POV AuthorDua jam sebelum Neneng berteriak pelakor tua pada Novi."Gimana, Mas? Belum dapat kerjaannya?" tanya Novi begitu melihat Rizal memarkirkan motornya di teras rumah."Belum, Nov. Belum beruntung. Besok saya coba lagi." Wajahnya lelah dan juga lesu. Aroma matahari menyeruak begitu Rizal membuka kemejanya. "Ya sudah, nanti coba lagi sambil tanya teman Mas Rizal. Kerja apa ajalah yang penting kerja. Masa masih muda di rumah. Benar-benar Neneng itu bikin sial!" Umpat Novi sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Ia pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Rizal hanya bisa menghela napas berat. Ia malas membela umpatan itu karena menurutnya Neneng memang salah. Jika saja Neneng dua hari lalu tidak ke pabrik dan tidak membuat keributan, tentu saat ini ia baik-baik saja. Ditambah lagi harusnya besok gajian dan sekarang ia tidak mendapatkan apa-apa."Mas, ini." Novi duduk di seberang suaminya sambil menaruh cangkir teh san juga piring kecil berisi pisang goreng."Dio butuh uang buat pra
"Kamu kenapa, Neng?" tanya Oma Anggit pada Neneng yang baru saja kembali ke rumah kontrakan Jaya."Gak papa, Oma. Tadi ada orang minta sumbangan ginjal, saya bilang saya bukan pendonor ginjal, tapi dia ngotot minta ginjal saya," jawab Neneng asal. Ia tidak tahu mau menjawab apa perihal madu dan ibu mertuanya."Pantas saja kamu teriak-teriak tadi. Ya sudah, sabar aja ya. Semoga orang begitu cepat dipanggil Tuhan. Udah gak punya ginjal malah maksa," jawab Oma Anggit menenangkan Neneng. Jaya paham apa yang terjadi pada pelanggan daster calon janda ini, tetapi ia tidak mau ikut campur, apalagi ada omanya di rumah. Biarlah ia hanya sekedar membantu Neneng dengan memberikan tempat tinggal."Kapan makannya nih? Udah konser cacing saya," kata Jaya sembari meraih piring untuk memasukkan nasi ke dalamnya."Iya, ayo, makan, Neng. Habis marah-marah pasti kehabisan energi. Kamu harus makan banyak biar bisa marah-marah lagi besok." Oma Anggit mempersilakan Neneng untuk ikut duduk di atas karpet be
"Kamu yakin Novi udah balik dari jam dua siang?" tanya Bu Murni pada putranya. "Udah, Ma, udah balik naik taksi online," jawab Rizal dengan wajah panik. Ia terus menelepon nomor istrinya, tetapi tidak juga tersambung. "Ya Allah, apa diculik ya?" kata Bu Murni lagi membuat Rizal semakin panik saja. Pria itu pergi ke kamar anak sambungnya yang kini tengah bermain gitar."Dio, kamu punya kontak teman bunda kamu gak?" tanya Rizal."Gak ada, Om. Memangnya bunda ke mana? Dio gak lihat dari sore," tanya balik remaja SMA kelas dua itu."Iya itu dia, tadi bunda sama Om beresin toko, terus bunda pulang duluan karena harus urus nenek. Eh, malah gak sampai di rumah. Aduh, ke mana bunda kamu ini?" Dio bangun dari duduknya karena terkejut"Ini pasti penculikan, Om. Bunda banyak pakai emas gak? Tadi pagi pas Dio mau berangkat sekolah, bunda kayak toko emas berjalan. Semua ada dan semua dipakai." Anak remaja itu bertanya dengan penuh curiga. Tidak ada yang mengenal baik bundanya kecuali dirinya. "
"Selamat pagi, Pak. Saya mau melaporkan suami saya atas penggelapan surat rumah milik orang tua saya," ujar Neneng saat ia sudah duduk di depan seorang petugas kepolisian. "Bisa berikan alamat tempat tinggal Data suami dan data istri? Sebelum kami proses aduannya?" "Bisa, Pak." Neneng pun mulai menyebutkan data dirinya dan juga Rizal. Semua ia sebutkan tanpa ada yang terlewat. Polisi mendengarkan sambil mengerikan laporan wanita itu.Cukup lama Neneng di sana karena dia ditanya banyak hal perihal penyalahgunaan surat rumah. Termasuk data Pak Haji Yandi yang saat ini menahan surat rumah orang tuanyaKring!"Pak, saya ijin angkat telepon dulu!" Kata Neneng pada petugas di depannya."Silakan, Mbak." Neneng pun bangun dari duduknya dan berjalan sedikit menjauh dari petugas tersebut."Halo, assalamualaikum.""Kamu mengajukan gugatan cerai? Hebat sekali kamu? Uang dari mana? Jangan bilang uang dari tukang daster bau itu!""Iya, memangnya kenapa? Apa ada masalah? Memang lebih baik kita ce
Semua orang di rumah tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam, karena Novi masih belum juga ditemukan. Rizal bahkan berjaga di ruang tamu tanpa mengunci pintu rumah karena berharap istrinya itu pulang dengan tiba-tiba. Hingga suara adzan subuh berhasil membuat Rizal yang sejak semalam menahan kantuk, akhirnya tertidur juga."Rizal, Rizal! Mama mau pipis!" Teriak Bu Murni dari dalam kamarnya yang tertutup. Wanita tua itu sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil, tetapi putranya tidak juga menghampirinya. Jika ada Novi, maka sebelum subuh, wanita itu sudah memaksanya untuk pipis."Rizal! Bangun! Mama mau pipis nih!" Teriak wanita itu lagi, tetapi Rizal sangat pulas. Begitu juga halnya dengan Dio yang karena begadang, ia tidak bisa mendengar suara apapun karena terlalu mengantuk."Rizal, Dio! Bangun!" suara wanita tua itu melengking, berharap ada yang datang. Namun, tenaganya percuma, karena lima menit sudah ia membangunkan semua orang yang ada di rumahnya, tidak ada satu pun yang
"Alhamdulillah akhirnya dari mereka satu per satu Allah balas dengan begitu mengerikan. Ya ampun, hampir dimakan singa di hutan. Berarti yang dikatakan Sari kemarin tentang Mbak Novi benar."Neneng terus bergumam hingga siaran itu pun habis. Ia hanya tersenyum senang karena Allah mengabulkan doanya minta agar ia bisa melihat balasan setimpal untuk Rizal dan selingkuhannya.Sementara itu, Rizal sedang berada di bank, dalam antrean kustomer service, saat ponselnya berdering.Ia melihat nama Dio ada di layar, tetapi karena tidak ingin diganggu, Rizal mengabaikannya. Dering itu tidak berhenti, hingga membuat semua mata kustomer bank yang lain menatap Rizal dengan sebal dan juga bingung."Mungkin bisa diangkat teleponnya, Pak, biar tidak menganggu yang lain. Bisa juga dinon aktifkan suaranya saja," tegur salah satu petugas keamanan bank yang ada di dalam ruangan. Rizal pun mengaktifkan mode senyap. Satu jam lima belas menit lamanya menunggu, akhirnya tiba giliran pria itu. Dengan hati be
"Aduh, ngibulnya juara pisan! Mana mungkin ini mobil Kang Jaya, orang Kang Jaya ke mana-mana jalan kaki. Paling naik angkot. Udahlah, Kang, mau Kang Jaya kaya, mau Kang Jaya miskin, saya juga belum tentu naksir," ujar Neneng diikuti gelak tawa keduanya. Jaya tidak menyahuti lagi komentar Neneng. Ia membiarkan pelanggan tetap dasternya itu menikmati pemandangan ibu kota Jakarta saat malam hari."Kita mau ke mana sih, Kang?" tanya Neneng lagi saat mereka tiba di lampu merah. "Ke mal, katanya Mbak Neneng udah hampir dua tahun gak masuk mal," jawab Jaya santai. Jaya kembali menekan sedikit gas agar mobil kembali melaju setelah lampu hijau menyala. "Kang Jaya baik banget. Oh, iya, ini uangnya, Kang." Neneng memberikan pembelian daster para tetangga sebesar lima ratus delapan puluh ribu yang ia lipat dan masukkan ke dalam plastik flip kecil."Taruh sini saja, Mbak!" Jaya menunjuk dashboard mobil. Neneng pun menurut. Ia meletakkan plastik kecil itu di sana. Tidak mungkin Kang Jaya yang pu
Pov Rizal. "Om, di mana?""Om sudah di jalan menuju rumah sakit. Kamu tunggu di sana. Jangan ke mana-mana.""Baik, Om, cepat ya!"Aku kembali menyalakan mesin motor menuju rumah sakit. Aku baru saja dari rumah Bude Hartini dan meminjam sejumlah uang untuk Novi. Syukurlah bude memberikanku pinjaman satu juta rupiah. Semoga saja biaya pengobatan Novi tidak terlalu besar dan di-cover semua oleh BPJS. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku merapalkan doa ratusan kali agar kondis Novi tidak terlalu buruk. Berada di hutan dalam keadaan menyedihkan, membayangkannya saja aku tidak berani. Aku singgah sebentar di sebuah minimaeker sejuta umat untuk membeli air dan juga roti. Jika aku harus jajan di rumah sakit, maka uangku tidak akan cukup. Dua botol air mineral dan satu bungkus roti sobek aku beli sebagai bekal ke rumah sakit. Aku juga membeli apel yang sudah di-pack sebanyak 3 buah. Tiga puluh ribu dua ratus rupiah saja belanjaku. Jika aku beli di kantin rumah sakit, bisa-bisa aku harus