"Bonus lembur Abang cair, Neng," kata suamiku dengan wajah riang. Aku terdiam sebentar dengan mulut setengah terbuka.
"B-beneran, Bang?" suamiku mengangguk semangat. Senyumku pun ikut mengembang juga, diiringi ucap syukur di dalam hati. Ia meletakkan tas ransel di balik pintu kamar kami. Senyumnya begitu lebar, sejak turun dari motor tadi, sampai di kamar ini pun masih terus senyum. "Alhamdulillah ya, Bang. Satu bulan cairnya?" tanyaku lagi masih terus memandangnya atusias. Susu hamil yang biasa aku minum sudah habis. Rabu nanti pun aku jadwalnya USG, sehingga perlu uang lebih saat periksa rabu nanti. Tentu saja mendengar bonus lemburan suamiku cair, hati ini begitu senang dan lega. "Tiga bulan, Neng. Delapan ratus dikali tiga. Dua juta empat ratus." "Alhamdulillah, kebeneran susu hamil Neneng habis, Bang. Rabu juga mau USG harus bawa uang lebih dari biasanya. MasyaAllah reje.... ""Uangnya udah Abang kasih ke mama semua, Sayang," sela suamiku dengan senyum kaku. "Apa? Dikasih ke mama? T-tapi... Bang, ini.... " Aku sampai bingung harus mengatakan apa. Jantungku berdetak cepat serentak dengan keadaan hati ini yang bagaikan tengah diremas kuat. Sakit, aku sakit hati "Mbak Novi dua hari lalu bilang, kalau mama mau ke dokter karena diare. Terus pampers juga boros karena sakit itu. Jadi Abang kasih semua ajalah dari pada Abang bingung ditagih terus." Bang Rizal menghampiriku, lalu duduk di sampingku yang saat ini sudah tidak bersemangat lagi. Air mata ini tanpa permisi langsung turun membasahi pipi. Bang Rizal menatapku bingung. "Neng, kamu marah Abang kasih uang sama mama?" tanyanya dengan intonasi tidak terima. Aku tertawa miris. Pandangan ini berkabut karena air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. "Apa selama ini saya pernah marah berapa pun uang yang Abang kasih ke sana? Nggak, kan! Tapi ini bonus Abang, harusnya bisa untuk si Dedek.... " tersedu-sedan aku menangis. Rasanya masih tidak terima dengan yang dilakukan oleh suamiku. "Sama saja, itu tandanya kamu gak suka Abang kasih mama!" "Seharusnya Abang gak kasih semua. Sebagian Abang bisa kasih istri Abang yang lagi hamil ini. Dari kemarin ingin makan buah kiwi, berharap bisa kebeli dari bonus Abang, tapi.... ""Itu hanya maunya kamu, bukan si bayi. Udahlah, masalah gini aja sampai nangis. Besok beli itu buah kiwi. Emangnya uang belanja udah habis banget?" aku tidak mau menjawab. Kaki ini lebih memilih keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk. Aku pura-pura masuk kamar mandi untuk buang air kecil, padahal di dalamnya aku menangis. Bukan aku tidak bersyukur. Jatah belanja satu bulan satu juta rupiah untukku tidak pernah aku keluhkan. Bahan masak setiap hari, sembako, listrik, iuran RT, susu hamil, periksa dokter, semua di situ. Mertuaku mendapat jatah dua juta setengah dari suamiku. Untuk makan satu juta dan untuk upah kakak sepupunya yang mengurus mertuaku yang lumpuh, sebesar satu juta setengah, tetapi tidak cukup sampai di situ saja, ada lagi biaya tambahan ini itu yang diminta mama dan Mbak Novi pada Bang Rizal, sehingga untukku benar-benar hanya sisanya saja. "Assalamu'alaikum, Mbak Novi!" Suara pedagang daster keliling langgananku terdengar berseru di depan rumah. Lekas aku mencuci muka, lalu mengeringkan dengan cepat. "Mbak Novi!" Serunya lagi. "Iya, sebentar." Aku berjalan cepat masuk ke kamar untuk mengambil uang dua ribu rupiah di dalam dompet. "Siapa?" tanya Bang Rizal saat aku hendak keluar kamar. "Tukang daster keliling," jawabku datar tanpa semangat. Hanya gumam 'oh' yang aku dengar sebelum pintu kamar aku tutup kembali. Kang Jaya sudah duduk di teras rumahku sambil mengibaskahln topinya di depan wajah. Aroma pekat matahari langsung menyeruak ke hidungku saat membuka pintu. Aroma Kang Jaya tukang daster keliling membuatku pusing dan mual. "Buset dah, Kang, habis main di comberan apa, bau banget!" tangan kiriku memencet hidung, sedangkan tangan kanan mengulurkan selembar uang dua ribu pada Kang Jaya. Sisa belanja yang memang sengaja aku sisihkan untuk membayar tiga lembar daster yang aku beli di Kang Jaya. "Seharian keliling, Mbak. Wajar bau. Kalau masih bau comberan berarti saya sehat, kalau udah bau kuburan, baru itu tanda-tanda." Aku tergelak mendengar leluconnya. "Utang saya berapa lagi?" tanyaku. Pria itu melihat buku catatan utang warga. "Neng, masuk!" Suara Bang Rizal terdengar tak senang. "Sebentar," jawabku malas. "Masuk kata saya!" Kang Jaya sampai membeku di tempatnya. Lekas pria itu lari terbirit-birit keluar dari teras rumahku. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan wajah masam. "Kamu itu lagi hamil, Neng, kenapa ganjen sama tukang daster?""Hah? Ganjen? Saya bayar cicilan utang daster, Bang. Ganjen dari mana?" aku tidak percaya menatap wajah suamiku. "Mulai besok sampai seterusnya, kamu gak perlu nyicil daster.""Alhamdulillah, berarti mulai besok dan seterusnya, baju daster saya Abang yang belikan ya?" tanyaku diiringi senyuman. "Pakai uang bulanan satu juta yang saya kasih saja. Memangnya gak cukup?" tangannya sudah menarikku masuk ke dalam kamar. "Nggak cukup. Kalau cukup, saya gak bakalan nyicil baju." "Ya sudah, gak usah pake baju aja di rumah. Kan sama suami ini." Bang Rizal sudah membuka kancing baju dasterku. Nampaknya ia ingin meminta jatah ranjang. "Abang sedang ingin. Satu kali yuk!" Semua kancing daster butut ini sudah terlepas. Aku menahan tangannya, saat ini hendak menyentuh perutku yang sudah membuncit di usia kehamilan enam bulan. Kutatap wajah suamiku dengan lekat. Seakan-akan saat ini aku tengah menantangnya. "Minta balik bonus Abang sama mama. Satu juta saja, saya gak butuh semua. Gimana?"Percuma saja aku sok kuat seperti tokoh wanita di novel online yang aku baca, karena kenyataannya tubuh ini tidak mempunyai tenaga untuk menolak keinginan suami dan tidak bisa juga memaksakan keinginan kita pada suami. Entah bagaimana aku melewati masa kehamilan yang tinggal tiga bulan nanti. Jika untuk persalinan dan perawatan ada BPJS pabrik, tetapi untuk baju bayi dan segala pernak-pernik melahirkan, sama sekali aku tidak punya uang. "Mandi gih! Udah mau magrib nih." Bang Rizal masuk ke kamar dengan wajah segar setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku pun memakai kembali atasan daster, lalu berjalan lemas keluar kamar. "Jangan gak semangat gitu dong, Sayang. Abang beneran lagi cape banget, tapi pengen. Jadinya gak maksimal deh." Bang Rizal tertawa. Ia mencolek bokongku dengan isengnya. "Cape sih boleh, tapi gak lima detik juga kali," kataku dengan suara menahan emosi. Sudahlah uang bonus tak dibagi barang sedikit pun. Giliran minta jatah, benar-benar baru merem sekali, mal
"Loh, Neneng ikut kemari, tumben!" Mbak Novi menyambutku dengan senyuman yang aku tahu sekali, senyuman itu palsu. Entah apa yang ia tidak suka dariku, yang jelas auranya begitu menyeramkan bila aku datang berkunjung. "Iya, Mbak, katanya kangen mama. Jadi sekalian bareng saya. Kelar sarapan, saya berangkat kerja, Neneng mungkin masih di sini dulu." Jawaban Bang Rizal membuat Mbak Neneng mengangguk. Kami pun masuk ke dalam rumah mertuaku yang cukup luas. Rumah dalam keadaan rapi, serta harum pembersih lantai. Ubin kotak-kotak putih itu begitu mengkilap dan kesat. Ini pertanda Mbak Novi benar-benar menyapu dan mengepelnya. Aku saja bisa bercermin di ubin karena terlalu licin dan mengkilapnya."Mama mana?" tanya Bang Rizal pada Mbak Novi. "Ada di kamar, baru aja saya mandikan." Wanita itu menjawab sambil lalu. Aku dan Bang Rizal masuk ke kamar mama. Sebelumnya sudah kuniatkan dalam hati untuk berani meminta uang bonus Bang Rizal sebagian. Usaha dulu saja, kalau tidak dapat, aku bisa b
"Kamu sakit, Neng?" Mbak Novi menatapku remeh. Ia meraih piring kosong kotor dari atas meja makan. "Wajar dong saya tanya gitu, Mbak. Memangnya Bang Rizal mau belikan apa?" tanyaku lagi masih dengan suara tidak terima. "Neng, kamu ini aneh sekali. Saya tuh gak sengaja senggol HP Mbak Novi, terus pecah. Jadi saya harus ganti dan Mbak Novi maunya HP yang sama kayak punya dia. Ya saya belum ada duit. Kemarin saya baru setor buat pampers mama kan." Bang Rizal menjelaskan dengan ekspresi wajah meyakinkanku. Masuk di akal juga karena memang sejak kemarin aku tidak melihat update status Mbak Novi. Biasanya, apapun dan kapanpun itu, wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu selalu posting. "Tuh, dengerin. Malah nuduh selingkuh, dosa kamu sama Mbak dan suami kamu!" Mbak Novi berjalan begitu saja melewatiku. Kakinya melangkah menuju kamar ibu mertua. Aku pun akhirnya berjalan ke dapur, hendak mengambil nasi dan juga sop iga. Namun, aku tidak menemukan apapun di dapur selain nasi yang masi
Mataku terasa amat berat. Aroma menyengat yang masuk ke hidung ini membuatku mencoba untuk membuka kelopak mata. Samar-samar aku melihat sosok yang seperti kukenal wajah dan juga baunya. "Ya Allah, Kang Jaya, kalau mau nagih ke rumah aja, masa di jalan begini?" tanyaku masih setengah sadar. Pria yang tadinya menoleh ke samping, kini melihat ke arahku dengan wajah terkejut. "Alhamdulillah akhirnya sadar juga. Siapa yang mau nagih, Mbak. Ini loh, Mbak Neneng pingsan di jalan. Makanya saya bawa ke sini karena saya kenal. Kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Neneng, tagihan dua ratus rebu saya bisa lewat dong!" Jawab Kang Jaya sambil menyeringai. Alasan lucu yang sungguh masuk akal menurutku. Tidak mungkin pria medit seperti Kang Jaya mau melepas para emak-emak yang berutang padanya. Sampai ke lubang hidung dinosaurus pun pasti dia kejar. "Mbak, ye... malah bengong. Nih, kata dokter, perut Mbak kosong. Bulan Ramadhan masih empat puluh hari lagi, Mbak. Kenapa udah puasa sekarang? Lagian
"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala. "Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas. "Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku. "Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang k
"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn