"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala.
"Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas."Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku."Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat.Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang kenyang ini sudah barang tentu membuat mataku ingin terpejam.Rasanya ini adalah tidurku yang paling nyenyak karena perutku benar-benar kenyang. Sekilas kulihat jam dinding yang sudah berada di angka empat."Permisi, Mbak, kita cek tensi dulu ya, " ujar seorang perawat masuk ke ruanganku sambil tersenyum."Iya, Sus." Aku membiarkan alat tensi itu berada di lenganku untuk beberapa saat."Gimana, Sus? Apakah sudah baikan? Kata teman saya tadi, saya darah rendah. ""Iya, Mbak, tadi tensinya enam puluh lima, sekarang sudah naik tujuh puluh. Sudah naik dari yang tadi. Semoga besok sudah normal laginya, Mbak. Usahakan makan makanan bergizi dan juga banyak makan buah," pesan perawat itu."Baik, Suster, terima kasih. Oh, iya, mungkin nanti suami saya ke sini untuk melihat saya, Sus. Apakah suami boleh menunggui saya di sini?""Maaf, Mbak, gak boleh ada penunggu pasien di dalam ruangan ini. Kalau mau, nunggu di kursi depan.""Oh, baik, Sus, makasih." Suster itu pun keluar dari ruanganku. Tidak ada paket internet, tentu aku tidak bisa mengakses media sosial. Ditambah HP jadul milikku selalu saja kehilangan sinyal secara tiba-tiba. Pasti sangat membosankan rasanya. Di rumah sakit sendirian, gak ada teman ngobrol pula.Aku terus menunggu Bang Rizal datang sampai warna langit berubah gelap. Ini sudah jam tujuh dan Bang Rizal belum juga datang. Apa Kang Jaya lupa memberi alamat klinik? Mau bertanya pun tidak bisa karena tidak ada pulsa."Permisi, Mbak, ini makan malamnya." Seorang perawat datang mengantar nampan berisi makan malam untukku. Orangnya berbeda dengan perawat yang berjaga pagi sampai sore tadi."Apa sudah lebih segar, Mbak?" tanyanya sambil tersenyum."Sudah, Sus, semoga besok saya bisa pulang." Aku pun ikut tersenyum."Suami atau keluarganya gak ada yang datang ke sini, Mbak?" aku terdiam. Apa yang harus aku jawab? Mereka pasti mengira aku orang yang dibuang."Masih lembur suami saya, Sus. Lagian saya gak sakit-sakit banget. Besok udah pulang. Paling besok dijemput suami saya." Perawat itu mengangguk. Hanya itu alasan yang dapat aku utarakan untuk menghibur diri ini. Bang Rizal tidak juga menampakkan batang hidungnya sampai malam seperti ini."Sus, saya boleh minta tolong?" suster itu mengangguk."Ini, saya minta tolong teleponkan nomor suami saya. HP saya gak ada pulsa dan saya pun gak bawa uang." Perawat itu nampak menghela napas. Ia mengeluarkan benda pipih dari saku celana, lalu memberikannya padaku."Jangan lama-lama ya, Mbak.""Iya, Sus, terima kasih banyak." Tangan ini gemetar menekan kontak Bang Rizal. Dua kali mencoba, panggilan itu tidak juga diangkat."Sebentar ya, Sus, saya coba sekali lagi," kataku pada perawat itu. Sambil mengucap bismillah, aku kembali menekan kontak Bang Rizal."Halo, siapa ini?""Bang, Abang di mana? Ini saya, Neneng. Kenapa Abang gak ke klinik?""Besok aja ya, Neng. Saya lagi capek banget, Neng. Ini baru pulang nemenin Mbak Novi beli HP.""Nemenin orang lain bisa, ke rumah sakit lihat istri yang lagi bunting sakit, gak bisa!""Besok pagi aku janji ke klinik sekalian bawa kamu pulang. Udah dulu ya."Aku tersenyum kecut."Ini, Sus, terima kasih udah pinjemin saya HP-nya." Ponsel itu aku berikan pada perawat tadi. Air mata sudah tidak bisa kubendung. Ini bukan satu dua kali Bang Rizal mengabaikanku, tetapi sudah sering. Tubuh ini masih lemah, mau protes pun tidak tahu bagaimana caranya?Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu sampai besok pagi.***Pagi hari, aku sudah selesai sarapan dan sedang menunggu Bang Rizal yang tidak kunjung datang. Aku turun dari brangkar sambil menarik tiang infus, lalu berjalan keluar kamar perawatan."Mbak Neneng," panggil suara yang tidak asing lagi. Dia adalah Kang Jaya."Eh, Kang Jaya, ada apa?" tanyaku heran melihat kedatangannya. Apa jangan-jangan ia benar menyukaiku?"Aduh, gimana sih? Ini saya ditelepon perawat. Katanya kurang seratus lima puluh lagi, baru Mbak bisa keluar dari sini. Suami Mbak gak datang-datang, jadi saya yang ditelepon suruh bayar. Ya ampun, menyusahkan saja! Suami-istri kenapa kompak sekali bikin saya miskin pelan-pelan?""Maaf, Kang, s-saya ju.... ""Udahlah, udah saya bayarin aja. Pokoknya saya catat sebagai utang ya." Pria itu mengeluarkan uang lima ribu tiga lembar dari saku celananya."Ini buat ongkos pulang. Saya permisi.""Kang, makasih!" Seruanku hanya ditatap datar oleh Kang Jaya. Ia sudah membayar semua tagihanku, sekarang malah aku diberi uang. Rahang ini pun mengeras mengutuk Bang Rizal yang sangat keterlaluan.Awas kamu Rizal!"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!
"Aduh, perut saya!" Aku memekik saat merasakan sakit yang luar biasa pada perut buncit ini. Kedua kaki pun tidak berdaya untuk berdiri, hingga aku pun terkulai lemas, hampir saja jatuh di lantai ubin lobi mal yang dingin. "Waduh, Mbak Neneng, itu ada darahnya!" Pekik lelaki yang tidak lain adalah Kang Jaya. Setelah itu aku merasa semua gelap dan aku pun tak sadarkan diri. ***"Halo, Bu Asep, tahu nomor telepon suaminya Mbak Neneng gak?""Loh, ada apa Jaya?""Mbak Neneng pingsan dan sekarang lagi di rumah sakit.""Waduh, di rumah sakit mana, biar saya yang telepon Rizal.""Rumah sakit Harapan Ibu."Aku berusaha membuka mata, walau berat. Aroma disinfektan yang menusuk hidungku membuat perut ini semakin terasa bergolak. Suara lelaki yang sedang bercakap-cakap juga memaksaku untuk membuka mata. Sosok pria yang sedang memunggungiku saat ini sepertinya aku kenali. "Kang Jaya."Pria itu berbalik, menoleh ke arahku. "Alhamdulillah, Mbak Neneng sadar. Haduh, kenapa kalau ketemu saya di j
"Oh, jadi sudah menikah. Saya salut atas kejujuran Mbak Novi. Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ngomong-ngomong, Saya bisa sendiri di rumah sakit ini, Mbak Novi pulang saja. Pasti ibu mertua sayang kita dan suami kita lebih butuh Mbak Novi." Aku berujar sambil menahan pedih di hati. Mbak Novi benar-benar muka tembok dengan datang ke rumah sakit dan mengaku istri kedua Bang Rizal."Iya, saya juga mau pulang. Mana mungkin saya mau lama-lama di sini. Saya ke sini cuma mau urus BPJS kamu dari pabrik. Sepertinya ada yang gak dicover sebesar lima ratus ribu. Saya gak bawa uang dan gak mungkin juga istri kedua bayarin obat istri pertama kan? Jadi tebus sendiri saja. Satu lagi, jangan minta uang pada suami berondong saya dan juga mertua saya." Wanita itu tersenyum sinis, lalu memberikan sebuah kartu dan juga satu lembar uang lima puluh ribu yang dilipat sesuai besar kartu."Ini titipan Bang Rizal. Saya permisi." Mbak Novi pun pergi meninggalkanku. Napas sesak yang sejak tadi kutahan, k
Malam hari. Wanita yang sangat tidak aku inginkan, malah nongol kembali di ruang perawatanku. "Mbak Novi jangan bercanda! Saya sedang sakit, Mbak. Kenapa harus datang lagi ke sini? Bayi saya baru saja dikubur dan Mbak Novi bilang bahwa Bang Rizal adalah suami Mbak Novi juga? Naksir boleh, Mbak, bego jangan! Bang Rizal sudah punya istri. Mbak adalah kakak sepupunya dan Mbak gak boleh jadi pelakor!" Aku berusaha menekan emosi yang saat ini berkumpul di dada. Mbak Novi bisa saja berbohong, apalagi tidak disertakan bukti. Aku tidak boleh percaya begitu saja. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku juga lagi hamil anak Rizal dan mulai detik ini. Semua uang Rizal buat aku karena aku yang hamil, sedangkan kamu keguguran'kan? " "Saya gak akan percaya jika tidak ada bukti. Selagi bukan Bang Rizal yang bicara, saya tidak akan percaya. Jadi sekarang tolong pergi! Jangan pernah muncul lagi di rumah saya! " Mbak Novi berjengkit kaget begitu mendengar suara lengkingan milikku.
"Bang Rizal gak bisa menggadaikan surat rumah orang tua saya. Itu hak saya! Ya Allah, kenapa suami saya setega ini pada saya? Saya baru saja keguguran dan... ""Aduh, itu bukan urusan saya ya. Silakan tanya sendirian pada Rizal. Kamu keguguran juga karena salah kamu sendiri. Makanya na lain lagi hamil, jangan pecicilan! "Mbak Novi memutus sepihak panggilanku. Kedua kakiku sudah tidak bisa menopang tubuh ini. Aku terduduk lemas di kursi balai dengan air mata yang sudah mengalir deras tanpa permisi. Kang Jaya mengambil ponselnya dari tanganku. "Samperin aja Pak Haji-nya, Mbak. Gak usah nangis! Minta baik-baik, siapa tahu dikasih, " ucap Kang Jaya memberikan ide. Aku hanya menunduk sambil meratapi nasib. "Jangan sedih dan stres, karena pasti ada yang senang kalau Mbak Neneng stres," katanya lagi memberikan masukan. "Kalau nggak dikasih?" tanyaku balik. Harapan aku dapat kunci rumah kembali hanya satu persen, sehingga aku tidak yakin untuk pergi ke rumah Pak Haji. "Ya, Mbak Neneng p