Hal yang pertama aku lakukan dengan uang delapan juta di tanganku adalah membayar cicilan daster pada Kang Jaya. Aku mengira dia jatuh hati benar padaku, sehingga tidak mau menerima utang yang kubayarkan, tetapi harapan dan prediksiku salah. Kang Jaya dengan semringah menerima uang satu juta yang aku berikan padanya. Entah utang daster, utang klinik, dan utang lainnya aku sampai lupa. Untunglah Kang Jaya menerima tanpa menghitung secara terperinci. Setelah melepas kepergian Kang Jaya, aku pun pergi ke bidan ke rumah sakit tempat aku dioperasi kemarin. Dengan menggunakan kartu BPJS yang ada padaku, aku memeriksakan kondisi jahitan dan juga memeriksakan kesehatan tubuhku.Kata dokter semuanya baik dan aku diberi vitamin penambah darah. Tidak gratis karena tidak di-cover BPJS, tetapi tidak apa karena saat ini aku ada uang. Selesai dengan rumah sakit, aku pun pergi ke rumah Pak Haji Yandi. "Assalamualaikum, permisi." Aku menunggu sebentar, tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah."Ass
"Nenek salah paham. Saya masih punya suami. Saya karyawan Kang Jaya," kataku mencoba menjelaskan, tetapi nenek Kang Jaya malah tersenyum, lalu masuk ke ruang kontrakan yang aku tinggali. "Kamu tinggal di sini? Siapa nama kamu?" tanya nenek itu."Iya, Nek, saya tinggal di sini, sekalian bantu Kang Jaya jualan. Rapi-rapi daster dan barang lainnya. Jadi kalau ada tetangga ....""Katanya punya suami, kenapa tinggal di sini? Apa suaminya tinggal di sini juga?" Aku menghela napas. "Nggak, Nek, sudah pisah, tetapi belum cerai.""Berarti bisa jadi calon istri Jaya dong. Perkenalkan nama saya Anggita. Jaya biasa memanggil saya Oma Anggit," terang wanita tua itu sambil memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah kontrakan. Tangannya terus menggunakan kipas kecil yang memakai baterai untuk menghilangkan gerah. "Oh, baik, Oma. Apa Oma mau saya buatkan minum?" tanyaku penuh hormat. "Boleh, teh manis, tapi gula sedikit saja." "Baik, Oma, saya buatkan dulu ya." Aku bergegas ke dapur dengan sejuta
"Aduh, kaget! Kang Jaya kapan pulang? Saya kenapa gak tahu kalau Kang Jaya balik?" tanyaku terheran."Gimana mau lihat, orang Mbak merem! Mana Oma saya?" tanya Kang Jaya sembari mengintip ke dalam kontrakanku."Oh, itu, lagi tidur, Kang. Kayaknya baru sepuluh menit." "Oh, gitu, ya sudah, jangan dibangunin deh. Saya mau beres-beres dulu." Kang Jaya memutar kunci rumahnya. "Ada yang bisa saya bantu, Kang?" tanyaku sedikit berseru."Boleh kalau mau bantuin nyapu. Biar saya yang ngepel." Aku pun masuk ke dalam rumahnya sambil mengucapkan salam. Ada yang beda di kontrakan Kang Jaya karena bentukan dalamnya berbeda denganku. Ruangannya ada yang berpintu meskipun sepertinya tidak besar. "Kang, kenapa masih siang udah pulang?" tanyaku sambil menutup hidung. Kang Jaya memutar bola matanya."Pasti gak tahan bau saya ya? Ck, namanya juga habis dari luar, Mbak. Keliling ngiderin daster ke ibu-ibu, panasan di bawah sinar matahari. Makanya selain kulit saya, bau saya juga eksotis. Nih, sapunya d
POV AuthorDua jam sebelum Neneng berteriak pelakor tua pada Novi."Gimana, Mas? Belum dapat kerjaannya?" tanya Novi begitu melihat Rizal memarkirkan motornya di teras rumah."Belum, Nov. Belum beruntung. Besok saya coba lagi." Wajahnya lelah dan juga lesu. Aroma matahari menyeruak begitu Rizal membuka kemejanya. "Ya sudah, nanti coba lagi sambil tanya teman Mas Rizal. Kerja apa ajalah yang penting kerja. Masa masih muda di rumah. Benar-benar Neneng itu bikin sial!" Umpat Novi sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Ia pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Rizal hanya bisa menghela napas berat. Ia malas membela umpatan itu karena menurutnya Neneng memang salah. Jika saja Neneng dua hari lalu tidak ke pabrik dan tidak membuat keributan, tentu saat ini ia baik-baik saja. Ditambah lagi harusnya besok gajian dan sekarang ia tidak mendapatkan apa-apa."Mas, ini." Novi duduk di seberang suaminya sambil menaruh cangkir teh san juga piring kecil berisi pisang goreng."Dio butuh uang buat pra
"Kamu kenapa, Neng?" tanya Oma Anggit pada Neneng yang baru saja kembali ke rumah kontrakan Jaya."Gak papa, Oma. Tadi ada orang minta sumbangan ginjal, saya bilang saya bukan pendonor ginjal, tapi dia ngotot minta ginjal saya," jawab Neneng asal. Ia tidak tahu mau menjawab apa perihal madu dan ibu mertuanya."Pantas saja kamu teriak-teriak tadi. Ya sudah, sabar aja ya. Semoga orang begitu cepat dipanggil Tuhan. Udah gak punya ginjal malah maksa," jawab Oma Anggit menenangkan Neneng. Jaya paham apa yang terjadi pada pelanggan daster calon janda ini, tetapi ia tidak mau ikut campur, apalagi ada omanya di rumah. Biarlah ia hanya sekedar membantu Neneng dengan memberikan tempat tinggal."Kapan makannya nih? Udah konser cacing saya," kata Jaya sembari meraih piring untuk memasukkan nasi ke dalamnya."Iya, ayo, makan, Neng. Habis marah-marah pasti kehabisan energi. Kamu harus makan banyak biar bisa marah-marah lagi besok." Oma Anggit mempersilakan Neneng untuk ikut duduk di atas karpet be
"Kamu yakin Novi udah balik dari jam dua siang?" tanya Bu Murni pada putranya. "Udah, Ma, udah balik naik taksi online," jawab Rizal dengan wajah panik. Ia terus menelepon nomor istrinya, tetapi tidak juga tersambung. "Ya Allah, apa diculik ya?" kata Bu Murni lagi membuat Rizal semakin panik saja. Pria itu pergi ke kamar anak sambungnya yang kini tengah bermain gitar."Dio, kamu punya kontak teman bunda kamu gak?" tanya Rizal."Gak ada, Om. Memangnya bunda ke mana? Dio gak lihat dari sore," tanya balik remaja SMA kelas dua itu."Iya itu dia, tadi bunda sama Om beresin toko, terus bunda pulang duluan karena harus urus nenek. Eh, malah gak sampai di rumah. Aduh, ke mana bunda kamu ini?" Dio bangun dari duduknya karena terkejut"Ini pasti penculikan, Om. Bunda banyak pakai emas gak? Tadi pagi pas Dio mau berangkat sekolah, bunda kayak toko emas berjalan. Semua ada dan semua dipakai." Anak remaja itu bertanya dengan penuh curiga. Tidak ada yang mengenal baik bundanya kecuali dirinya. "
"Selamat pagi, Pak. Saya mau melaporkan suami saya atas penggelapan surat rumah milik orang tua saya," ujar Neneng saat ia sudah duduk di depan seorang petugas kepolisian. "Bisa berikan alamat tempat tinggal Data suami dan data istri? Sebelum kami proses aduannya?" "Bisa, Pak." Neneng pun mulai menyebutkan data dirinya dan juga Rizal. Semua ia sebutkan tanpa ada yang terlewat. Polisi mendengarkan sambil mengerikan laporan wanita itu.Cukup lama Neneng di sana karena dia ditanya banyak hal perihal penyalahgunaan surat rumah. Termasuk data Pak Haji Yandi yang saat ini menahan surat rumah orang tuanyaKring!"Pak, saya ijin angkat telepon dulu!" Kata Neneng pada petugas di depannya."Silakan, Mbak." Neneng pun bangun dari duduknya dan berjalan sedikit menjauh dari petugas tersebut."Halo, assalamualaikum.""Kamu mengajukan gugatan cerai? Hebat sekali kamu? Uang dari mana? Jangan bilang uang dari tukang daster bau itu!""Iya, memangnya kenapa? Apa ada masalah? Memang lebih baik kita ce
Semua orang di rumah tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam, karena Novi masih belum juga ditemukan. Rizal bahkan berjaga di ruang tamu tanpa mengunci pintu rumah karena berharap istrinya itu pulang dengan tiba-tiba. Hingga suara adzan subuh berhasil membuat Rizal yang sejak semalam menahan kantuk, akhirnya tertidur juga."Rizal, Rizal! Mama mau pipis!" Teriak Bu Murni dari dalam kamarnya yang tertutup. Wanita tua itu sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil, tetapi putranya tidak juga menghampirinya. Jika ada Novi, maka sebelum subuh, wanita itu sudah memaksanya untuk pipis."Rizal! Bangun! Mama mau pipis nih!" Teriak wanita itu lagi, tetapi Rizal sangat pulas. Begitu juga halnya dengan Dio yang karena begadang, ia tidak bisa mendengar suara apapun karena terlalu mengantuk."Rizal, Dio! Bangun!" suara wanita tua itu melengking, berharap ada yang datang. Namun, tenaganya percuma, karena lima menit sudah ia membangunkan semua orang yang ada di rumahnya, tidak ada satu pun yang
Jaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
POV NenengRasa gembiranya sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Wajah terkejut Novi dengan bola matanya yang hampir lepas dari bingkainya, membuatku tidak akan melupakan momen menyenangkan seperti tadi. Ia pasti merasa sangat sial karena telah berhasil dijebak olehku. Tidak ada yang menyangka, seorang Neneng bisa mengelabui musuh secara cerdas. Semua itu, tentu tidak lepas dari campur tangan dan campur rekening Kang Jaya. Jika saja ia tidak mau mengeluarkan uang dua ratus lima puluh untuk Bang Rizal, maka bisa dipastikan mertua, Novi, Rizal yang tengah dipenjara, akan sengsara. Namun, aku jadi merasa begitu berutang Budi pada Kang Jaya dan juga omanya, karena mereka sudah begitu baik dan percaya padaku.Sekilas kulirik Kang Jaya yang tengah menyetir mobil Mercy. Pasti tidak akan ada yang menyangka kalau ia juga adalah pedagang daster keliling. "Kenapa lirik-lirik, Mbak? Ada yang mau dikatakan?" tanya Jaya sambil tersenyum."Kang, soal uang dua ratus lima puluh itu bagaima
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men