Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
Jaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
"Bonus lembur Abang cair, Neng," kata suamiku dengan wajah riang. Aku terdiam sebentar dengan mulut setengah terbuka. "B-beneran, Bang?" suamiku mengangguk semangat. Senyumku pun ikut mengembang juga, diiringi ucap syukur di dalam hati. Ia meletakkan tas ransel di balik pintu kamar kami. Senyumnya begitu lebar, sejak turun dari motor tadi, sampai di kamar ini pun masih terus senyum. "Alhamdulillah ya, Bang. Satu bulan cairnya?" tanyaku lagi masih terus memandangnya atusias. Susu hamil yang biasa aku minum sudah habis. Rabu nanti pun aku jadwalnya USG, sehingga perlu uang lebih saat periksa rabu nanti. Tentu saja mendengar bonus lemburan suamiku cair, hati ini begitu senang dan lega. "Tiga bulan, Neng. Delapan ratus dikali tiga. Dua juta empat ratus." "Alhamdulillah, kebeneran susu hamil Neneng habis, Bang. Rabu juga mau USG harus bawa uang lebih dari biasanya. MasyaAllah reje.... ""Uangnya udah Abang kasih ke mama semua, Sayang," sela suamiku dengan senyum kaku. "Apa? Dikasih k
Percuma saja aku sok kuat seperti tokoh wanita di novel online yang aku baca, karena kenyataannya tubuh ini tidak mempunyai tenaga untuk menolak keinginan suami dan tidak bisa juga memaksakan keinginan kita pada suami. Entah bagaimana aku melewati masa kehamilan yang tinggal tiga bulan nanti. Jika untuk persalinan dan perawatan ada BPJS pabrik, tetapi untuk baju bayi dan segala pernak-pernik melahirkan, sama sekali aku tidak punya uang. "Mandi gih! Udah mau magrib nih." Bang Rizal masuk ke kamar dengan wajah segar setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku pun memakai kembali atasan daster, lalu berjalan lemas keluar kamar. "Jangan gak semangat gitu dong, Sayang. Abang beneran lagi cape banget, tapi pengen. Jadinya gak maksimal deh." Bang Rizal tertawa. Ia mencolek bokongku dengan isengnya. "Cape sih boleh, tapi gak lima detik juga kali," kataku dengan suara menahan emosi. Sudahlah uang bonus tak dibagi barang sedikit pun. Giliran minta jatah, benar-benar baru merem sekali, mal
"Loh, Neneng ikut kemari, tumben!" Mbak Novi menyambutku dengan senyuman yang aku tahu sekali, senyuman itu palsu. Entah apa yang ia tidak suka dariku, yang jelas auranya begitu menyeramkan bila aku datang berkunjung. "Iya, Mbak, katanya kangen mama. Jadi sekalian bareng saya. Kelar sarapan, saya berangkat kerja, Neneng mungkin masih di sini dulu." Jawaban Bang Rizal membuat Mbak Neneng mengangguk. Kami pun masuk ke dalam rumah mertuaku yang cukup luas. Rumah dalam keadaan rapi, serta harum pembersih lantai. Ubin kotak-kotak putih itu begitu mengkilap dan kesat. Ini pertanda Mbak Novi benar-benar menyapu dan mengepelnya. Aku saja bisa bercermin di ubin karena terlalu licin dan mengkilapnya."Mama mana?" tanya Bang Rizal pada Mbak Novi. "Ada di kamar, baru aja saya mandikan." Wanita itu menjawab sambil lalu. Aku dan Bang Rizal masuk ke kamar mama. Sebelumnya sudah kuniatkan dalam hati untuk berani meminta uang bonus Bang Rizal sebagian. Usaha dulu saja, kalau tidak dapat, aku bisa b
"Kamu sakit, Neng?" Mbak Novi menatapku remeh. Ia meraih piring kosong kotor dari atas meja makan. "Wajar dong saya tanya gitu, Mbak. Memangnya Bang Rizal mau belikan apa?" tanyaku lagi masih dengan suara tidak terima. "Neng, kamu ini aneh sekali. Saya tuh gak sengaja senggol HP Mbak Novi, terus pecah. Jadi saya harus ganti dan Mbak Novi maunya HP yang sama kayak punya dia. Ya saya belum ada duit. Kemarin saya baru setor buat pampers mama kan." Bang Rizal menjelaskan dengan ekspresi wajah meyakinkanku. Masuk di akal juga karena memang sejak kemarin aku tidak melihat update status Mbak Novi. Biasanya, apapun dan kapanpun itu, wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu selalu posting. "Tuh, dengerin. Malah nuduh selingkuh, dosa kamu sama Mbak dan suami kamu!" Mbak Novi berjalan begitu saja melewatiku. Kakinya melangkah menuju kamar ibu mertua. Aku pun akhirnya berjalan ke dapur, hendak mengambil nasi dan juga sop iga. Namun, aku tidak menemukan apapun di dapur selain nasi yang masi