuan kamu kalau sama pria lain? Buka baju sembarang," ucap Bara untuk mengalihkan rasa gugupnya. Alisha terus mendekat dan Bara juga terus melangkah mundur. Hingga akhirnya Bara menyadari di belakang badannya hanyalah sebuah dinding kosong. Bara tersudutkan, sedangkan Alisha sudah berjarak kurang dari satu meter darinya dan tanpa aba-aba, Alisha memeluk tubuh Bara. Menjadikan tubuh polos Alisha menempel dan hanya terhalang oleh pakaian yang digenakan Bara. Secepat kilat, Bara memalingkan muka saat mengetahui Alisha sedang mengamati wajahnya. Lalu Alisha meletakan kedua lengannya di bahu Bara. "Kenapa kamu gugup? Belum pernah melakukannya ya?" tanya Alisha seraya menyeringai. Jantung Bara berdegup dengan kencang. Sebagai pria yang normal tentu saja saat ini isi kepalanya tidak karuan. Bisikan di dalam hati meronta, meminta agar Bara menjamah tubuh Alisha namun setitik logika yang masih berjalan menolak keras hal itu. "Aku juga belum pernah melakukannya. Ayo, kita jadikan ini pengalaman pertama kita," bisik Alisha yang terdengar sangat menggoda. Bara berusaha memejamkan mata. Menarik nafas dalam dan mendorong tubuh Alisha untuk menjauh. "Alisha, kamu lagi mabuk. Bicaramu ngawur. Pergi mandi sana!" "Aku nggak mabuk? Siapa bilang aku mabuk?" Alisha menggelangkan kepalanya. Lalu dia kembali terkikik menarik tangan kanan Bara. "Kalaupun harus mandi, ayo kita mandi bareng. Sekalian kita lakukan itu di kamar mandi." Alisha tertawa lepas sambil kembali memeluk Bara. Sekuat tenaga Bara mencoba melepaskan diri namun usaha Bara itu justru membuat badan mereka berdua saling bergesekan. Dan dalam waktu yang bersamaan, hasrat Bara semakin memuncak meski dia telah berusaha untuk memendamnya. "Alisha, lepas atau aku akan pukul kamu!" "Kamu sukanya main kasar ya? Oke, aku juga bisa main kasar." Alisha mendorong tubuh Bara hingga terjatuh ke atas ranjang. Dengan cepat Alisha menaiki badan Bara agar pria itu tak dapat bangkit kembali. Tangan mungil Alisha dengan cekatan melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Bara. Gairah yang memuncak dan tak bisa dibendung lagi membuat logika Bara akhirnya kalah. Sebagai laki-laki normal dia sudah tidak tahan lagi menghadapi godaan dari istrinya itu."Aaaa Gina. Kenapa aku bodoh banget? Aku malu banget sumpah," Alisha meraung sambil memukul meja cafe.Sementara itu, Gina menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat keadaan sekitar. Dilihatnya riuh orang yang berbicara di dalam cafe membuat tak ada yang mendengarkan cerita Alisha.Lalu dia mencondongkan badan dan berbisik, "Jangan keras-keras ngomongnya! Nanti kedengeran. Salah sendiri kenapa kamu mabuk malam itu?""Aku nggak tahu kalau yang dikasih sama pelayan itu ternyata bir, Na," Alisha mengeluh dan menepuk jidatnya mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat dia berlibur dengan Bara."Terus, reaksi Bara waktu kalian bangun pagi harinya gimana?" "Dia marah besar, Na. Bara malah nyalahin aku. Ngomel-ngomelin aku yang mabuk sampai lupa diri dan ya... Sekarang kita diem-dieman lagi kayak biasa."Alisha menyeruput minumannya untuk menenangkan diri. Kemudian dia menyadari gelagat Gina yang membungkukkan badan serta menutup wajah dengan buku menu.Merasa heran akan tingkah Gina yang
Bara memasuki ruangan kerja setelah selesai melakukan rapat dengan jajaran direksi. Perhatian Bara langsung tertuju pada beberapa berkas yang ada di meja, sehingga dia tak menyadari ada seseorang yang telah duduk di sofa, tengah memperhatikannya.Seseorang itu sengaja berdeham yang memancing perhatian Bara. Begitu menoleh, Bara tampak terkejut melihat Vee yang sudah duduk di sudut ruangan.Dia sempat melirik ke arah pintu dan menerawang sudah sejak kapan Vee berada di ruangannya."Hai, Bara. Lagi sibuk ya?" Sapa Vee sambil berjalan mendekat."Kenapa kamu bisa ada di sini?"Vee tersenyum seraya menarik nafas. "Ya, tadi aku lihat sekertaris kamu lagi sibuk. Jadi aku menyelinap masuk ke sini. Oh ya, ini kan sudah jam istirahat. Kita makan di luar yuk."Bara menggelengkan kepala, duduk di kursi kerjanya, lalu membuka laptop, "Nggak bisa. Aku lagi sibuk.""Kamu masih marah ya sama aku? Soal tempo hari aku meluk kamu. Aku minta maaf, Ra. Kemarin itu aku kelepasan. Aku sadar harusnya aku ngg
Sepulang kerja, Alisha tertegun begitu melihat mobil Bara sudah terparkir di halaman depan rumah. Dia merasa heran sebab sangat jarang bahkan hampir tidak pernah Bara pulang secepat itu.Perlahan Alisha berjalan memasuki rumah. Sayup-sayup dia mendengar suara orang berbicara. Rupanya Elin dan Bara sedang mengobrol di ruang tengah.Alisha sengaja tidak menghampiri mereka dan lebih memilih tetap diam di ambang pintu. Dia penasaran akan apa yang sedang dibicarakan oleh suami dan juga mertuanya."Bara, Sayang. Kamu pengin bahagia kan? Dan kamu cuma bahagia kalau sama Vee. Jadi Mama bakal dukung kamu supaya kamu balik lagi sama Vee. Soal Papa biar Mama yang tangani. Mama lakuin ini supaya kamu bahagia, Ra."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Alisha terdiam seribu bahasa. Dadanya terasa sesak untuk bernafas dan seperti ada yang mengiris dari dalam."Tuh lihat diri kamu sendiri. Sejak menikah, Mama lihat kamu itu kayak orang depresi, tahu nggak? Udah deh. Mama bakal atur makan malam b
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
"Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru