Percuma saja aku sok kuat seperti tokoh wanita di novel online yang aku baca, karena kenyataannya tubuh ini tidak mempunyai tenaga untuk menolak keinginan suami dan tidak bisa juga memaksakan keinginan kita pada suami. Entah bagaimana aku melewati masa kehamilan yang tinggal tiga bulan nanti. Jika untuk persalinan dan perawatan ada BPJS pabrik, tetapi untuk baju bayi dan segala pernak-pernik melahirkan, sama sekali aku tidak punya uang.
"Mandi gih! Udah mau magrib nih." Bang Rizal masuk ke kamar dengan wajah segar setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku pun memakai kembali atasan daster, lalu berjalan lemas keluar kamar. "Jangan gak semangat gitu dong, Sayang. Abang beneran lagi cape banget, tapi pengen. Jadinya gak maksimal deh." Bang Rizal tertawa. Ia mencolek bokongku dengan isengnya. "Cape sih boleh, tapi gak lima detik juga kali," kataku dengan suara menahan emosi. Sudahlah uang bonus tak dibagi barang sedikit pun. Giliran minta jatah, benar-benar baru merem sekali, malah udahan. Suara tawa Bang Rizal yang masih menggema, untung saja tertutup dengan suara azan magrib. Aku mengambil handuk untuk menutupi paha ini. Lalu aku memanaskan sayur untuk makan malam kami, sambil menunggu selesai azan, barulah aku mandi. Selesai mandi dan solat, aku menyiapkan makan malam. Bang Rizal keluar, katanya ingin beli rokok. Telur dadar, sambal, dan juga sayur bening wortel, kentang, dan juga soun. "Bang, makan dulu yuk!" Ajakku begitu Bang Rizal pulang. "Eh, iya, saya udah makan di rumah mama tadi. Mbak Novi masak gulai ayam, goreng bakwan, dan juga sambal. Pas banget saya lapar, ya udah, saya makan aja. Kamu makan sendiri aja, Neng. Habisin semua lauknya biar gak mubazir." Jawaban Bang Rizal membuatku benar-benar sedih. Di rumah, selama beberapa hari ini sengaja aku menghemat uang belanja karena sudah semakin sedikit, sedangkan tanggal gajian masih delapan hari lagi. Aku memasak seadanya, padahal aku ingin sekali memasak menu enak yang sering aku lihat di i*******m, tapi apalah daya, aku harus berhemat masak seadanya.Sisa dua ratus ribu untuk delapan hari, belum dipotong susu hamil satu kotak. Undangan Pak RT yang menikahkan anaknya dan entah pengeluaran lainnya yang tidak terduga. "Neng, Abang pinjam seratus dulu, besok ada urusan dengan teman. Bekal Abang tinggal lima puluh ribu." Bang Rizal duduk di kursi makan sambil menatapku. "Gak ada," jawabku singkat tanpa mau menatap wajahnya. "Loh, kenapa gak ada? Ke mana uangnya? Kan masih banyak. Kalau makan cuma begini doang, paling sepuluh ribu sehari. Masa uangnya udah gak ada?" Aku menelan ludah. Nasi yang ada dalam mulut ini begitu susah untuk kutelan karena ucapan suamiku yang begitu membuatku terkesan berlaku curang dalam urusan perut. "Bang, saya bukan petani yang bisa memanen padi, kemudian diolah menjadi beras, lalu dimasak menjadi nasi. Saya juga bukan ayam, yang sekali ngeden keluar telur. Saya juga bukan petani sawit, sehingga bisa mengolahnya jadi minyak. Semua butuh uang, Bang, uang yang Abang kasih juga untuk periksa kandungan. Susu hamil, kondangan, mesin aer mati, pake uang ini juga. Arisan Abang di RT seratus ribu sebulan juga pakai uang ini. Ya Allah, Abang gak boleh gitu sama istri. Nih, Abang medit sama istri, maka.... ""Udahlah, banyak sekali alasan kamu! Kalau gak ada, ya udah!" Bang Rizal masuk ke kamar dengan wajah marah. Aku menggelengkan kepala, sambil mengusap perut ini yang bergerak tidak lincah seperti biasanya. "Sabar ya, Nak, nanti kita cari selingkuhan CEO biar bisa makan enak," gumam Neneng sambil mencebik menatap pintu kamar. Malam ini kami lewati dengan tidur saling memunggungi. Jika Bang Rizal sudah mendengkur dengan keras, maka tidak denganku yang masih terjaga. Entah jam berapa aku baru bisa lelap, karena rasanya baru sebentar terpejam, azan subuh pun berkumandang. "Bang, bangun, sudah subuh," kataku membangunkan Bang Rizal. Suamiku masih tertidur pulas. "Bang, bangun, solat dulu!" Kataku lagi sambil mengguncang tubuhnya. Bang Rizal berbalik, lalu menoleh ke arahku dengan mata memicing. "Bangun, udah setengah lima." "Nanti saja," jawabnya dengan suara begitu serak. "Abang tuh harus solat, sebelum disolatkan." Aku segera turun dari ranjang agar tidak mendapat pelototan dari suamiku. Aku pun berwudhu dan melaksanakan solat subuh di kamar, dengan suami yang masih saja mendengkur.Selesai solat, aku kembali membangunkannya, tetapi percuma saja, Bang Rizal masih sangat pulas. Kuputuskan untuk memasak nasi goreng saja sebagai menu sarapan hari ini. Bang Rizal bangun saat aku sedang mengaduk nasi di penggorengan. "Nasi goreng lagi ya?" tanyanya saat melewatiku. "Iya, sayang nasinya dibuang," jawabku tanpa mau menatapnya. "Lama-lama aku bisa bau bawang karena makan nasi goreng setiap hari. Neng, Neng, kreatif gitu kalau masak, jadinya suami senang makan di rumah." Protes dari Bang Rizal tidak kujawab. Masih pagi dan aku malas berdebat. Nasi goreng matang, teh pun sudah tersedia di atas meja. Aku menunggu Bang Rizal tanpa semangat. Aku pun ingin sarapan roti dengan mentega dan coklat mesis. Aku ingin sarapan nasi uduk dengan bakwan goreng, pengen makan ketoprak telur, tetapi aku sadar, bahwa aku harus berhemat."Saya sarapan di rumah mama aja deh. Barusan saya nanya Mbak Novi, katanya dia masak sop iga." Bang Rizal menyambar teh di atas meja. "Coba kalau uang bonus saya dibagi sedikit, saya juga bisa masakin sop iga," ujarku dengan menahan pedih di hati. "Ck, masih masalah itu saja yang kamu bahas. Pergi aja ke sana, minta sendiri kalau kamu berani!" "Siapa bilang saya gak berani? Oke, saya ikut ke rumah mama sekarang, saya juga mau sarapan sop iga, karena Mbak Novi masak pakai uang suami saya. Ayo, saya ikut kamu, Bang." Aku pun sudah berdiri tegak, sembari menatap suamiku dengan tatapan menantang."Loh, Neneng ikut kemari, tumben!" Mbak Novi menyambutku dengan senyuman yang aku tahu sekali, senyuman itu palsu. Entah apa yang ia tidak suka dariku, yang jelas auranya begitu menyeramkan bila aku datang berkunjung. "Iya, Mbak, katanya kangen mama. Jadi sekalian bareng saya. Kelar sarapan, saya berangkat kerja, Neneng mungkin masih di sini dulu." Jawaban Bang Rizal membuat Mbak Neneng mengangguk. Kami pun masuk ke dalam rumah mertuaku yang cukup luas. Rumah dalam keadaan rapi, serta harum pembersih lantai. Ubin kotak-kotak putih itu begitu mengkilap dan kesat. Ini pertanda Mbak Novi benar-benar menyapu dan mengepelnya. Aku saja bisa bercermin di ubin karena terlalu licin dan mengkilapnya."Mama mana?" tanya Bang Rizal pada Mbak Novi. "Ada di kamar, baru aja saya mandikan." Wanita itu menjawab sambil lalu. Aku dan Bang Rizal masuk ke kamar mama. Sebelumnya sudah kuniatkan dalam hati untuk berani meminta uang bonus Bang Rizal sebagian. Usaha dulu saja, kalau tidak dapat, aku bisa b
"Kamu sakit, Neng?" Mbak Novi menatapku remeh. Ia meraih piring kosong kotor dari atas meja makan. "Wajar dong saya tanya gitu, Mbak. Memangnya Bang Rizal mau belikan apa?" tanyaku lagi masih dengan suara tidak terima. "Neng, kamu ini aneh sekali. Saya tuh gak sengaja senggol HP Mbak Novi, terus pecah. Jadi saya harus ganti dan Mbak Novi maunya HP yang sama kayak punya dia. Ya saya belum ada duit. Kemarin saya baru setor buat pampers mama kan." Bang Rizal menjelaskan dengan ekspresi wajah meyakinkanku. Masuk di akal juga karena memang sejak kemarin aku tidak melihat update status Mbak Novi. Biasanya, apapun dan kapanpun itu, wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu selalu posting. "Tuh, dengerin. Malah nuduh selingkuh, dosa kamu sama Mbak dan suami kamu!" Mbak Novi berjalan begitu saja melewatiku. Kakinya melangkah menuju kamar ibu mertua. Aku pun akhirnya berjalan ke dapur, hendak mengambil nasi dan juga sop iga. Namun, aku tidak menemukan apapun di dapur selain nasi yang masi
Mataku terasa amat berat. Aroma menyengat yang masuk ke hidung ini membuatku mencoba untuk membuka kelopak mata. Samar-samar aku melihat sosok yang seperti kukenal wajah dan juga baunya. "Ya Allah, Kang Jaya, kalau mau nagih ke rumah aja, masa di jalan begini?" tanyaku masih setengah sadar. Pria yang tadinya menoleh ke samping, kini melihat ke arahku dengan wajah terkejut. "Alhamdulillah akhirnya sadar juga. Siapa yang mau nagih, Mbak. Ini loh, Mbak Neneng pingsan di jalan. Makanya saya bawa ke sini karena saya kenal. Kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Neneng, tagihan dua ratus rebu saya bisa lewat dong!" Jawab Kang Jaya sambil menyeringai. Alasan lucu yang sungguh masuk akal menurutku. Tidak mungkin pria medit seperti Kang Jaya mau melepas para emak-emak yang berutang padanya. Sampai ke lubang hidung dinosaurus pun pasti dia kejar. "Mbak, ye... malah bengong. Nih, kata dokter, perut Mbak kosong. Bulan Ramadhan masih empat puluh hari lagi, Mbak. Kenapa udah puasa sekarang? Lagian
"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala. "Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas. "Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku. "Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang k
"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. "Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling,"
"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!