Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
"Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
"Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru