"Neneng, kamu Neneng'kan?" aku terkejut melihat penampilan istriku yang sangat berbeda dari biasanya. Wajahnya terlihat lebih ceria, walau saat ini malam hari dan tidak terlalu jelas. Senyumnya sangat lebar, persis awal-awal kami menikah. "Anda salah orang, Mas. Neneng udah mati. Ini saya kuyangnya Neneng." Jawaban wanita itu tentu saja tidak menyurutkan rasa penasaranku. Aku tahu ia Neneng dan saat ini ia malah tengah berkencan dengan pedagang daster keliling. "Tunggu! Neng, kamu jangan mengada-ada! Aku tahu kamu Neneng. Sedang apa kamu di sini sama lelaki ini? Pulang, ayo, ikut aku!" Aku menarik paksa tangan Neneng, tetapi ditepis oleh Jaya. Ya, tukang daster keliling favoritnya ibu-ibu di sekitar rumahku dulu, kini bak jadi pahlawan kemalaman. "Mau apa kamu? Jangan ikut campur urusan saya!" Tantangku dengan mata mendelik. Berharap nyalinya ciut, tetapi pemuda itu malah tertawa. Seakan tengah meremehkanku."Ayo!" Sekali lagi aku menarik tangan Neneng."Gak mau!" Tanganku akhirnya
"Apa, Zal? Operasi? Uang dari mana? Eh, tapi Novi ada BPJS loh. Pasti ditanggung rumah sakit semua," kata mamaku sembari aku mengganti pakaiannya yang basah kena ompol. Untunglah mama tidak jadi buang air karena sembelit. "Ma, gak di-cover semua sama BPJS, Ma, tetap kudu pegang uang tiga puluh sampai empat puluh juta. Ma ..." Aku duduk di samping mama. "Kenapa? Jangan bilang kamu mau gadai surat rumah ini. Iya kalau kamu bisa ganti, kalau tidak, kita mau tinggal di mana? Nggak, surat rumah harus tetap disimpan." Mama terang menolak. Aku pun sebenarnya tidak mau punya niat seperti itu, tetapi aku tidak tahu mau pinjam ke mana lagi. Jika saja aku masih kerja, aku mungkin masih bisa pinjam ke koperasi karyawan pabrik, tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi."Coba pinjam sama teman kamu. Jaminannya motor kamu itu. Beli motor mahal banget sampai puluhan juta. Kamu itu mubazir!" "Ma, motornya dirampok." Mama mendelik terkejut dengan mulut setengah terbuka."A-apa maksud kamu, Zal? Motor k
PoV Neneng"Ada apa, Mbak? Siapa yang menelepon?" tanya Kang Jaya yang baru saja masuk ke dalam mobil. Kami berhenti sebentar di pom bensin karena ia kebelet buang air kecil."Tebak siapa?" tanyaku balik. Tentu saja Kang Jaya mengangkat bahunya tidak tahu. Ponsel miliknya aku kembalikan, lalu ia mengecek kontak yang meneleponnya."Bang Rizal menelepon? Mau apa? Apa mau bayar utang biar Mbak Neneng bisa ikut sama dia?" tanya Kang Jaya curiga. Tentu saja aku terbahak mendengar komentar Kang Jaya. "Mending amat bayar utang, Bang Rizal mau utang lagi, Kang. Kalau dari suaranya, dia beneran butuh. Oh iya, istri muda yang tua itu hilang. Terus ditemukan di hutan, hampir dimakan singa. Kalau kata saya, Bang Rizal butuh biaya untuk itu," terangku panjang lebar pada Kang Jaya."Waduh, emang singa doyan daging alot?" katanya lagi padaku."Mana saya tahu, orang saya gak pernah masakin buat singa, ha ha ha ..." Kami berdua pun tertawa geli. Seumur-umur nyicil di daster di Kang Jaya, baru kali in
"Pak Ari salah paham, Pak. Ini kejadiannya tidak seperti yang Bapak lihat. Ini Kang Jaya lagi sakit dan ...""Memangnya kamu siapanya sampai begitu peduli pada Jaya? Kalian bukan suami istri dan kamu, Neng, bukankah di KTP kamu statusnya menikah. Berarti kamu dan Jaya di sini melakukan hal terlarang. Saya akan panggil Pak RT!" Aku mendesah sebal. Selalu saja Pak Ari sering salah sangka padanya. Pria setengah baya itu sudah berlari keluar untuk memanggil Pak RT. Aku menatap Kang Jaya yang masih menggigil di atas ranjang. Segera kuambil selimut, lalu menyelimutinya. "Kalau bayar suster dari rumah sakit, pasti bayarannya mahal," ledekku agar suasana diantara kami tidak canggung."Hmm ... bilang aja minta dibayar," komentar Kang Jaya dengan mata terpejam. Ia santai sekali dengan ancaman yang dilontarkan Pak Arif padanya. Pemuda itu tetap memejamkan mata, seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan."Kang, gimana kalau Pak RT kemari dan menikahkan kita? Seperti cerita-cerita di novel itu,"
"Maaf, ya ampun, saya mencari Pak Rizal dan adik ini. Mohon maaf, ini sepertinya janin Bu Novi harus diangkat," seorang dokter dan perawat, tiba-tiba saja menyela percakapan antara Dio dan Bang Rizal. Aku dan Kang Jaya pun ikut terkejut juga. Apalagi kabar yang dibawa oleh beliau bagaikan hujan uang di depanku. "Ya Allah, bayi saya, Dok?" tanya Rizal tidak percaya. Hati ini bagaikan dicubit saat melihat ekspresi kecewa, sedih, yang diperlihatkan oleh Rizal. Mengapa ia bisa begitu peduli pada bayi Mbak Novi, sedangkan saat bayiku ....""Mbak, ayo, pergi! Nama saya muncul di layar!" Kang Jaya langsung menarikku untuk segera pergi dari Rizal. Padahal aku ingin mendengar kabar gembira itu lebih lanjut. "Yang namanya bayi tetap tidak berdosa, Mbak. Yang salah itu orang tua. Sudah dengar tadi istri tua Bang Rizal harus diangkat janinnya. Berarti sudah satu sama mereka berdua mendapatkan karmanya. Kita tidak boleh dendam. Cukup balas dengan cantik." Kang Jaya mengedipkan matanya, tepat di
Kring! KringAku tersentak saat ponselku tiba-tiba berdering. Lekas aku bangun untuk melihat siapa yang menelepon. Merasa tidak mengenal nomor baru tersebut, aku pun mengabaikan dan melanjutkan kembali melipat daster yang baru saja di acak-acak tetangga. Beli nggak, malah dicobain semua, plus pake foto Selfi. Biar apa coba? Biar kelihatan keren, seolah-olah beli daster banyak? Aku terus saja menggerutu kesal sambil melipat pakaian itu, kemudian menyusunnya kembali ke dalam rak."Mbak, kamu gak belanja? Besok kita sahur loh," ujar Kang Jaya yang sudah berdiri di depanku dengan wajah yang masih tidak sehat. Tiga hari sudah berlalu dan dia masih juga nampak lemah."Pengen sih, nanti sore aja beli minimarket Frozen, Kang. Ayam, daging, bumbu pun ada. Kakang mau saya masakin apa?" tanyaku sambil tersenyum."Semur daging dan tahu goreng untuk sahur. Mbak bisa bikinnya?""Bisa dong, nanti saya buatkan ya. Setelah ini selesai, saya pergi belanja. Obat Kang Jaya sudah diminum?" pemuda itu meng
Gara-gara pernyataan sekaligus pertanyaan Kang Jaya kemarin, sudah dua malam ini aku tidak bisa tidur. Jangankan tidur, lagi beres-beres daster aja aku kepikiran ucapan Kang Jaya. Pemuda itu tulus, tapi bukannya ia punya penyakit, bagaimana kalau aku gak bisa membuatnya sembuh? Atau malah bikin dia jadi kembali lagi ke jalan yang bengkok?TingtongBel ruang sidang berbunyi. Kepala ini sedikit mendongak untuk melihat nomor antrean perkara yang sudah bisa masuk ke dalam ruangan. Aku pun berdiri dan dengan percaya diri, serta penuh keyakinan, masuk ke dalam ruang sidang."Dengan Mbak Neneng? Apa Mbak Neneng sendiri?" tanya petugas panitera yang duduk di sebelah hakim."Iya, Yang Mulia. Saya sendiri. Semoga tergugat gak perlu datang, agar bisa lancar urusan perceraian ini dengan cepat, Yang Mulia," jawabku dengan santun dan penuh hormat. Semalam aku sudah diajarkan oleh Kang Jaya, bahwa saat bicara di depan hakim dan pejabat ruang sidang lainnya, aku harus berkata-kata dengan lugas, tanpa
POV JayaHari ini aku kembali berkeliling menjajakan daster, karena ini adalah puasa pertama, rasa hausnya beda. Lelahnya juga sangat terasa. Apa mungkin karena aku baru saja sembuh? Tubuh rasanya loyo dan tidak bertenaga. Untuk apa semua yang aku lakukan ini? Padahal ada banyak warisan yang menunggu untuk aku sentuh. Apa nungkin agar aku bisa segera melupakan Ken? Tiba-tiba saja wajah tampan Ken berubah menjadi wajah Mbak Neneng. Istri orang yang punya masalah gak kelar-kelar. Satu hal yang aku heran, kenapa hati dan tangan ini begitu ringan membantunya disaat ia sedang kesulitan? Tidak mungkin aku naksir kan? Aku menoleh ke belakang untuk melihat jam dinding yang ada di mushola tempat aku solat Zuhur, sekaligus beristirahat. Sudah jam dua siang dan rasanya kaki ini sudah tak sanggup untuk berkeliling lagi. Mengingat Mbak Neneng yang hari ini menjalani sidang pertama, sebaiknya aku telepon saja. "Halo, Mbak Neneng di mana?""Halo, Sayang." Aku mendelik kaget mendengar kata sayan