'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?'
'Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.' 'Oke.' Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu. Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega. "Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru." Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina. "Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut." "Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah itu, dia meletakan lagi cangkir kopi ke atas meja dan bertanya sambil menatap Alisha, "Kamu minta ketemuan di sini pasti pengin curhat kan? Sekarang, cerita sama aku! kamu punya masalah apa, Al?" Alisha terdiam sejenak. Bibir bawahnya dia gigit dengan kuat karena menahan keraguan di dalam dada. Gina yang menunggu pun mengangkat alisnya. Setelah lama menjalin persahabatan, Gina menjadi memiliki insting yang kuat terhadap Alisha. Tanpa menunggu Alisha bercerita, Gina langsung mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Alisha. Lalu dia pun bertanya, "Cerita aja, Al! Ada masalah lagi sama Bara?" Alisha menganggukkan kepala perlahan. Lalu menghela nafas sambil menundukkan pandangan dengan perasaan yang hampa. Melihat sahabatnya mengadu akan sikap suaminya untuk kesekian kali, menumbuhkan bibit-bibit kejengkelan di hati Gina. Bukan jengkel karena Alisha terus curhat padanya, melainkan karena jengkel akan sikap kasar Bara pada Alisha. "Kali ini apa lagi, Al? Dia ngata-ngatain kamu? Dorong kamu? Cuekin kamu? Gedeg ya sumpah aku sama suami kamu, Al. Pengin aku tonjok tuh muka." Alisha menopang dagu menggunakan satu tangannya. Dengan tatapan kosong, Alisha berkata, "Bukan itu, Na. Tapi yang mengganjal dipikiran aku sekarang..." Alisha mendadak ragu untuk mengatakannya. Namun, dia sudah melihat raut penasaran Gina yang pada akhirnya dia pun berbicara dengan suara lirih, "Aku pengin hamil." Seketika Gina melebarkan matanya. Dia menatap Alisha lekat-lekat sambil berharap jika ucapan Alisha hanyalah sebuah prank. "Alisha, kamu serius?" Alisha mengangguk mantap. "Ayah mertua aku udah pengin punya cucu dan siapa tahu dengan adanya anak, Mas Bara jadi membuka hati buat aku." "Tapi kalau semisal kalian udah punya anak dan Bara tetap nggak cinta sama kamu, gimana?" "Kamu kok nakutin aku sih, Na?" Alisha balik bertanya. "Aku nggak nakut-nakutin kamu. Aku cuma realistis aja, Al." Alisha menarik nafas, mencoba berpikir dengan jernih. Dalam lubuk hati, Alisha memang dapat merasakan jika pendapat Gina ada benarnya. Bisa saja, setelah memiliki anak, Bara tetap membencinya. "Aku akan coba dulu, Na," ungkap Alisha dengan mantap. "Ini akan menjadi usaha terakhir aku. Jika sampai aku hamil dan Mas Bara tetap nggak cinta sama aku, aku akan pergi." "Al, jangan bodoh, deh! Mending kamu itu cari aja pria lain yang jelas-jelas sayang sama kamu." Alisha menggelengkan kepala. Tak sependapat akan saran dari Gina. "Sebisa mungkin aku akan pertahankan pernikahan ini, Na. Aku udah janji sama ayah aku," Mendadak pelupuk mata Alisha mulai menggenang begitu teringat saat sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Bagaikan tertular emosi, kedua mata Gina juga turut berkedip beberapa kali karena bola matanya sudah mulai berkaca-kaca. Gina mengusap kedua tangan Alisha dan menggenggamnya sangat kuat. "Kamu yang sabar, oke? Kamu itu kuat, Al. Kamu layak disayang. Kapanpun kamu butuh bantuan, panggil aja aku." Kedua wanita itu seketika berpelukan saling menguatkan. Tanpa mereka sadari, seorang pelayan pria datang sambil membawa nampan. "Permisi. Pesanannya, Kak." Ucapan pelayan itu membuat Alisha dan Gina serempak melepaskan pelukan. Mereka berdua berdehem untuk mengusir rasa canggung selagi pelayan pria meletakan pesanan ke atas meja. Beberapa saat berlalu, Alisha dan Gina menikmati makan mereka dalam diam. Hingga akhirnya Gina kembali bersuara begitu teringat akan sesuatu. "Tapi, Al. Gimana kamu mau hamil, kalau Bara aja nggak pernah nyentuh kamu? Kalian berdua tiap malam tidur terpisah, kan?" Alisha terdiam menunggu menelan makanannya. Lalu berbicara, "Nah, itu dia, Na. Yang jadi persoalan aku." "Atau kamu mau aku kasih obat biar Bara..." "Enggak. Enggak, Na," Alisha dengan cepat memotong perkataan Gina. Dia tahu apa yang ada di benak sahabatnya itu. "Aku nggak mau. Yang aku mau Mas Bara nyentuh aku karena dia benar-benar cinta sama aku." "Terus, gimana dong?" Alisha meletakan sendoknya dan membungkukkan badan mendekat pada Gina. Tahu jika Alisha akan memberitahukan sebuah rahasia penting, Gina pun reflek mencondongkan tubuhnya juga. "Aku udah ada rencana, sih. Tapi rencana aku ini perlu bantuan dari ayah mertua aku." "Apa itu?"Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Beberapa saat sebelumnya."Udah sampai. Aku mau pulang sekarang," ucap Bara begitu menghentikan mobil tepat di depan hotel tempat Vee menginap.Sejenak Vee membuka mulut, menganga tak percaya. Lalu dia segera menahan tangan Bara yang sedang melepas sabuk pengaman.Ditatapnya Bara dengan penuh keseriusan. Begitu juga Bara yang memandangnya dengan tajam. Kemudian senyum kecil menghiasi bibir Vee."Aku udah bantu kamu buat bikin istri kamu cemburu. Masak sih nggak ada hadiah buat aku?"Bara menghela nafas, "Terus kamu maunya apa? Sesuai kesepakatan, aku udah kasih kamu uang imbalan.""Tapi bukan itu yang aku mau," ucap Vee dengan senyum penuh makna."Terus?"Tiba-tiba saja Vee mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Bara tanpa bisa dielakan. Tak hanya itu, Vee juga mengalungkan tangannya di leher Bara, menjerat pria itu agar tak dapat melepaskan diri.Menyadari sikap Vee yang begitu agresif, Bara segera mendorong bahu Vee agar ciuman mereka terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, pintu
Dua puluh menit berlalu semenjak seorang wanita asing yang mengaku sebagai mantan kekasih Bara tiba-tiba duduk di samping Bara. Alisha hanya bisa diam sambil melirik tajam pada keduanya yang kini mengobrol tentang karier masing masing.Tangan Alisha sudah mengepal sejak tadi. Ingin rasanya dia layangkan kepalan tangannya ke salah satu pipi wanita itu.Diperhatikannya Bara yang tertawa lepas ketika Vee membahas cerita yang sama sekali tidak lucu bagi Alisha. Tak tahan melihat keakraban Bara dengan Vee, maka Alisha pun mencoba mengalihkan atensi suaminya."Mas, kita pulang yuk! Aku udah kenyang," Alisha melempar tatapan sinis ke arah Vee ketika mengucapkan kata kenyang."Oh ya, Ra. Bisa nganterin aku pulang dulu, nggak? Aku takut kalau pulang sendiri. Hotel aku tuh jauh dari sini."Vee merengek manja di hadapan Bara dan yang lebih membuat Alisha jengkel, Vee bahkan menggandeng kedua tangan suaminya. Alisha menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.Tak mau kalah, Alisha juga menarik len
Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya."Ada apa, Pa?""Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?"Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu."Memang kenapa, Pa?""Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra."Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha.""Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak
'Gina, jam makan siang nanti bisa nggak ketemuan di cafe biasa kita nongkrong?''Bisa dong. Apa sih yang nggak buat kamu. Hehehe.''Oke.'Alisha menatap kembali pesan dari Gina di layar ponselnya. Lalu dia melirik jam tangan yang menunjukan pukul setengah satu. Itu artinya sudah hampir tiga puluh menit Alisha duduk di cafe menunggu sahabatnya itu.Alisha menyeruput secangkir kopi yang hampir habis dan tak lama setelah itu, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menghampirinya dengan nafas tersengal. Wanita itu menarik kursi di depan Alisha lalu duduk sambil menarik nafas lega."Sorry, Al. Kamu nunggu lama ya? Tadi mendadak aku dapet pasien baru."Alisha melengkungkan senyum pada Gina yang masih terengah. Lalu dia mendorong secangkir kopi amerikano yang menjadi minuman favorit Gina."Nih, minum dulu. Tadinya sih kalau kamu nggak dateng juga, aku mau cabut.""Jangan, dong! Mau gimana juga, aku udah berusaha dateng demi kamu lho," protes Gina sesaat sebelum meneguk kopinya. Setelah i
Lewat tengah malam, Bara berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumah. Kedua mata Bara terasa berat dan kepalanya pun sangat pening. Dia melangkah melintasi ruang tengah yang sangat sepi karena semua penghuni rumah sudah terlelap.Lalu sekuat tenaga Bara memaksakan dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Dengan satu dobrakan yang keras, Bara membuka pintu yang berhasil membuat Alisha terbangun dari tidurnya.Wanita itu menyibakkan selimut dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Dia mengamati kondisi Bara yang berjalan sambil melepas jas."Mas, kamu dari mana aja? Papa sama Mama udah pulang dari pesta sejak satu jam yang lalu. Kamu pergi kemana dulu, Mas? Aku nungguin kamu dari tadi," Alisha bertanya penuh kecemasan."Bukan urusan kamu. Sekarang, minggir! Seperti biasa kamu tidur di karpet."Tanpa ada penolakan Alisha bangkit berdiri untuk mempersilahkan sang suami tidur di ranjang ukuran king size seorang diri.Kemudian, Bara pun merebahkan diri tanpa sempat mengganti pakaiannya. T
Brak Brak Brak"Ma, tolong buka pintunya!"Alisha berteriak sambil terus mendobrak pintu gudang. Gaun pesta berwarna salem yang digunakannya mulai terlihat lusuh akibat debu yang menempel.Tak peduli akan suasana gudang yang gelap dan pengap, Alisha terus saja berteriak meminta tolong, namun sosok wanita yang berada di balik pintu hanya melengkungkan senyum seringai."Mama, tolong! Aku juga mau dateng ke pesta ulang tahunnya Papa," untuk kesekian kalinya Alisha berteriak dari dalam gudang. "Apa salah aku, Ma? Kenapa aku harus dikurung di sini?""Jangan pikir aku akan dengerin teriakan kamu. Sampai suara kamu habis pun, aku nggak akan bukain pintu."Elin sekilas mendengus menatap pada pintu gudang yang tertutup rapat. Lalu dia pun berbalik badan, melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah yang mana salah seorang sopir pribadi telah menunggunya.Tepat saat akan masuk ke dalam mobil, Elin menghentikan langkahnya. Dia baru teringat akan sesuatu yang terlupakan. Lantas dia pun menoleh ke