'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?'
'Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.' 'Oke.' Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu. Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega. "Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru." Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina. "Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut." "Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah itu, dia meletakan lagi cangkir kopi ke atas meja dan bertanya sambil menatap Alisha, "Kamu minta ketemuan di sini pasti pengin curhat kan? Sekarang, cerita sama aku! kamu punya masalah apa, Al?" Alisha terdiam sejenak. Bibir bawahnya dia gigit dengan kuat karena menahan keraguan di dalam dada. Gina yang menunggu pun mengangkat alisnya. Setelah lama menjalin persahabatan, Gina menjadi memiliki insting yang kuat terhadap Alisha. Tanpa menunggu Alisha bercerita, Gina langsung mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Alisha. Lalu dia pun bertanya, "Cerita aja, Al! Ada masalah lagi sama Bara?" Alisha menganggukkan kepala perlahan. Lalu menghela nafas sambil menundukkan pandangan dengan perasaan yang hampa. Melihat sahabatnya mengadu akan sikap suaminya untuk kesekian kali, menumbuhkan bibit-bibit kejengkelan di hati Gina. Bukan jengkel karena Alisha terus curhat padanya, melainkan karena jengkel akan sikap kasar Bara pada Alisha. "Kali ini apa lagi, Al? Dia ngata-ngatain kamu? Dorong kamu? Cuekin kamu? Gedeg ya sumpah aku sama suami kamu, Al. Pengin aku tonjok tuh muka." Alisha menopang dagu menggunakan satu tangannya. Dengan tatapan kosong, Alisha berkata, "Bukan itu, Na. Tapi yang mengganjal dipikiran aku sekarang..." Alisha mendadak ragu untuk mengatakannya. Namun, dia sudah melihat raut penasaran Gina yang pada akhirnya dia pun berbicara dengan suara lirih, "Aku pengin hamil." Seketika Gina melebarkan matanya. Dia menatap Alisha lekat-lekat sambil berharap jika ucapan Alisha hanyalah sebuah prank. "Alisha, kamu serius?" Alisha mengangguk mantap. "Ayah mertua aku udah pengin punya cucu dan siapa tahu dengan adanya anak, Mas Bara jadi membuka hati buat aku." "Tapi kalau semisal kalian udah punya anak dan Bara tetap nggak cinta sama kamu, gimana?" "Kamu kok nakutin aku sih, Na?" Alisha balik bertanya. "Aku nggak nakut-nakutin kamu. Aku cuma realistis aja, Al." Alisha menarik nafas, mencoba berpikir dengan jernih. Dalam lubuk hati, Alisha memang dapat merasakan jika pendapat Gina ada benarnya. Bisa saja, setelah memiliki anak, Bara tetap membencinya. "Aku akan coba dulu, Na," ungkap Alisha dengan mantap. "Ini akan menjadi usaha terakhir aku. Jika sampai aku hamil dan Mas Bara tetap nggak cinta sama aku, aku akan pergi." "Al, jangan bodoh, deh! Mending kamu itu cari aja pria lain yang jelas-jelas sayang sama kamu." Alisha menggelengkan kepala. Tak sependapat akan saran dari Gina. "Sebisa mungkin aku akan pertahankan pernikahan ini, Na. Aku udah janji sama ayah aku," Mendadak pelupuk mata Alisha mulai menggenang begitu teringat saat sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Bagaikan tertular emosi, kedua mata Gina juga turut berkedip beberapa kali karena bola matanya sudah mulai berkaca-kaca. Gina mengusap kedua tangan Alisha dan menggenggamnya sangat kuat. "Kamu yang sabar, oke? Kamu itu kuat, Al. Kamu layak disayang. Kapanpun kamu butuh bantuan, panggil aja aku." Kedua wanita itu seketika berpelukan saling menguatkan. Tanpa mereka sadari, seorang pelayan pria datang sambil membawa nampan. "Permisi. Pesanannya, Kak." Ucapan pelayan itu membuat Alisha dan Gina serempak melepaskan pelukan. Mereka berdua berdehem untuk mengusir rasa canggung selagi pelayan pria meletakan pesanan ke atas meja. Beberapa saat berlalu, Alisha dan Gina menikmati makan mereka dalam diam. Hingga akhirnya Gina kembali bersuara begitu teringat akan sesuatu. "Tapi, Al. Gimana kamu mau hamil, kalau Bara aja nggak pernah nyentuh kamu? Kalian berdua tiap malam tidur terpisah, kan?" Alisha terdiam menunggu menelan makanannya. Lalu berbicara, "Nah, itu dia, Na. Yang jadi persoalan aku." "Atau kamu mau aku kasih obat biar Bara..." "Enggak. Enggak, Na," Alisha dengan cepat memotong perkataan Gina. Dia tahu apa yang ada di benak sahabatnya itu. "Aku nggak mau. Yang aku mau Mas Bara nyentuh aku karena dia benar-benar cinta sama aku." "Terus, gimana dong?" Alisha meletakan sendoknya dan membungkukkan badan mendekat pada Gina. Tahu jika Alisha akan memberitahukan sebuah rahasia penting, Gina pun reflek mencondongkan tubuhnya juga. "Aku udah ada rencana, sih. Tapi rencana aku ini perlu bantuan dari ayah mertua aku." "Apa itu?"Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
"Aaaa Gina. Kenapa aku bodoh banget? Aku malu banget sumpah," Alisha meraung sambil memukul meja cafe.Sementara itu, Gina menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat keadaan sekitar. Dilihatnya riuh orang yang berbicara di dalam cafe membuat tak ada yang mendengarkan cerita Alisha.Lalu dia mencondongkan badan dan berbisik, "Jangan keras-keras ngomongnya! Nanti kedengeran. Salah sendiri kenapa kamu mabuk malam itu?""Aku nggak tahu kalau yang dikasih sama pelayan itu ternyata bir, Na," Alisha mengeluh dan menepuk jidatnya mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat dia berlibur dengan Bara."Terus, reaksi Bara waktu kalian bangun pagi harinya gimana?" "Dia marah besar, Na. Bara malah nyalahin aku. Ngomel-ngomelin aku yang mabuk sampai lupa diri dan ya... Sekarang kita diem-dieman lagi kayak biasa."Alisha menyeruput minumannya untuk menenangkan diri. Kemudian dia menyadari gelagat Gina yang membungkukkan badan serta menutup wajah dengan buku menu.Merasa heran akan tingkah Gina yang
Bara memasuki ruangan kerja setelah selesai melakukan rapat dengan jajaran direksi. Perhatian Bara langsung tertuju pada beberapa berkas yang ada di meja, sehingga dia tak menyadari ada seseorang yang telah duduk di sofa, tengah memperhatikannya.Seseorang itu sengaja berdeham yang memancing perhatian Bara. Begitu menoleh, Bara tampak terkejut melihat Vee yang sudah duduk di sudut ruangan.Dia sempat melirik ke arah pintu dan menerawang sudah sejak kapan Vee berada di ruangannya."Hai, Bara. Lagi sibuk ya?" Sapa Vee sambil berjalan mendekat."Kenapa kamu bisa ada di sini?"Vee tersenyum seraya menarik nafas. "Ya, tadi aku lihat sekertaris kamu lagi sibuk. Jadi aku menyelinap masuk ke sini. Oh ya, ini kan sudah jam istirahat. Kita makan di luar yuk."Bara menggelengkan kepala, duduk di kursi kerjanya, lalu membuka laptop, "Nggak bisa. Aku lagi sibuk.""Kamu masih marah ya sama aku? Soal tempo hari aku meluk kamu. Aku minta maaf, Ra. Kemarin itu aku kelepasan. Aku sadar harusnya aku ngg
Sepulang kerja, Alisha tertegun begitu melihat mobil Bara sudah terparkir di halaman depan rumah. Dia merasa heran sebab sangat jarang bahkan hampir tidak pernah Bara pulang secepat itu.Perlahan Alisha berjalan memasuki rumah. Sayup-sayup dia mendengar suara orang berbicara. Rupanya Elin dan Bara sedang mengobrol di ruang tengah.Alisha sengaja tidak menghampiri mereka dan lebih memilih tetap diam di ambang pintu. Dia penasaran akan apa yang sedang dibicarakan oleh suami dan juga mertuanya."Bara, Sayang. Kamu pengin bahagia kan? Dan kamu cuma bahagia kalau sama Vee. Jadi Mama bakal dukung kamu supaya kamu balik lagi sama Vee. Soal Papa biar Mama yang tangani. Mama lakuin ini supaya kamu bahagia, Ra."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Alisha terdiam seribu bahasa. Dadanya terasa sesak untuk bernafas dan seperti ada yang mengiris dari dalam."Tuh lihat diri kamu sendiri. Sejak menikah, Mama lihat kamu itu kayak orang depresi, tahu nggak? Udah deh. Mama bakal atur makan malam b
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
"Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela apartemen Gina. Suara keributan lalu lintas dari jalan raya di bawah semakin menambah suasana malam yang syahdu sekaligus mencekam. Di dalam, Gina tengah asyik membaca buku favoritnya ketika bel pintu berbunyi nyaring. Ia mengernyitkan dahi, siapa yang bisa datang di tengah malam seperti ini?Dengan langkah gontai, Gina berjalan pintu dan membukanya. Seketika, wajah Alisha terlihat pucat pasi di balik pintu. Mata Alisha sembab, bekas air mata yang baru saja mengering.“Alisa? Kamu kenapa?” tanya Gina, kaget melihat kondisi sahabatnya.Alisha tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan langsung memeluk Gina erat-erat. Tangisnya pecah seketika, tubuhnya gemetar hebat. Gina membalas pelukan Alisha, berusaha menenangkan sahabatnya.“Cerita sama aku, Al. Ada apa?” pinta Gina lembut, mengusap punggung Alisha.Setelah beberapa saat, tangis Alisha mulai reda. Ia menarik diri dari pelukan Gina dan menatap sahabatnya dengan mengajukan permohonan
Sore itu, menjadi waktu terakhir Bara menatap wajah sang ayah. Sorot matanya kosong namun sangat mengisyaratkan kepulauan yang mendalam. Dia berdiri di barisan paling depan bersama orang-orang yang memakai baju hitam, mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Heru untuk memanjatkan doa. Di sampingnya, ada Elin yang tak henti-hentinya menangis. Satu tangan Bara mengusap punggung Elin, berusaha untuk menguatkan sang ibu. Sedangkan di samping kiri, ada Alisha yang juga menatap nisan Heru dengan tatapan penuh duka. Meski tak ada tangis di kedua bola mata Alisha, namun jelas sekali wanita itu tampak sedih akan kepergian ayah mertuanya. Setelah sang pemuka agama selesai memimpin doa, beberapa orang secara perlahan meninggalkan pemakaman hingga menyisakan Alisha, Bara, dan Elin. Alisha berinisiatif menuntun Elin menuju ke mobil. Akan tetapi baru saja dia menyentuh lengan Elin, wanita paruh baya itu langsung menepisnya dan melirik tajam. "Jangan sentuh saya!" Ehem. Tiba-tib
Mobil Bara berhenti di sebuah restoran di mana terlihat Vee di halaman depan sudah berdiri menunggu kehadirannya. Begitu turun dari mobil, Vee berjalan mendekat dengan senyum merekah."Hai, Bara. Kita langsung masuk yuk. Aku sudah reservasi meja khusus untuk kita berdua," ucap Vee begitu Bara turun dari mobil. Lalu dia pun menggandeng tangan Bara, menuntunnya masuk ke dalam.Suasana restoran sangat ramai oleh pengunjung kala Bara memasukinya. Sedangkan Vee terus menggenggam tangan Bara menuju tangga. Rupanya Vee sudah memesan meja khusus di lantai dua.Mereka duduk di meja yang bersebelahan tepat dengan sebuah jendela kaca besar. Ketika Bara duduk, dia menoleh ke arah luar jendela untuk menikmati pemandangan.Namun, sontak Bara tertegun kala mendapati mobil milik Papa juga terparkir di depan. Lalu dia melihat Alisha keluar dari mobil itu.Seketika Bara bangkit berdiri. Membuat Vee terheran. Apalagi setelah melihat Bara berjalan terburu-buru kembali ke lantai satu.Bara berjalan menuru