POV Rizal"Loh, kenapa mukanya, Mas?" tanya Novi yang terheran melihat wajahku merah. Tidak langsung menjawab, aku memilih menghempaskan bokongku di sofa."Saya ambilkan air dulu!" Wanita dewasa itu begitu cekatan melayaniku. Ia tidak pernah mengeluh apalagi meminta yang tidak-tidak. Novi juga sangat mahir memuaskanku di ranjang, sehingga benar-benar hati dan tubuh ini terkunci padanya.Novi menghampiriku sambil membawa nampan berisi cangkir teh dan piring kecil berisi kue. "Ini, Mas, minum dulu!" Novi tidak sungkan membukakan kaos kaki ini dan langsung membawanya ke dapur. Lalu istri keduaku itu kembali lagi duduk di sampingku, sambil memijat keningku."Lagi banyak pekerjaan di pabrik?" tanyanya perhatian."Neneng ke pabrik dan membuat keributan. Pipi saya merah karena dapat oleh-oleh dari Neneng. Keluar-keluar dari rumah sakit, tenaga Neneng meningkat, begitu juga dengan keberaniannya," terangku sambil menatap Novi. Rahang Novi nampak mengeras. "Mau apa?" tanyanya."Neneng marah p
"Apa salah saya, Bu? Kenapa jadi saya yang dipecat?" cecarku tidak terima. Bu Dina tersenyum amat tipis, lalu ia membalikkan laptopnya mengarah padaku. Tulisan di layar laptop pun nampak diperbesar sehingga aku tidak perlu mendekat untuk dapat membaca tulisan di sana. Point tujuh yang ada di sana menuliskan bahwa setiap anggota karyawan tetap dihimbau untuk tidak menciptakan suasana panas di lingkungan kerja. Point delapan menuliskan bahwa setiap karyawan lelaki ataupun perempuan yang telah sah memiliki pasangan, dihimbau untuk tetap memegang prinsip pada pasangannya. Tidak berselingkuh apalagi poligami. Jika hal tersebut diketahui oleh ....Aku menghela napas. Kejadian Neneng kemarin adalah penyebab hari ini aku dipecat. "Bagaimana? Jika sudah begini, maka salah siapa? Jangan salahkan istri karena istri gak pernah salah. Begitu kan, Pak Rizal. Silakan ke bagian keuangan untuk ambil pesangon yang mungkin bagi Pak Rizal sedikit. Saya masih ada pekerjaan lain. Pintu keluar ada di belak
POV NenengDerit pagar yang terbuka membuatku menoleh. Rupanya Kang Jaya yang pulang sambil menenteng karung daster yang terlihat ringan. Aku tersenyum dari kejauhan, begitu juga Kang Jaya. "Laris ya, Kang?" tanyaku menyapa."Iya, alhamdulillah. Baru kali ini saya keliling bawa pakaian tiga puluh stel sama kerudungan 10 biji dan tersisa 2 saja bajunya, Mbak. Kerudung habis. Pelanggan saya juga hari ini pada setor cicilan. Paling kecil lima ribu. Alhamdulillah berkah membantu istri orang," jawab Kang Jaya. Ia terbahak di akhir kalimatnya. Aku pun ikut tertawa juga. Mungkin juga karena kebaikan Kang Jaya padaku, maka Tuhan memberikan kemudahan. Lalu, bagaimana dengan orang yang selalu memberikan kesulitan pada orang lain, apakah ia akan mendapatkan ganjaran yang sama?"Mbak udah enakan? Kapan harus kontrol jahitan?" aku tersentak dari lamunan. Kang Jaya duduk di teras rumahnya sambil mengibaskan topi yang ia pakai di depan wajahnya. Aroma keringatnya begitu menyengat sehingga aku harus
Hal yang pertama aku lakukan dengan uang delapan juta di tanganku adalah membayar cicilan daster pada Kang Jaya. Aku mengira dia jatuh hati benar padaku, sehingga tidak mau menerima utang yang kubayarkan, tetapi harapan dan prediksiku salah. Kang Jaya dengan semringah menerima uang satu juta yang aku berikan padanya. Entah utang daster, utang klinik, dan utang lainnya aku sampai lupa. Untunglah Kang Jaya menerima tanpa menghitung secara terperinci. Setelah melepas kepergian Kang Jaya, aku pun pergi ke bidan ke rumah sakit tempat aku dioperasi kemarin. Dengan menggunakan kartu BPJS yang ada padaku, aku memeriksakan kondisi jahitan dan juga memeriksakan kesehatan tubuhku.Kata dokter semuanya baik dan aku diberi vitamin penambah darah. Tidak gratis karena tidak di-cover BPJS, tetapi tidak apa karena saat ini aku ada uang. Selesai dengan rumah sakit, aku pun pergi ke rumah Pak Haji Yandi. "Assalamualaikum, permisi." Aku menunggu sebentar, tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah."Ass
"Nenek salah paham. Saya masih punya suami. Saya karyawan Kang Jaya," kataku mencoba menjelaskan, tetapi nenek Kang Jaya malah tersenyum, lalu masuk ke ruang kontrakan yang aku tinggali. "Kamu tinggal di sini? Siapa nama kamu?" tanya nenek itu."Iya, Nek, saya tinggal di sini, sekalian bantu Kang Jaya jualan. Rapi-rapi daster dan barang lainnya. Jadi kalau ada tetangga ....""Katanya punya suami, kenapa tinggal di sini? Apa suaminya tinggal di sini juga?" Aku menghela napas. "Nggak, Nek, sudah pisah, tetapi belum cerai.""Berarti bisa jadi calon istri Jaya dong. Perkenalkan nama saya Anggita. Jaya biasa memanggil saya Oma Anggit," terang wanita tua itu sambil memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah kontrakan. Tangannya terus menggunakan kipas kecil yang memakai baterai untuk menghilangkan gerah. "Oh, baik, Oma. Apa Oma mau saya buatkan minum?" tanyaku penuh hormat. "Boleh, teh manis, tapi gula sedikit saja." "Baik, Oma, saya buatkan dulu ya." Aku bergegas ke dapur dengan sejuta
"Aduh, kaget! Kang Jaya kapan pulang? Saya kenapa gak tahu kalau Kang Jaya balik?" tanyaku terheran."Gimana mau lihat, orang Mbak merem! Mana Oma saya?" tanya Kang Jaya sembari mengintip ke dalam kontrakanku."Oh, itu, lagi tidur, Kang. Kayaknya baru sepuluh menit." "Oh, gitu, ya sudah, jangan dibangunin deh. Saya mau beres-beres dulu." Kang Jaya memutar kunci rumahnya. "Ada yang bisa saya bantu, Kang?" tanyaku sedikit berseru."Boleh kalau mau bantuin nyapu. Biar saya yang ngepel." Aku pun masuk ke dalam rumahnya sambil mengucapkan salam. Ada yang beda di kontrakan Kang Jaya karena bentukan dalamnya berbeda denganku. Ruangannya ada yang berpintu meskipun sepertinya tidak besar. "Kang, kenapa masih siang udah pulang?" tanyaku sambil menutup hidung. Kang Jaya memutar bola matanya."Pasti gak tahan bau saya ya? Ck, namanya juga habis dari luar, Mbak. Keliling ngiderin daster ke ibu-ibu, panasan di bawah sinar matahari. Makanya selain kulit saya, bau saya juga eksotis. Nih, sapunya d
POV AuthorDua jam sebelum Neneng berteriak pelakor tua pada Novi."Gimana, Mas? Belum dapat kerjaannya?" tanya Novi begitu melihat Rizal memarkirkan motornya di teras rumah."Belum, Nov. Belum beruntung. Besok saya coba lagi." Wajahnya lelah dan juga lesu. Aroma matahari menyeruak begitu Rizal membuka kemejanya. "Ya sudah, nanti coba lagi sambil tanya teman Mas Rizal. Kerja apa ajalah yang penting kerja. Masa masih muda di rumah. Benar-benar Neneng itu bikin sial!" Umpat Novi sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Ia pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Rizal hanya bisa menghela napas berat. Ia malas membela umpatan itu karena menurutnya Neneng memang salah. Jika saja Neneng dua hari lalu tidak ke pabrik dan tidak membuat keributan, tentu saat ini ia baik-baik saja. Ditambah lagi harusnya besok gajian dan sekarang ia tidak mendapatkan apa-apa."Mas, ini." Novi duduk di seberang suaminya sambil menaruh cangkir teh san juga piring kecil berisi pisang goreng."Dio butuh uang buat pra
"Kamu kenapa, Neng?" tanya Oma Anggit pada Neneng yang baru saja kembali ke rumah kontrakan Jaya."Gak papa, Oma. Tadi ada orang minta sumbangan ginjal, saya bilang saya bukan pendonor ginjal, tapi dia ngotot minta ginjal saya," jawab Neneng asal. Ia tidak tahu mau menjawab apa perihal madu dan ibu mertuanya."Pantas saja kamu teriak-teriak tadi. Ya sudah, sabar aja ya. Semoga orang begitu cepat dipanggil Tuhan. Udah gak punya ginjal malah maksa," jawab Oma Anggit menenangkan Neneng. Jaya paham apa yang terjadi pada pelanggan daster calon janda ini, tetapi ia tidak mau ikut campur, apalagi ada omanya di rumah. Biarlah ia hanya sekedar membantu Neneng dengan memberikan tempat tinggal."Kapan makannya nih? Udah konser cacing saya," kata Jaya sembari meraih piring untuk memasukkan nasi ke dalamnya."Iya, ayo, makan, Neng. Habis marah-marah pasti kehabisan energi. Kamu harus makan banyak biar bisa marah-marah lagi besok." Oma Anggit mempersilakan Neneng untuk ikut duduk di atas karpet be