"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur.
"Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling," jawaban suster itu seperti menyindir Bang Rizal, tetapi dasar suamiku ini kadang kepala batu, kadang kepala squishy, oleh karena itu wajahnya tampak tenang. "Oke, berarti saya tinggal bawa ya. Makasih, Sus." Aku hanya bisa sedikit mengangguk sebagai kode bahwa aku sangat berterima kasih atas kebaikan tim klinik yang merawatku. Aku naik ke atas motornya tanpa suara. Hati ini masih kesal, sebal, dan juga kecewa pada Bang Rizal. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Wajah ini tersapu angin pagi yang tidak segar lagi karena sudah bercampur dengan asap knalpot. "Bang, kita ke apotek, ada resep dokter yang harus ditebus," kataku tepat di telinganya yang tertutup helm. "Kamu punya uang buat nebus resep? Abang gak ada," tannyanya santai. "Gak ada.""Ya sudah, tunggu saya gajian aja kalau gitu. Minum obat yang gratisan aja, Neng. Oh, iya, tagihan klinik tadi biar saya rembuise ke pabrik, kayaknya digantiin deh. Notanya ada di kamu apa masih di klinik?" "Yang bayar siapa, yang nagih nota siapa? Saya gak tahu!" Aku kembali bungkam hingga kami sampai di rumah."Istirahat ya, Sayang. Gak usah masak kalau masih lemas. Ceplok telur aja. Malam ini Abang makan si rumah mama lagi." Bang Rizal mengatakan hal membuatku kesal setelah ia mengecup kening ini. "Nginep di sana juga?""Nggak dong, Abang pulang. Ya sudah Abang berangkat. Jangan lupa tanyain nota klinik ke tukang daster itu. Biar bisa digantiin pabrik. Lumayan kan enam ratus lima puluh ribu. Bayarnya nanti kamu tetap cicil aja ke dia. Oke sayang?" aku malas menjawab. Aku berbalik dan langsung masuk ke dalam rumah. Suara motor Bang Rizal pun menjauh. Aku menghela napas kasar dan memilih langsung berbaring di ranjang. "Mbak Neneng, kredit! Kredit!" baru saja rasanya pulas, suara penagih utang itu pun sudah memanggil namaku dengan begitu jelas. "Assalamu'alaikum!""Wa'alaykumussalam, tunggu ngapa!" Aku mendecih. Kuambil uang sepuluh ribu pemberian Kang Jaya kemarin. Biarlah pakai uang itu saja aku bayar cicilan daster dan klinik ini. Begitu pintu kubuka, pria itu langsung menoleh sambil tersenyum. Aroma asem, kecut, dan sedikit bau terasi membuatku terpaksa menutup hidung. "Kang, kalau mau keliling nagih, mandi dulu gak sih? Bau banget ini!" Aku mengibaskan tangan di depan wajah. "Ya mandilah, masa kagak.""Mandi air sumur apa mandi air comberan? Bau banget!" Kataku lagi sambil menahan mual. "Air sumur Mbak. Ya namanya keliling, pasti keringet. Masa iya saya udah keliling, pas mau ke sini, saya kudu mandi dulu. Segen amat! Buang-buang air saya, buang-buang sabun." "Iya, iya, bawel! Udah nih, uangnya! Saya masuk ya, gak tahan baunya!" Aku langsung menutup pintu begitu Kang Jaya menerima uang sepuluh ribu dariku. Setelah aroma apek terasi itu menghilang, barulah aku berani membuka pintu rumah. Hawanya selalu panas dan gerah sejak masuk kehamilan tri semester tiga ini. Kunyalakan TV untuk menonton berita gosip terkini, tetapi yang ada hanyalah berita kriminal. Segera aku matikan TV dan bermaksud untuk rebahan lagi. "Assalamu'alaikum, Mbak Neneng.""Wa'alaykumussalam, eh... ya Allah, Sari. Apa kabar? Ya ampun, sini masuk." Aku menyambut gembira kedatangan Sari, sahabatku saat masih sama-sama kerja di pabrik. "Kata Mas Rizal kamu sakit. Jadi aku ke sini, kebetulan aku off hari ini. Gimana udah enakan?" tanyanya sambil terus memperhatikan wajahku. "Udah, sehari doang dirawat nya, Sari. Kamu mau minum apa?" tanyaku sambil berdiri. "Teh aja deh.""Tunggu ya." Aku pun berjalan ke dapur untuk membuatkan teh. "Neng, selamat ya. Keren Mas Rizal terpilih jadi karyawan teladan tanpa cuti dan ijin selama dua tahun!" Seru Dari dari ruang tamu. "Apa? Karyawan teladan?" tanyaku terkejut. Teh manis sudah ada di tanganku, lekas aku bawa ke depan. "Oh, itu, iya... yang itu ya. Alhamdulillah, Bang Rizal emang rajin sih," kataku berpura-pura menutupi keterkejutan ini. "Kamu dibeliin apa sama Bang Rizal? Karyawan teladan dapat uang tiga juta setengah plus bonus rapelan gaji satu juta dikali tiga bulan. Mantul gak tuh! Nih, aku aja bisa beli cincin dua gram.""A-apa, hadiah tiga juta setengah? Uang rapelan satu juta itu?" Sari mengangguk antusias. Apa yang telah dilakukan Bang Rizal di belakangku? Kenapa ia berbohong?Bersambung"Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum, bukan malah cemberut!" Bang Rizal duduk di kursi tamu untuk membuka kaus kakinya. "Lagi sakit gigi, mau senyum gimana?" balasku pergi meninggalkan Bang Rizal, menuju dapur. Terpaksa aku berbohong karena ia baru saja sampai dari luar. Jika suamiku itu sudah mandi, barulah aku nanti bertanya kenapa berbohong soal uang bonus. "Abang sudah makan, Neng. Buatkan teh saja!" Serunya dari dalam kamar. "Iya, ini lagi dibuat tehnya." Aku mengaduk teh dengan menahan kesal. Setelah selesai, cangkir teh aku taruh di atas meja depan. Biasanya, setelah mandi, Bang Rizal akan duduk di depan TV. "Neng, baju yang hijau mana ini!" Teriak suamiku dari dalam kamar. Aku bergegas menghampiri untuk membantunya mencari baju yang ia maksud. "Kalau udah disetrika, langsung simpen di lemari, Neng. Jangan ditumpuk aja di keranjang. Kalau mau dipake jadi susah. Gak ketemu. Baju hijau itu mana?" cecarnya tanpa jeda. Aku tidak menyahut, tangan ini fokus mengangkat
"Mbak Neneng, kredit!""Duh, libur kek nagih, sehari aja. Ini mana rajin pisan tiap hari keliling," gumamku sesaat setelah menyahuti teriakan Kang Kaya. Kuambil uang lima ribu rupiah dari dalam laci lemari untuk membayar cicilan pada Kang Jaya. Entah berapa total utangku, tak sanggup rasanya menghitungnya. "Mbak Neneng, kredit! Lama bener bukain pintunya. Kagak perlu dandan kalau mau ketemu saya mah. Apa adanya aja!""Dih, rajin amat saya dandan buat Kang Jaya. Mending kreditan saya didiskon," jawabku sambil membuka pintu rumah."Astaghfirullah, baunya, Kang. Mandi pake sabun apa mandi pake aer comberan sih? Uek! Uek!" kulemparkan begitu saja uang lima ribuan tadi dan langsung masuk kembali ke dalam rumah. Bau badan Kang Jaya tak sanggup aku hirup, persis bau pesing di terminal. Bisa-bisa aku muntah koin kalau terus duduk di dekat pria itu. "Kang, besok kalau mau nagih kemari, kudu mandi dulu. Kalau nggak, saya gak mau bayar!" Suara tawa Kang Jaya terdengar sampai ke dalam. "Emangn
"Apa? Saya disuruh pergi? Emangnya ini rumah siapa? Ini rumah orang tua saya, Bang. Makanya kalau ngoceh itu juga pakai otak, biar mulut gak dikuasai setan." Aku pergi berlalu meninggalkan Bang Rizal yang terdiam. Terserah dia mau marah, mau minggat sekali pun, aku masa bodoh. Walau dalam keadaan marah, aku tetap membuatkan teh untuknya, lalu aku taruh di meja ruang tamu. Tak lupa kupanaskan kuah soto bening untuk dia makan. Selesai Bang Rizal mandi dan berganti pakaian, pria itu ternyata tidak keluar kamar lagi. Aku menunggu sampai satu jam lamanya, hingga kuah soto yang tadi hangat, sudah dingin kembali. Aku pun bangun dari duduk, lalu berjalan menuju kamar. Sebenarnya aku tidak ingin berbaikan, hanya saja sebagai istri, aku merasa perkataanku tadi sedikit berlebihan pada Bang Rizal. Belum pernah aku seperti itu. CklekPintu kamar terbuka lebih dahulu, sebel sempat aku membukanya. "Bang, ada apa ini?" tanyaku terkejut saat melihat Bang Rizal berdiri sambil memegang koper. "Aw!
"Aduh, perut saya!" Aku memekik saat merasakan sakit yang luar biasa pada perut buncit ini. Kedua kaki pun tidak berdaya untuk berdiri, hingga aku pun terkulai lemas, hampir saja jatuh di lantai ubin lobi mal yang dingin. "Waduh, Mbak Neneng, itu ada darahnya!" Pekik lelaki yang tidak lain adalah Kang Jaya. Setelah itu aku merasa semua gelap dan aku pun tak sadarkan diri. ***"Halo, Bu Asep, tahu nomor telepon suaminya Mbak Neneng gak?""Loh, ada apa Jaya?""Mbak Neneng pingsan dan sekarang lagi di rumah sakit.""Waduh, di rumah sakit mana, biar saya yang telepon Rizal.""Rumah sakit Harapan Ibu."Aku berusaha membuka mata, walau berat. Aroma disinfektan yang menusuk hidungku membuat perut ini semakin terasa bergolak. Suara lelaki yang sedang bercakap-cakap juga memaksaku untuk membuka mata. Sosok pria yang sedang memunggungiku saat ini sepertinya aku kenali. "Kang Jaya."Pria itu berbalik, menoleh ke arahku. "Alhamdulillah, Mbak Neneng sadar. Haduh, kenapa kalau ketemu saya di j
"Oh, jadi sudah menikah. Saya salut atas kejujuran Mbak Novi. Baiklah, terima kasih atas informasinya. Ngomong-ngomong, Saya bisa sendiri di rumah sakit ini, Mbak Novi pulang saja. Pasti ibu mertua sayang kita dan suami kita lebih butuh Mbak Novi." Aku berujar sambil menahan pedih di hati. Mbak Novi benar-benar muka tembok dengan datang ke rumah sakit dan mengaku istri kedua Bang Rizal."Iya, saya juga mau pulang. Mana mungkin saya mau lama-lama di sini. Saya ke sini cuma mau urus BPJS kamu dari pabrik. Sepertinya ada yang gak dicover sebesar lima ratus ribu. Saya gak bawa uang dan gak mungkin juga istri kedua bayarin obat istri pertama kan? Jadi tebus sendiri saja. Satu lagi, jangan minta uang pada suami berondong saya dan juga mertua saya." Wanita itu tersenyum sinis, lalu memberikan sebuah kartu dan juga satu lembar uang lima puluh ribu yang dilipat sesuai besar kartu."Ini titipan Bang Rizal. Saya permisi." Mbak Novi pun pergi meninggalkanku. Napas sesak yang sejak tadi kutahan, k
Malam hari. Wanita yang sangat tidak aku inginkan, malah nongol kembali di ruang perawatanku. "Mbak Novi jangan bercanda! Saya sedang sakit, Mbak. Kenapa harus datang lagi ke sini? Bayi saya baru saja dikubur dan Mbak Novi bilang bahwa Bang Rizal adalah suami Mbak Novi juga? Naksir boleh, Mbak, bego jangan! Bang Rizal sudah punya istri. Mbak adalah kakak sepupunya dan Mbak gak boleh jadi pelakor!" Aku berusaha menekan emosi yang saat ini berkumpul di dada. Mbak Novi bisa saja berbohong, apalagi tidak disertakan bukti. Aku tidak boleh percaya begitu saja. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku juga lagi hamil anak Rizal dan mulai detik ini. Semua uang Rizal buat aku karena aku yang hamil, sedangkan kamu keguguran'kan? " "Saya gak akan percaya jika tidak ada bukti. Selagi bukan Bang Rizal yang bicara, saya tidak akan percaya. Jadi sekarang tolong pergi! Jangan pernah muncul lagi di rumah saya! " Mbak Novi berjengkit kaget begitu mendengar suara lengkingan milikku.
"Bang Rizal gak bisa menggadaikan surat rumah orang tua saya. Itu hak saya! Ya Allah, kenapa suami saya setega ini pada saya? Saya baru saja keguguran dan... ""Aduh, itu bukan urusan saya ya. Silakan tanya sendirian pada Rizal. Kamu keguguran juga karena salah kamu sendiri. Makanya na lain lagi hamil, jangan pecicilan! "Mbak Novi memutus sepihak panggilanku. Kedua kakiku sudah tidak bisa menopang tubuh ini. Aku terduduk lemas di kursi balai dengan air mata yang sudah mengalir deras tanpa permisi. Kang Jaya mengambil ponselnya dari tanganku. "Samperin aja Pak Haji-nya, Mbak. Gak usah nangis! Minta baik-baik, siapa tahu dikasih, " ucap Kang Jaya memberikan ide. Aku hanya menunduk sambil meratapi nasib. "Jangan sedih dan stres, karena pasti ada yang senang kalau Mbak Neneng stres," katanya lagi memberikan masukan. "Kalau nggak dikasih?" tanyaku balik. Harapan aku dapat kunci rumah kembali hanya satu persen, sehingga aku tidak yakin untuk pergi ke rumah Pak Haji. "Ya, Mbak Neneng p
Byur!Cangkir berisi kopi, aku lemparkan ke wajahnya. Sebenarnya aku masih belum puas, tetapi melihatnya gelagapan dengan pipinya yang panas dan juga tumpahan air kopi, cukup membuatku sedikit lega. Napasku masih naik turun menahan emosi. Jika saja Bang Rizal tidak botak, sudah pasti kujambak rambutnya."Neng, apa-apaan kamu? Kamu gila!""Ya, aku gila, Bang! Aku gila karena kamu sudah menggadaikan surat rumah orang tuaku. Harta peninggalan mereka satu-satunya, lalu kamu beli motor dan senang-senang. Aku baru keguguran dan suamiku malah bersenang-senang di luar. Kamu yang lebih gila dari aku! Coba saja kamu tanya sama puluhan orang yang ada di sini, mencuri surat rumah orang, lalu menggadaikannya dengan tipu muslihat. Kamu yang gila, kamu yang gak waras! Ceraikan aku! Ceraikan!" Aku berteriak-teriak di depan wajahnya .Sudah tidak aku pedulikan tatapan puluhan pasang mata yang telah menjadikan aku dan Bang Rizal pusat perhatian ."Pulang kamu, bikin keributan saja! Pulang!" Bang Rizal
Jaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
POV NenengRasa gembiranya sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Wajah terkejut Novi dengan bola matanya yang hampir lepas dari bingkainya, membuatku tidak akan melupakan momen menyenangkan seperti tadi. Ia pasti merasa sangat sial karena telah berhasil dijebak olehku. Tidak ada yang menyangka, seorang Neneng bisa mengelabui musuh secara cerdas. Semua itu, tentu tidak lepas dari campur tangan dan campur rekening Kang Jaya. Jika saja ia tidak mau mengeluarkan uang dua ratus lima puluh untuk Bang Rizal, maka bisa dipastikan mertua, Novi, Rizal yang tengah dipenjara, akan sengsara. Namun, aku jadi merasa begitu berutang Budi pada Kang Jaya dan juga omanya, karena mereka sudah begitu baik dan percaya padaku.Sekilas kulirik Kang Jaya yang tengah menyetir mobil Mercy. Pasti tidak akan ada yang menyangka kalau ia juga adalah pedagang daster keliling. "Kenapa lirik-lirik, Mbak? Ada yang mau dikatakan?" tanya Jaya sambil tersenyum."Kang, soal uang dua ratus lima puluh itu bagaima
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men