"Bang Rizal gak bisa menggadaikan surat rumah orang tua saya. Itu hak saya! Ya Allah, kenapa suami saya setega ini pada saya? Saya baru saja keguguran dan... ""Aduh, itu bukan urusan saya ya. Silakan tanya sendirian pada Rizal. Kamu keguguran juga karena salah kamu sendiri. Makanya na lain lagi hamil, jangan pecicilan! "Mbak Novi memutus sepihak panggilanku. Kedua kakiku sudah tidak bisa menopang tubuh ini. Aku terduduk lemas di kursi balai dengan air mata yang sudah mengalir deras tanpa permisi. Kang Jaya mengambil ponselnya dari tanganku. "Samperin aja Pak Haji-nya, Mbak. Gak usah nangis! Minta baik-baik, siapa tahu dikasih, " ucap Kang Jaya memberikan ide. Aku hanya menunduk sambil meratapi nasib. "Jangan sedih dan stres, karena pasti ada yang senang kalau Mbak Neneng stres," katanya lagi memberikan masukan. "Kalau nggak dikasih?" tanyaku balik. Harapan aku dapat kunci rumah kembali hanya satu persen, sehingga aku tidak yakin untuk pergi ke rumah Pak Haji. "Ya, Mbak Neneng p
Byur!Cangkir berisi kopi, aku lemparkan ke wajahnya. Sebenarnya aku masih belum puas, tetapi melihatnya gelagapan dengan pipinya yang panas dan juga tumpahan air kopi, cukup membuatku sedikit lega. Napasku masih naik turun menahan emosi. Jika saja Bang Rizal tidak botak, sudah pasti kujambak rambutnya."Neng, apa-apaan kamu? Kamu gila!""Ya, aku gila, Bang! Aku gila karena kamu sudah menggadaikan surat rumah orang tuaku. Harta peninggalan mereka satu-satunya, lalu kamu beli motor dan senang-senang. Aku baru keguguran dan suamiku malah bersenang-senang di luar. Kamu yang lebih gila dari aku! Coba saja kamu tanya sama puluhan orang yang ada di sini, mencuri surat rumah orang, lalu menggadaikannya dengan tipu muslihat. Kamu yang gila, kamu yang gak waras! Ceraikan aku! Ceraikan!" Aku berteriak-teriak di depan wajahnya .Sudah tidak aku pedulikan tatapan puluhan pasang mata yang telah menjadikan aku dan Bang Rizal pusat perhatian ."Pulang kamu, bikin keributan saja! Pulang!" Bang Rizal
POV Rizal"Loh, kenapa mukanya, Mas?" tanya Novi yang terheran melihat wajahku merah. Tidak langsung menjawab, aku memilih menghempaskan bokongku di sofa."Saya ambilkan air dulu!" Wanita dewasa itu begitu cekatan melayaniku. Ia tidak pernah mengeluh apalagi meminta yang tidak-tidak. Novi juga sangat mahir memuaskanku di ranjang, sehingga benar-benar hati dan tubuh ini terkunci padanya.Novi menghampiriku sambil membawa nampan berisi cangkir teh dan piring kecil berisi kue. "Ini, Mas, minum dulu!" Novi tidak sungkan membukakan kaos kaki ini dan langsung membawanya ke dapur. Lalu istri keduaku itu kembali lagi duduk di sampingku, sambil memijat keningku."Lagi banyak pekerjaan di pabrik?" tanyanya perhatian."Neneng ke pabrik dan membuat keributan. Pipi saya merah karena dapat oleh-oleh dari Neneng. Keluar-keluar dari rumah sakit, tenaga Neneng meningkat, begitu juga dengan keberaniannya," terangku sambil menatap Novi. Rahang Novi nampak mengeras. "Mau apa?" tanyanya."Neneng marah p
"Apa salah saya, Bu? Kenapa jadi saya yang dipecat?" cecarku tidak terima. Bu Dina tersenyum amat tipis, lalu ia membalikkan laptopnya mengarah padaku. Tulisan di layar laptop pun nampak diperbesar sehingga aku tidak perlu mendekat untuk dapat membaca tulisan di sana. Point tujuh yang ada di sana menuliskan bahwa setiap anggota karyawan tetap dihimbau untuk tidak menciptakan suasana panas di lingkungan kerja. Point delapan menuliskan bahwa setiap karyawan lelaki ataupun perempuan yang telah sah memiliki pasangan, dihimbau untuk tetap memegang prinsip pada pasangannya. Tidak berselingkuh apalagi poligami. Jika hal tersebut diketahui oleh ....Aku menghela napas. Kejadian Neneng kemarin adalah penyebab hari ini aku dipecat. "Bagaimana? Jika sudah begini, maka salah siapa? Jangan salahkan istri karena istri gak pernah salah. Begitu kan, Pak Rizal. Silakan ke bagian keuangan untuk ambil pesangon yang mungkin bagi Pak Rizal sedikit. Saya masih ada pekerjaan lain. Pintu keluar ada di belak
POV NenengDerit pagar yang terbuka membuatku menoleh. Rupanya Kang Jaya yang pulang sambil menenteng karung daster yang terlihat ringan. Aku tersenyum dari kejauhan, begitu juga Kang Jaya. "Laris ya, Kang?" tanyaku menyapa."Iya, alhamdulillah. Baru kali ini saya keliling bawa pakaian tiga puluh stel sama kerudungan 10 biji dan tersisa 2 saja bajunya, Mbak. Kerudung habis. Pelanggan saya juga hari ini pada setor cicilan. Paling kecil lima ribu. Alhamdulillah berkah membantu istri orang," jawab Kang Jaya. Ia terbahak di akhir kalimatnya. Aku pun ikut tertawa juga. Mungkin juga karena kebaikan Kang Jaya padaku, maka Tuhan memberikan kemudahan. Lalu, bagaimana dengan orang yang selalu memberikan kesulitan pada orang lain, apakah ia akan mendapatkan ganjaran yang sama?"Mbak udah enakan? Kapan harus kontrol jahitan?" aku tersentak dari lamunan. Kang Jaya duduk di teras rumahnya sambil mengibaskan topi yang ia pakai di depan wajahnya. Aroma keringatnya begitu menyengat sehingga aku harus
Hal yang pertama aku lakukan dengan uang delapan juta di tanganku adalah membayar cicilan daster pada Kang Jaya. Aku mengira dia jatuh hati benar padaku, sehingga tidak mau menerima utang yang kubayarkan, tetapi harapan dan prediksiku salah. Kang Jaya dengan semringah menerima uang satu juta yang aku berikan padanya. Entah utang daster, utang klinik, dan utang lainnya aku sampai lupa. Untunglah Kang Jaya menerima tanpa menghitung secara terperinci. Setelah melepas kepergian Kang Jaya, aku pun pergi ke bidan ke rumah sakit tempat aku dioperasi kemarin. Dengan menggunakan kartu BPJS yang ada padaku, aku memeriksakan kondisi jahitan dan juga memeriksakan kesehatan tubuhku.Kata dokter semuanya baik dan aku diberi vitamin penambah darah. Tidak gratis karena tidak di-cover BPJS, tetapi tidak apa karena saat ini aku ada uang. Selesai dengan rumah sakit, aku pun pergi ke rumah Pak Haji Yandi. "Assalamualaikum, permisi." Aku menunggu sebentar, tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah."Ass
"Nenek salah paham. Saya masih punya suami. Saya karyawan Kang Jaya," kataku mencoba menjelaskan, tetapi nenek Kang Jaya malah tersenyum, lalu masuk ke ruang kontrakan yang aku tinggali. "Kamu tinggal di sini? Siapa nama kamu?" tanya nenek itu."Iya, Nek, saya tinggal di sini, sekalian bantu Kang Jaya jualan. Rapi-rapi daster dan barang lainnya. Jadi kalau ada tetangga ....""Katanya punya suami, kenapa tinggal di sini? Apa suaminya tinggal di sini juga?" Aku menghela napas. "Nggak, Nek, sudah pisah, tetapi belum cerai.""Berarti bisa jadi calon istri Jaya dong. Perkenalkan nama saya Anggita. Jaya biasa memanggil saya Oma Anggit," terang wanita tua itu sambil memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah kontrakan. Tangannya terus menggunakan kipas kecil yang memakai baterai untuk menghilangkan gerah. "Oh, baik, Oma. Apa Oma mau saya buatkan minum?" tanyaku penuh hormat. "Boleh, teh manis, tapi gula sedikit saja." "Baik, Oma, saya buatkan dulu ya." Aku bergegas ke dapur dengan sejuta
"Aduh, kaget! Kang Jaya kapan pulang? Saya kenapa gak tahu kalau Kang Jaya balik?" tanyaku terheran."Gimana mau lihat, orang Mbak merem! Mana Oma saya?" tanya Kang Jaya sembari mengintip ke dalam kontrakanku."Oh, itu, lagi tidur, Kang. Kayaknya baru sepuluh menit." "Oh, gitu, ya sudah, jangan dibangunin deh. Saya mau beres-beres dulu." Kang Jaya memutar kunci rumahnya. "Ada yang bisa saya bantu, Kang?" tanyaku sedikit berseru."Boleh kalau mau bantuin nyapu. Biar saya yang ngepel." Aku pun masuk ke dalam rumahnya sambil mengucapkan salam. Ada yang beda di kontrakan Kang Jaya karena bentukan dalamnya berbeda denganku. Ruangannya ada yang berpintu meskipun sepertinya tidak besar. "Kang, kenapa masih siang udah pulang?" tanyaku sambil menutup hidung. Kang Jaya memutar bola matanya."Pasti gak tahan bau saya ya? Ck, namanya juga habis dari luar, Mbak. Keliling ngiderin daster ke ibu-ibu, panasan di bawah sinar matahari. Makanya selain kulit saya, bau saya juga eksotis. Nih, sapunya d