Beberapa saat sebelumnya.
"Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap. Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman. Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee. "Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?" Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan." "Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna. "Terus?" Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri. Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu mobil terbuka dan Bara merasakan ada seseorang yang menariknya keluar. Bara melihat Alisha yang sudah dengan mata memerah dan berkaca-kaca, berdiri di depannya menampilkan raut muka garang. Lalu satu tamparan mengenai pipinya. Wanita itu menangis histeris sambil meneriaki Bara. Hingga akhirnya dia berlari pergi. Bara yang masih kaget dengan apa yang telah terjadi, hanya bisa berdiri mematung. Dia mengusap pipi kirinya yang memerah dan terasa perih. Kemudian Vee keluar dari dalam mobil, berjalan menghampiri Bara untuk memastikan kondisi Bara baik-baik saja. "Kamu nggak apa-apa, Ra?" tanya Vee seraya memperhatikan bekas tamparan di pipi Bara. Vee menoleh ke arah perginya Alisha, lalu kembali memandang Bara dengan muka masam. "Istri kamu kurang ajar banget sih, Ra. Udah deh, mending kamu ceraikan aja Alisha. Toh, lagian kamu nggak cinta sama dia, kan?" Bara terdiam, tak mau menanggapi ucapan Vee. Dia memutuskan untuk mengejar Alisha. Akan tetapi lagi-lagi Vee berhasil menahan pergelangan tangan Bara. "Kamu mau kemana, Ra? Kamu mau ngejar Alisha? Buat apa?" Nada bicara Vee mulai terdengar kesal begitu melihat raut khawatir di wajah Bara. "Vee, please, lepasin tangan aku!" Bara menarik tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Vee. "Ra, aku tuh masih sayang sama kamu," ungkap Vee lantang dan berhasil membuat Bara yang semula sudah melangkahkan kaki, tiba-tiba menjadi diam membisu. Vee berjalan mendekat lalu memeluk Bara dari arah belakang. Dia memeluknya erat sambil berbisik, "Aku sayang sama kamu, Ra. Andai dulu kamu berjuang sedikit saja buat hubungan kita pasti sekarang kita sudah menikah. Aku kangen peluk kamu kayak gini." Akan tetapi Bara bergeming selama beberapa saat dan tanpa diduga oleh Vee, Bara melepaskan pelukan tangan. Dia melanjutkan berjalan untuk menyusul Alisha. Berusaha menghiraukan Vee yang terisak di belakang sana. Bara mencoba untuk membuang semua pikiran yang mengganggu benaknya sambil mempercepat langkah kaki. Dia sudah kehilangan jejak Alisha tapi dia yakin jika Alisha tidak akan pergi jauh dari area itu. Bara terus berjalan setengah berlari dengan kepala yang menoleh ke kanan dan kiri. Nafasnya terengah ketika dia hampir saja menyerah. Hingga akhirnya, Bara melihat ada sebuah kedai minum. Melalui jendela kaca kedai itu, dia dapat melihat Alisha yang tengah duduk bersama tiga orang pria dan dua botol minuman berakohol ada di atas meja. Seketika Bara mengepalkan tangan karena geram melihat Alisha yang mabuk dengan dikerubungi oleh pria hidung belang. Tanpa pikir panjang, dia menerobos masuk ke dalam kedai minum. Benaknya yang sudah tidak mampu berpikir jernih langsung menarik laki-laki yang hendak menyentuh Alisha. Lalu satu bogem mentah dilayangkan pada pria itu. Salah satu temannya tidak terima dan berniat memukul Bara dari arah samping. Untung saja insting Bara sangat kuat, dia menggeserkan sedikit badannya dan berhasil menangkap serta memelintir tangan pria kedua. Si pria ke dua menjerit kesakitan lalu Bara mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Pria ketiga tampak ketakutan melihat kedua temannya namun dia memberanikan diri melayangkan tangan untuk meninju perut Bara. "Kamu pikir kamu bisa mengalahkan aku?" tanya Bara ketika berhasil menangkis serangan dari pria ketiga dan dengan gerakan yang cepat dia berhasil membanting badan si pria ketiga. Perkelahian tiga lawan satu pun tak dapat dielakan, hingga akhirnya salah seorang pria yang tampaknya adalah pemilik kedai datang melerai. Dengan gaya yang angkuh, sang pemilik kedai mengusir ketiga pria dan juga Bara agar segera angkat kaki dari kedainya. Bara pun menghampiri Alisha yang sudah berpenampilan tak karuan. Rambut acak-acakan, pipi yang memerah, mata sayu dan yang paling parah adalah bau alkohol yang menyerukan dari nafas Alisha. "Ayo, kita pulang!" ucap Bara yang kemudian memapah Alisha keluar dari kedai. Tak punya pilihan lain, Bara harus memesan taksi menuju hotel. Di dalam taksi Alisha menempelkan dagu di bahu Bara yang tetap lurus memandang ke depan. Tangan Alisha bergerak memainkan rambut halus yang tumbuh rapi di sekitar rahang Bara. Lalu Alisha terkikik geli yang membuat Bara mengerutkan alis heran. "Hai, kamu, kenapa mirip banget sama suami aku?" gumam Alisha memandang wajah Bara dengan mata setengah terpejam. Bara menghela nafas. Menggelangkan kepala mendapati tingkah konyol Alisha saat mabuk berat. "Kamu tampan juga ya? Tapi lebih tampan suami aku sih?" Plak. Alisha memukul pipi Bara untuk kedua kalinya. Namun, bukan merasa bersalah, Alisha justru tertawa lepas melihat Bara mengaduh. "Hehe sakit ya? Tadi aku habis nampar suami aku kayak gitu?" "Pak, tolong lebih cepat, Pak!" titah Bara pada sang supir taksi yang sudah tak tahan berada di dekat Alisha. Sampai di depan hotel, Bara segera menarik Alisha menuju kamar. Namun, di sepanjang jalan Alisha melambaikan tangan dan menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. "Hai, kakak resepsionis. Hai, pak security. Halo, pak..." "Alisha, diam!" Bara membentak dengan mata yang melotot hampir keluar dari tempatnya. "Kamu itu bikin malu aja." Seketika Alisha menekankan jari telunjuk ke bibir Bara agar pria itu diam. "Psst! Kamu tahu nama aku dari siapa, hah? Kamu paranormal ya?" Bara menarik nafas dalam. Mencoba untuk tidak meluapkan emosi di depan lobby hotel. Segera dia memapah Alisha dan mempercepat langkah kakinya menuju lift. Dan begitu berhasil masuk ke dalam kamar, Bara langsung mengunci pintu dan membanting Alisha ke atas ranjang. Kini saatnya Bara dapat melampiaskan semua amarah pada wanita yang sangat menguji kesabarannya itu. "Heh, Alisha, kamu itu ya? Malu-maluin aja. Gimana kalau tadi ada rekan kerja Papa yang lihat kamu mabuk? Kamu mau nama baik Papa tercemar?" Bukannya mencerna ucapan Bara, Alisha justru berdecak kesal sambil mengibaskan tangannya ke udara bagaikan seseorang yang sedang mengusir lalat. "Udah deh. Jangan banyak omong! Aku mau tidur tapi kok di sini gerah banget ya? Aku buka baju aja deh." Tanpa rasa malu, Alisha membuka gaunnya hanya dalam satu tarikan ke atas. Seketika semua lekuk tubuhnya terlihat tanpa sekat, membuat Bara menelan salivanya. "Alisha, pakai baju kamu lagi!" teriak Bara dengan muka yang semerah buah tomat saking marahnya dia. "Kenapa aku nggak boleh pakai baju? Terserah aku dong." Alisha berjalan mendekat dan Bara pun memundurkan tubuhnya. Raut muka Bara yang gugup tampaknya terbaca oleh Alisha yang kini menyeringai. "Oh, jadi gini kelakuan kamu kalau sama pria lain? Buka baju sembarang," ucap Bara untuk mengalihkan rasa gugupnya. Alisha terus mendekat dan Bara juga terus melangkah mundur. Hingga akhirnya Bara menyadari di belakang badannya hanyalah sebuah dinding kosong. Bara tersudutkan, sedangkan Alisha sudah berjarak kurang dari satu meter darinya dan tanpa aba-aba, Alisha memeluk tubuh Bara. Menjadikan tubuh polos Alisha menempel dan hanya terhalang oleh pakaian yang digenakan Bara. Secepat kilat, Bara memalingkan muka saat mengetahui Alisha sedang mengamati wajahnya. Lalu Alisha meletakan kedua lengannya di bahu Bara. "Kenapa kamu gugup? Belum pernah melakukannya ya?" tanya Alisha seraya menyeringai. Jantung Bara berdegup dengan kencang. Sebagai pria yang normal tentu saja saat ini isi kepalanya tidak karuan. Bisikan di dalam hati meronta, meminta agar Bara menjamah tubuh Alisha namun setitik logika yang masih berjalan menolak keras hal itu. "Aku juga belum pernah melakukannya. Ayo, kita jadikan ini pengalaman pertama kita," bisik Alisha yang terdengar sangat menggoda. Bara berusaha memejamkan mata. Menarik nafas dalam dan mendorong tubuh Alisha untuk menjauh. "Alisha, kamu lagi mabuk. Bicaramu ngawur. Pergi mandi sana!" "Aku nggak mabuk? Siapa bilang aku mabuk?" Alisha menggelangkan kepalanya. Lalu dia kembali terkikik menarik tangan kanan Bara. "Kalaupun harus mandi, ayo kita mandi bareng. Sekalian kita lakukan itu di kamar mandi." Alisha tertawa lepas sambil kembali memeluk Bara. Sekuat tenaga Bara mencoba melepaskan diri namun usaha Bara itu justru membuat badan mereka berdua saling bergesekan. Dan dalam waktu yang bersamaan, hasrat Bara semakin memuncak meski dia telah berusaha untuk memendamnya. "Alisha, lepas atau aku akan pukul kamu!" "Kamu sukanya main kasar ya? Oke, aku juga bisa main kasar." Alisha mendorong tubuh Bara hingga terjatuh ke atas ranjang. Dengan cepat Alisha menaiki badan Bara agar pria itu tak dapat bangkit kembali. Tangan mungil Alisha dengan cekatan melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Bara. Gairah yang memuncak dan tak bisa dibendung lagi membuat logika Bara akhirnya kalah. Sebagai laki-laki normal dia sudah tidak tahan lagi menghadapi godaan dari istrinya itu.Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke